Mohon tunggu...
Irene Kusuma
Irene Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Isaiah 55 : 8-9

Communication Studies' 16 Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Cerita dalam 724 Kata

3 Juni 2019   12:01 Diperbarui: 3 Juni 2019   12:13 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tidak tahu jika depresi akan senyata itu, sampai aku sendiri yang harus mengalaminya. Suatu ketakutan ketika harus berperang melawan diri sendiri -- takut jika nantinya malah aku yang kalah melawannya. Aku tidak pernah tau jika depresi akan sesakit ini, sampai aku yang terseret ke dalamnya. Tidak tau bagaimana harus kabur dari situasi seperti ini -- sudah mencoba berbagai macam usaha, tetapi tetap gagal -- hingga akhirnya aku terlalu nyaman hidup bersama dengannya.

Aku yang terlalu nyaman berada di tempat gelap, bertarung dengan akal sehatku sendiri, hingga akhirnya aku lelah dan kalah, kemudian menangis sekeras mungkin tanpa mengeluarkan suara karena tidak ingin orang lain untuk tau. Yang kemudian, ketika keluar dari tempat gelap itu -- harus terpaksa untuk tertawa seakan beberapa menit yang lalu tidak pernah terjadi. Ya, itulah yang dunia mau. Dunia gak mau tau apa persoalanmu -- bagaimana kamu melewatinya, yang dia mau tau adalah kamu yang terlihat baik-baik saja.

Aku yang beberapa malamnya harus tetap terjaga karena kepala terasa sesak dengan sejuta pikiran tapi akupun sendiri tidak punya satupun hal untuk dipikirkan. Aku yang beberapa kali sering terbangun tengah malam -- merasa sesak dan kemudian semua sisi lain diriku mendominasi. Aku percaya jika setiap orang memiliki sisi lain dari dirinya sendiri -- dan aku percaya dia hanya melakukan tugasnya agar aku tidak menyakiti diriku sendiri. Aku yang tidak jarang terkena serangan panik dan masih tak punya cara untuk mengatasinya.

Sebuah disonan bagiku untuk membuka sisi diriku yang sesungguhnya -- dan biarkan aku untuk menceritakannya dengan sisi manusiawiku. Biarkan aku bercerita menggunakan sudut pandang dan pendapatku sendiri -- kalian tak perlu berkomentar apapun. Kalaupun kalian mau menghakimiku -- silahkan, aku benar-benar tidak peduli.

----

Aku berhak marah kepada Tuhan. Aku berhak kecewa kepada Tuhan. Bagaimana tidak? Ketika aku berada di situasi di mana aku lagi cinta-cintanya dengan Tuhan, aku ambil pelayanan, aku punya kualitas doa yang baik, hubunganku dengan sesamaku juga baik, masa mudaku baik-baik saja, kemudian boom!!! Dia ambil semuanya dari hidupku. Aku kehilangan semuanya. Hidupku runtuh dalam sekejap. Pengetahuanku mengenai kebaikan-kebaikan Tuhan mendadak terlupakan -- tertutup dengan semua kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan.

Tapi, aku menutupin dengan ketidakapa-apaan diriku. Hanya agar tidak dipandang menyedihkan oleh orang lain. Aku menutupinya dengan pelayanan -- hingga aku lupa esensi dari pelayanan itu sendiri. Berharap aku menemukan lagi pengetahuan mengenai kebaikan-kebaikan Tuhan yang sempat hilang. Berharap pemikiranku semuanya salah. Jadi, kalau kalian yang sempat memandangku hebat, kuat, keren. Aku mau bilang, kalau itu semua PALSU!

Hingga beberapa hari yang lalu -- aku masih menyalahkan kondisiku yang menyedihkan ini. Aku masih menyalahkan orang tuaku yang telah pergi menelantarkan anak-anaknya sendiri di dunia ini. Aku masih menyalahkan Tuhan karena mengambil semua kesukaanku, yang telah mengizinkan mereka-mereka meninggalkanku sendiri. Aku masih menyalahkan orang lain yang telah merusak hubunganku dengan kakakku. Aku masih menyalahkan mereka yang menyebut dirinya "rumah", tapi nyatanya tidak sama sekali. Aku masih menyalahkan orang lain atas kesedihan dan kekecewaanku. Hingga tanpa aku sadar, hidupku terpenuhi dengan kekesalan, kemarahan, kekecewaan, dan emosi-emosi negatif lainnya. Aku sadar kalau semakin hari -- aku semakin jauh dari Tuhan.

Dan, aku bersyukur kalau beberapa hari yang lalu Tuhan bicara banyak kepadaku lewat banyak hal -- banyak cara -- dan banyak orang. Selama ini aku terbiasa menyalahkan kondisiku. Selama ini aku membiarkan hidupku tinggal dalam klaim-klaim iblis atas hidupku. Aku membiarkan iblis merusak image Tuhan dalam pikiranku. Aku membiarkan diriku tinggal dalam kenyataan hidupku yang menyedihkan, hingga lupa sama faktanya kalau aku dikasihi oleh Dia.

"Kalau kamu sok kuat di hadapan Tuhan, maka Dia akan mengizinkan orang lain untuk menghancurkan hatimu". Kata-kata yang selalu terngiang-ngiang di kepalaku, hingga aku menemukan sebuah jawaban. Tuhan membiarkan mereka-mereka semua yang pernah singgah di hidupku -- walau hanya sebatas mampir -- untuk pergi dari kehidupanku hanya biar aku bisa fokus sama DIA saja. Mungkin itu satu-satunya cara agar aku tidak perlu membagiku cintaku ke Tuhan dengan orang lain. Karena nanti jika aku bertemu dengan seseorang -- aku harus merasa penuh dan utuh dengan diriku sendiri. Karena konsepnya bukan setengah ditambah setengah sama dengan satu, tetapi satu ditambah satu sama dengan utuh.

Memang, untuk dipulihkan itu tidak enak. Menyakitkan. Kita harus hancur dulu, baru DIA bisa dengan bebas membentuk kita. Ya, mungkin sekarang aku ada ditahap peremukkan oleh Tuhan. Tapi, satu hal... Tuhan suka dengan hati yang remuk dan hancur, Tuhan suka dengan hidup yang rusak.

Ketika dunia berlomba-lomba untuk menjatuhkan dan menyakitimu, ingat masih ada satu PRIBADI yang mati-matian mempertahankan hidupmu. Ya, dia Yesus.

Dengan segala kesadaran,

Irene -- yang sedang dalam tahap pemulihan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun