Andai saja aku beranimengungkapkan semua yang ada dalam hatiku terhadap Emak, Mungkin berjuta – juta atau bahkan bermilyar – milyar kata yang ingin aku sampaikan pada beliau. Emak, mulutku seperti ingin meledak – ledak, memuntahkan seluruh isinya dengan silat lidahku yang sedari tadi sudah tak tahan ingin beraksi. Namun mentalku takcukup berani untuk memungkinkan aku bicara satu patah kata pun padamu, Emak. Seutas tali seperti menjerat seluruh lidahku dan membengkap seluruh emosi kerja otak kananku, serba salah jadinya.
Aku tak mau ambil pusing,kuambil selembar kertas dan sebatang pena tinta hitam dansesekali jika digunakan tak nyata, putus – putus goresannya. Mungkin karena aku sering kali menjatuhkanya saat menggunakan pena kesayanganku itu. Dalam anganku kali ini, aku tak mau menyia – nyiakan setiap goresanku, aku ingin setiap kata yang kucurahkan berarti bagi Emak. Aku ingin, ingin sekali. Tanganku gemetaran,keringat dingin juga mulai mengalir di dahiku, wajahku pun mulai menyeringai gelisah seakan di kejar – kejar rentenir. Huft, aku mencoba menenangkan diri dan menguasi segala emosiku. Baik. Aku akan memulainya dengan bacaan Bismillah.
Yah, aku bersemangat sekali menulis surat untuk Emak. Meskipun terdapat sedikit coretan – coretan, namun masih layak dibaca oleh Emak nantinya. Satu jam lebih ku habiskan untuk menulis, menulis huruf demi huruf, kata demi kata, klausa demi klausa, kalimat demi kalimat, dan akhirnya utuh menjadi sebuah paragrafyang memenuhi beberapa lembar kecil kertas putih yang sedikit kumal. Ah, masa bodoh dengan kertas kumal, toh yang penting kan isinya dan aku tulus menulisnya untuk Emakku tersayang. Yah, untuk Emak tersayang, tercinta, dan ter – segalanya. Semoga Emak senang membaca suratku ini, mungkin ada kepuasan tersindiri dalam benakku jikalau Emak berulang kali membacanya. Aku jadi tak sabar melihat ekspresi wajah Emak ketika membaca suratku. Mungkin ini pertama kalinya Emak mendapatkan surat dari seseorang dan ini adalah surat istimewa yang dibuat oleh anak gadisnya. Sebelumnya Emak tak pernah mendapatkan surat apapun dan dari siapapun. Karena ku tau Emak hanya orang Udik. Tak mungkin sekali jika Emak mendapatkan surat, apalagi surat panggilan lamaran kerja, yupz, , , bisa ditebak dengan logika akan hal itu, karena Emak tak mungkin melamar kerjaan dan sedari kecil Emak menghabiskan waktunya untuk Usaha dagang turun – temurun. Membuat jamu tradisional. Di jamin asli tanpa efek samping. Aku yakin.
Ba’da Maghrib, dan setelah mengaji bersama Emak. Ku beranikan diri memberikan sepucuk surat itu pada beliau. Dengan tangan gemetaran, aku memberikannya. Emak terlihat heran dengan sikapku, Emak merasa bingung. Mungkin Ia bertanya – tanya, ada apa dengan anak gadisku ini?. Akhirnya emak mulai angkat bicara.
“ iki opo toh, Nduk ?” tanya Emak.
“ ini surat untuk Emak “jawabku pelan.
“ Dari siapa ?” Emak bertanya lagi.
“ Asri, Mak “ jawabku lagi atas pertanyaaan kedua Emak itu.
“ Lah, ono – ono wae kowe iku. Pakai acara bikin surat segala untuk Emak. Opo ora iso langsung ngomong wae toh, Nduk ?”
“ yah, Asri pengen saja membuat surat untuk Emak “
“ yo wes, Emak buka yo, Nduk “
Emak membuka surat dariku, tampak perlahan senyum kegembiraanku muncul kepermukaan. Akhirnya Emak membaca suratku. Yah, Aku yakin Emak pasti senang dengan isi suratnya. Namun, beberapa detik kemudian, Emak terlihat bingung. Sedari tadi Emak hanya membolak – balik dua lembar kertas itu dan melihatnya dengan seksama saja. Aku pun jadi ikut terlibat kedalam dunia kebingungan Emak.
“ kau ini lupa yo, Nduk?” Emak bertanya untuk yang kesekian kalinya.
“ lupa apa, Mak?” Aku berbalik bertanya padanya.
