Kentang atau Solanum tuberosum merupakan jenis tanaman sayuran semusim yang berumur pendek yaitu 90-180 hari dan berumbi serta tumbuh menjalar. Dikatakan semusim sebab proses produksinya hanya satu kali, yang mana setelah itu tanaman kentang akan mati. Morfologi dari kentang sendiri yaitu memiliki daun majemuk berwarna hijau gelap dan berbentuk lonjong dengan ujung meruncing, batangnya berbentuk segi empat atau segi lima (tergantung varietas), berbuku-buku, dan tidak berkayu namun agak keras. Akar tanaman kentang merupakan akar serabut dan akar tunggang. Salah satu dari akarnya akan berubah bentuk dan fungsi menjadi umbi (stolon) yang nantinya akan menjadi umbi kentang. Bunga tanaman kentang berwarna keputihan atau ungu dan berjenis kelamin dua (hermaphroditus). Biji kentang sendiri berukuran kecil, dengan garis tengah sekitar 0,5 mm.Â
Di Indonesia produksi kentang sangat tinggi dengan tingkat permintaan yang setiap tahun meningkat. Hal tersebut dikarenakan banyak masyarakat Indonesia yang gemar mengkonsumsi dan mengolah kentang mernjadi berbagai bentuk makanan seperti perkedel, mashed potato, keripik kentang dan masih banyak lagi. Bahkan anak muda sekarang banyak mengkonsumsi kentang sebagai makanan sehari hari. Contohnya saat membeli makanan di KFC, banyak anak muda yang membeli french fries, untuk dikonsumsi bersama dengan ayam ataupun makanan lainnya. Sehingga tak heran apabila produksi kentang dari tahun ke tahun meningkat, dengan seiring meningkatnya permintaan akan kentang, bahkan pemerintah sampai meningkatkan impor kentang untuk memenuhi permintaan pasar. Alasan lain mengapa kentang banyak di konmsumsi yaitu karena kentang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, bahkan melebihi karbohidrat di jagung dan gandum. Sehingga dapat dikatakan jika kentang menjadi prioritas alternatif yang mampu mensubstitusi kebutuhan pangan pokok masyarakat di Indonesia.Â
Tanaman kentang akan tumbuh subur apabila ditanam di dataran tinggi. Yang mana syarat tumbuh tanaman kentang yaitu di tanaman di dataran tinggi yang iklimnya dingin. Sebab daerah ideal tanaman kentang merupakan dataran tinggi dengan ketinggian diatas 1.300 mdpl, dengan suhu udara 15C-20C, kelembapan udara 80% - 90%, curah hujan 200- 300 mm perbulan atau 1500 mm pertahun (Agus, 2021). Sedangkan tanah yang baik untuk tanaman kentang yaitu tanah gembur yang mengandung bahan organik contohnya tanah andosol, latosol, dan grumosol, namun yang paling baik bagi tanaman kentang adalah tanah andosol, karena kandungan unsur hara didalamnya tergolong sedang sampai tinggi.Â
Salah satu daerah yang terkenal akan produksi kentang yaitu Dieng. Dieng atau lebih dikenal dengan Dieng Plateu merupakan salah satu dataran tinggi di Jawa tepatnya di provinsi Jawa Tengah. Awalnya komoditas yang mendominasi Dieng adalah tanaman tembakau, sayuran, kubis, dan kacang dieng. Namun saat ini sudah berubah menjadi kentang, yang mana kentang dapat meningkatkan taraf hidup petani, dari subsistem menjadi sistem pertanian komersial.Â
Secara umum kondisi lahan di kawasan Dieng saat ini sangat kritis, tingkat erosi mencapai lebih dari 180 ton/ha/tahun (Aisyah, 2013). Kerusakan kawasan Dieng diyakini mengganggu suplai air, energi listrik,dan irigasi di lebih dari enam kabupaten. Sejauh itu upaya rehabilitasi masih terkendala sejumlah hal, termasuk pendanaan. Ditambah tindakan petani yang berupaya dalam meningkatkan hasil produksi kentang, misalnya lewat penambahan tenaga kerja, benih, pupuk, dan pestisida dengan harapan hasil outputnya akan maksimal. Namun cara yang dilakukan petani untuk budidaya tidak memperhatikan kaidah konservasi, dalam jangka panjang memiliki efek berupa penurunan hasil produksi. Selama 30 tahun petani Dieng mengeksplorasi lahan tanpa adanya tindakan konservasi sehingga menyebabkan lahan pertanian saat ini hampir tidak memiliki lapisan tanah atas (top soil). Petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan. Yang mana menggunakan pupuk kimia sebanyak 12 kwintal dan pestisida 300 liter pestisida, padahal normalnya di satu hektar lahan hanya membutuhkan 75 - 100 liter pestisida. Karena penggunaan yang berlebihan tersebut maka berakibat pada produksi kentang itu sendiri. Pada akhir 1990-an berkisar 25 - 30 ton per hektar, kini tinggal 10-13 ton per hektar (Jannata, 2017).
