“Injeh Mbok..”Dini memberi isyarat pada anaknya untuk menyalami Mbok Darmi.
“Cah ayu, siapa namanya”
“Cinta, Mbah”
“Pinteeer, Ndok dibungkus semua atau dipincuk”
“Terserah Mbah ajalah” Cinta bingung ditanya, karena jajanan itu belum pernah dimakannya.
“Ndok Dini, anakmu pinter tenan”
Dengan cekatan Mbok Darmi segera membungkus cenil menjadi beberapa bungkus, tangannya yang kurus dan urat-uratnya yang menonjol tampak sangat trampil.
“Pincuknya satu Mbok, rasanya saya langsung bernostalgia ke masa kecil lho Mbok, melihat dan mencium aroma cenil ini”
Mbok Darmi tersenyum.
“Masih selalu ke pasar dan jalan kaki begini Mbok? Mengapa tidak istirahat saja, bermain dengan cucu mungkin lebih menyenangkan? Kan capek to Mbok jalan kaki terus.”
“Anak sekarang itu kalau bermain, mereka punya dunia sendiri. Duduk di depan TV berjam-jam atau mainan TV kecil yang bisa dibawa kemana-mana. Mbok jadi merasa tidak dianggap ada. Lha kalau jualan begini, kan Mbok bisa olahraga, senang ketemu teman-teman di pasar atau seperti sekarang ini, bertemu dengan langganan puluhan tahun yang lalu,” Wajah Mbok Darmi jelas terlihat bangga.”Urip ki sedermo nglakoni, jadi selama masih bisa melakukan sesuatu untuk hidup ini, Mbok tak akan membebani orang lain.”