“ Emakmu ini tak bisa baca. Malah kau suruh untuk membaca suratmu ini “ jawab Emak polos.
Senyumku seketika mereda bagai ditelan bumi,lenyap tanpa jejak. Astaghfirullahaladzim, mengapa tak terfikir olehku sebelumnya kalau memang Emak sedari dulu tak bisa membaca. Sedangkan aku malah seenak jidat saja membuat surat untuknya dan yang lebih parah lagi menyuruhnya untuk membaca. Apakah kau bermaksud menyindir Emakmu ini, As? Apakah kau tak sengaja lupa atau memang disengajakan untuk lupa? Aku mengumpati diriku sendiri dan tak ada habis – habisnya. Dasar Asri tolol, bodoh, tak tau diri. Kau mau Emakmu tersinggung karena hal ini ? Kau mau membuat Emakmu menyesali masa kecilnya hanya gara – gara Emakmu tak bisa baca tulis? Asri – Asri, kau ini memang tak punya otak. Dungu yang tak tau akan kedunguannya. Alias dungu kuadrat.
“ kalau begitu kau bacakan saja As!” perintah Emak padaku selanjutnya. Baiklah jika begitu, aku siap Mak. Aku akan membacakannya untukmu dengan suara yang merdu sekali. Dan kuharap kau akan senang mendengarkannya. Kumulai dengan Bismillah. Satu dua tiga.
Assalamualaikum, Emak.
Di pojok kampung ini, aku menulis surat untukmu. Hanya untukmu.
Aku tak tahu harus dimulai dari segi manakah untuk menulis surat untukmu ini. Yah, aku hanya ingin mengatakaan beberapa kalimat yang ingin kukatakan padamu, Mak. Aku melakukan ini karena aku tak sanggup melihat sorot mata Emak. Dan itulah yang membuat mulutku terkatup selama ini dan tak berani untuk kubuka selebar – lebarnya. Aku putuskan dengan menulis surat ini agar kau tau apa yang ingin ku katakan padamu, Mak. Mohon maafkan anak gadismu ini jika sudah tak sopan akan perbuatannya menulis surat untukmu. Maaf, Mak. Maaf sekali.
Kau adalah Emakku satu – satunya. Emak yang paling indah yang pernah Asri miliki. Sebagai Emak yang pertama dan hanya untuk yang terakhir pula. Emakku yang paling hebatakan perjuangan hidupnya. Emak dari segala Emak yanglainnya. Emak yang bagiku adalah nomer satu dan takkan pernah turun peringkatnya. Akan tetap berada pada puncak kemenangan hatiku. Aku janji, Mak.
Sedari kecil aku memang tak diizinkan oleh Allah untuk melihat bagaimana rupawannya wajah Bapak. Bagaimana bijaknya sikap seorang Bapak. Karena aku hanya diizinkan melihat wajah tulusmu, Mak. Dan hanya sekedar melihat wajah Bapak dari balik foto kumal yang satu – satunya kau miliki. Yah, itu memang rencana Allah untuk membahagiakan hambanya dengan caranya masing – masing. Aku masih bersyukur atas itu. Mungkin dengan sikap Allah itulah, kelak aku akan diperlihatkan wajah Bapak yang lebih rupawan lagi ketimbang sebelumnya, iya kan Mak?. Kau pernah berkata padaku kalau Allah itu Maha Adil, dan aku percaya dengan ucapanmu. Yah, percaya sekali.
Setiap hari aku selalu melihat keringatmu yang tak henti – hentinya mengalir dari tubuh mungilmu. Membuat tetes demi tetes jamu dan kemudian menjajakannya, semua itu dengan dalih kewajiban sebagai Emak dan demi aku, demi kelangsungan hidupku dan hidupmu, demi pendidikanku, demi menjadikan anak gadismu yang udik ini berbeda dengan wanita udik lainnya. Belum lagi aksi dramatis yang beralih profesi setiap musimnya menjadi buruh tani. Perjuangan menjadi seorang Emak yang menanggung hidupnya sendiri dan anak gadis satu – satunya. Aku tau, kau tak ingin mengalami hidup seperti ini kan , Mak? Kau juga tak mau menghadapi sebuah kemiskinan yang dengan senangnya memikik lehermu dan juga leher anakmu ini?. Namun, aku juga tau, kalau kau memang menerima semua itu dengan senang hati, dan mulutmu tak pernah berhenti komat – kamit mengucap syukur pada-Nya, karena kau meyakini bahwa ujian ini merupakan nyanyian surga. Emakku memang hebat. Hebat sekali.