 Kuantitas hasil produksi kentang berbeda dengan apa yang petani peroleh pada tahun 1980-1990an hingga 2-3 kali lipat (Jannata, 2017). Padahal masyarakat sangat bergantung pada Kawasan Dieng, sebab memberikan kontribusi penting, contohnya peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, pemenuhan bahan baku industri, dan masih banyak lagi. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa wilayah di Kawasan Dieng mengalami diminishing return. Diminishing return merupakan suatu fenomena suatu lahan pertanian sudah tidak produktif karena perbandingan antara jumlah input yang digunakan dengan hasil produksi tidak sesuai. Fenomena diminishing return merupakan hukum kenaikan yang semakin berkurang, yang dinyatakan bahwa "jika penggunaan satu macam input ditambah, sedang input-input lain tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi, mula-mula naik tetapi kemudian seterusnya menurun, jika input tersebut terus ditambahkan" (Jannata, 2017). Akibatnya yaitu petani akan mengalami kerugian dan penurunan pendapatan, sedangkan bagi konsumen yaitu permintaan akan kentang tidak dapat terpenuhi sebab terjadi kelangkaan kentang yang mana dapat berimbas juga pada harga kentang yang akan naik, dan bagi negara yaitu pemerintah harus mengimpor kentang tambahan untuk memenuhi permintaan pasar.Â
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi diminishing return, contohnya penerapan pola usaha tani konservasi seperti tumpang sari, penerapan pola pertanian organik ramah lingkungan, peningkatan peran serta kelembagaan petani, dan pastinya mengurangi penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan. Sistem tumpang sari merupakan sistem pertanaman dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman secara serentak pada lahan yang sama (Yuwariah, 2017). Pertanian organik merupakan salah satu sistem pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan pupuk organik, dimana dapat menjamin keseimbangan ekosistem, sosial, dan ekologi.Â
Keberlangsungan ekonomi dapat dioptimalkan dalam usaha tani sehingga dapat mencukupi kebutuhan petani, sedangkan keseimbangan ekologi dapat tercapai dikarenakan menggunakan pertanian organik yang bersifat ramah lingkungan yaitu dengan memanfaatkan bahan-bahan organik yang alami. (Permatasari, 2021) Dalam kata lain sistem pertanian organik dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam secara seimbang dan ramah lingkungan serta mengurangi pencemaran baik pencemaran tanah maupun pencemaran udara. Di samping itu dengan adanya pertanian organik maka produk yang dihasilkan berkualitas, kesuburan tanah dan siklus hidup biologis dalam ekosistem meningkat, produk tidak terkontaminasi cemaran bahan kimia, dan juga keragaman genetik.Â
Pemerintah juga perlu ambil bagian dalam menangani masalah yang ada, yang mana peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam memelihara kelestarian kawasan, harapannya dapat memberikan kontribusi bagi penyangga hidup masyarakat dan tentunya perekonomian nasional lewat berbagai kebijakan yang diambil. Tentunya perlu juga dukungan dari masyarakat bagi pemerintah. Dalam kata lain perlu adanya kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, bahkan pelaku bisnis.Â
Daftar PustakaÂ
Agus. 2021. Sukses Budidaya Kentang dan Jamur. Jakarta: PT PercaÂ
Aisyah, S., Rachman, A. S., & Rusli, Y.2013. Peningkatan peran pemerintah dan masyarakat sebagai upaya menjaga ekosistem dan konservasi lingkungan di Dieng Plateau. Jurnal Organisasi dan Manajemen. 9(2):135-144.Â
Jannata, P. F., & Ma'rif, S. 2017. Kajian Diminishing Return Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Kentang di Kawasan Dieng. Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota). 6(3):153-168.Â
Permatasari, P., Zain, K. M., Rusdiyana, E., Firgiyanto, R., Hanum, F., Ramdan, E. P., ... & Arsi, A. 2021. Pertanian Organik. Yayasan Kita Menulis.Â
Yuwariah, Y., Ruswandi, D., & Irwan, A. W. 2017. Pengaruh pola tanam tumpangsari jagung dan kedelai terhadap pertumbuhan dan hasil jagung hibrida dan evaluasi tumpangsari di Arjasari Kabupaten Bandung. Kultivasi.16(3):514-521
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H