Ini memang rencana Allah, membuat hambanya menangis terlebih dahulu dan kelak akan membuatnnya tertawa riang. Yah, hidup ini memang indah. Begitu indah jika kita benar – benar merasakannya. Merasakan setiap kepahitan yang terjadi di setiap detiknya dan berjuang berdiri di atas kaki sendiri. Dan kau yang mebuktikan itu, Mak. Hanya kau yang mampu memperlihatkannya padaku tentang kegigihan berjuang di atas bumi ini, berjuang menjadi khalifah yang setia. Berani mengahadapi tantangan hidup dengan senyuman, berani menari – nari di atas ombak besar dan berenang dengan indahnya. Hanya kau yang mampu memperlihatkannya padaku. Hanya kau Emak. Hanya kau seorang.
Terima kasihku yang teramat pun takkan mampu membalas semua jerih payahmu selama ini. Meskipun kau memerintahkan aku untuk menguras air laut dengan kedua tanganku pun masih belum cukup menutupi pengorbanan cinta kasihmu, Mak. Itu semua masih belum cukup. Belum cukup. Emak, emak, emak. Kau memang Emakku yang indah. Indah sekali. Meski sesekali ku lihat garis – garis keriput di balik wajahmu, dan keringat yang tak henti – hentinya keluar dari pori – pori kulitmu, kau masih mengukuhkan diri untuk berkorban, menyuguhkan persembahan, dan memperjuangkan nasib anak gadismu ini. As kedua penerus As pertama. Melihatmu yang seperti itu membuat hatiku miris. Mebuat sekujur badanku gemetar, membuat sorot mataku layu disapu angin dan basah oleh air mata. Walaupun aku berkata untuk menghentikannya, tapi tetap saja tak bisa dan malah kau menjadi semakin tangguh. Tangguh akan nyalimu menantang badai ujian. Tangguh, tangguh dan tangguh. Dan semangatmu juga semakin terlecut.
Emak, terkadang dalam hatiku sering bertanya – tanya mengapa hidup kita berbeda dengan orang – orang yang lain? Mengapa kita tak bisa mempunyai harta yang begitu banyaknya seperti para saudagar itu dan tak perlu lagi bersusah payah demi merais rezeki? Mengapa kita selalu bekerja keras demi mengepulkan asap dapur setiap harinya ? mengapa kita selalu terjerat dalam dunia kemelaratan ini, Mak? Mengapa Allah memilihkan kualitas hidup dengan materi yang seperti ini? Mengapa? Mengapa? Mengapa , mak?. Huft, yah kau jawab dengan sikapmu yang dingin dan akhirnya aku tau kesimpulan akhirnya. Itu semua terjadi karena Allah sayang kepada kita, Allah selalu ingat kepada kita, Allah tak mau melihat kita tamak dan haus akan harta. Allah tak mau jika kita menjadi orang yang pemalas, dan Allah akan memberikan kejutan besar kepada kita nantinya. Karena semua akan terjadi begitu indah pada waktunya. Dan waktu itulah hak Allah untuk menentukannya. Asalkan kita masih tetap setia berada dalam lingkaran keimanannya. Iya kan, Mak? Benar apa yang ku katakan tadi?. Izinkan aku untuk selalu bersamamu, mak. Untuk selalu merasakan kasih sayangmu, untuk selalu mencium aroma keringatmu, untuk selalu bercermin dari setiap kegigihanmu dan ketulusanmu, untuk selalu menjaga dan berusaha membuatmu tersenyum indah setiap harinya, untuk selalu bersyukur pada-Nya sambil merasakan nikmat hembusan nafas yang senantiasa bersamamu. Izinkan Ya Robb, izinkan aku Mak. Izinkan. Maafkan aku dengan segala keridhoan-Nya, dan keridhoanmu. Semoga kau sehat selalu dan senantiasa berada pada selimut perlindungan-Nya. Amin.
Wassalamualaikum, Emakku.
Aku berhenti membaca. Emak menatapku lembut dan aku hanya tertunduk. Mendadak, tak ku duga sebelumnya. Emak memelukku erat. Erat sekali. Kurasakan kehangatan tubuh Emak. Terasa damai, nyaman dalam pelukan seorang ibu. Dan tak dapat terbendung lagi bahwa tetesan air mata dari kedua As ini mengalir indah serta senyum yang mengembang. Senyum kebahagiaan yang tiada tara. Terima kasih Emak. Suratku ini tak sekedar goresan tinta belaka, namun tulus datang dari setiap detak jantung dan hembus nafasku. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H