Mohon tunggu...
Puput Fitriani
Puput Fitriani Mohon Tunggu... -

ketika mendung menghujat, maka disitulah hujan kan turun, dan mungkin saja hanya gerimis. Sejatinya, kau selalu menemukan pelangi di tiap senyum Ayah. aku yakin, karena aku juga cinta Ayah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gadis Wayang ( Serpih 5, Nilai Rapor )

22 September 2012   12:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:59 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, pagi yang menegangkan bagi Emak. Bukan karena jamunya tak laku dijual kepada pelanggan – pelanggan setianya, karena memang hari iniEmak libur untuk dagang jamu keliling. Dari sebelum shubuh Emak sudah bangun untuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari bawahan jarik dan kebaya jadul serta warnanya yang sudah kumal. Terakhir kali emak memakai kebaya itu saat aku lulus madrasah tsanawiyah. Dan sekarang ia memakainya lagi untuk acara penerimaan rapor semester duaku. Emak begitu optimis. Diikatnya rambut yang sudah beruban banyak itu ke belakang, sentuhan terakhir dibalut jilbab keramat yang dari tahun ke tahun hanya dipakai jika Emak memakai kebaya itu pula. Tak perlu memakai make up, wajah emak sudah terlalu polos dan menurutku lebih baik tak memakai make up. Nampak garis – garis keriput mulai terlukis meliuk – liuk di atas wajah Emak. Emak memang wanita yang sudah berumur.

Emak berangkat dengan menggayuh sepeda bututnya yang tiap hari dipakai untuk menjajakan jamunya. Sebelum berangkat dan berdandan tadi, Emak memeriksa sepadanya dengan intensif. Mulai dari kondis ban, rantai yang hitam karena terlalu banyak dilumuri oli – oli bekas. Semuanya diperiksa oleh mata Emak dan tak ada satupun yang lepas dari pandangan tajam Emak. Dirasa cukup, Emak mengusap bagian terakhir, yakni tempat duduk sepeda bututnya yang sudak agak miring. Semangat Emak pagi ini tak kalah dengan semangat Emak yang tiap paginya untuk berjualan jamu. Nampak bias – bias optimisme terpancar dari wajah Emak. Ingin melihat sang gadis mendapat peringkat pertama dari hasil ujiannya. Emak menggayuh sepedanya dengan cepat dan hati – hati sekali. Karena ia tak mau jarik kesayangannya terkena oli bekas yang terlumur di rantai sepedanya. Tubuhnya kurus mungil dan kain belakang jilbabnya meliuk – liuk terbang diterpa angin. Jalan yang dilengkapi dengan kerikil – kerikil kecil itu menjadi saksi semangat Emak pagi ini. Mereka rela tertindas oleh sepeda Emakdemi melihat anak gadisnya memperoleh peringkat pertama. Harapan Emak menggebu – gebu.

Sedari tadi aku sudah menunggu kedatangan Emak di depan kelas. Kelas yang digunakan untuk pertemuan wali murid itulah dimana aku menunggu Emak. Aku berangkat lebih awal karena memang pertemuan wali murid dilaksanakan pukul delapan pagi. Emak masih menggayuh sepedanya dengan kaki – kakinya yang dari dulu sudah terlatih untuk menjalankan sepeda tua itu. Aku merasakan hawa ketegangan dalam diriku dan juga diri Emak. Keringat dingin mengucur deras di dahiku saat ini. Momen menegangkan tengah merajai dan menguasai diriku, inilah ketidaksabaran yang terus merong – rong akal fikiranku.Tak berapa lama aku menunggu di depan kelas. Emak muncul dengan sepeda tuanya. Jarik serta kebayanya pun terlihat agak kusut setelah diterpa angin jalanan. Aku melihat Emak yang turun dari sepeda dan langsung merapikan beberapa bagian – bagian yang kusut itu. Jilbab yang membalut wajahnya itupun ia rapikan. Wajah polosnya di lengkapi dengan senyum mungilnya mengembangkan rasa kebanggan yang tersungging indah bila dilihat. Aku menyambut kedatangan Emak dan mengajaknya ke ruang pertemuan wali murid. Emak tak banyak bicara. Ia hanya diam dan mencoba menguasai dirinya agar tak canggung. Berkali – kali aku menghela nafas dan mencoba membuat hal – hal yang nantinya tak membuat diriku tegang. Emak duduk di bangku paling depan, dan aku duduk disampingnya. Saat –saatyang dinanti pun akhirnya tiba.

Acara dimulai. Huft,,, detik – detik menegangkan dengan diselingi oleh obrolan sang empunya sekolah. Aku dan Zizah biasa menyebutnya dengan “Mu’alim”. Terkenal dengan wajah killernya yang sadis menghukum murid dengan cara menjatuhkannya dalam medan pertempuran mental. Menggunakan dalih agar kedisipilnan tegak didirikan. Mungkin itu cara Mu’alim berfikir demi kemajuan sekolanya. Aku hanya bisa membenarkan dan sedikit menggerutu cara berfikir Mu’alim dengan si gadis seribu bahasa jika tak ada topic pembicaraan yang hangat untuk diperdebatkan. Menggunakannya hanya untuk sebatas cadangan.

“ baiklah, Bapak – bapak dan Ibu – ibu sekalian. Kami akan mengumumkan beberapa siswa yang mendapatkan peringkattahun ini “

Emak memasang daun telinganya tajam – tajam . mulutnya tampak komat – kamit.

“ untuk urutan ke lima, diperoleh saudara Siti Halimah”. Emak masih tertahan. Mulutnya terus saja berkomat – kamit.

“ urutan ke empat, diperoleh saudara Mahmudin “. Aku diam.

“ urutan ke tiga, diperoleh saudara Suharyanti “. Perang berkecamuk dalam fikiran Emak dan juga Aku saat – saat mendebarkan mulai menggerogoti detak jantungku. Dag – dig – dug .

“urutan ke dua, diperoleh …………… “. Mu’alim sedikit terbatuk sebentar “huk – huk – huk”. Mungkin karena faktor usia. Dan itu membuatku menjadi semakin dongkol. Cepatlah Mu’alim !.

“ maaf saudara – saudara, saya lanjutkan kembali, urutan ke dua diperoleh saudara Asri “

Detak jantung Emak sejenak berhenti, mulutnya yang komat – kamit perlahan mulai mereda. Aku hanya diam saja dan serasa paru – paruku tertonjok batu karang lautan. Keras sekali. Kemudian, sesak nafas. Benarkah yang ku dengar ini? mengapa peringkatku tak pernah ada kemajuan ?. aku bertanya – tanya dalam lubuk hati yang paling dalam. Bukankah aku sudah memfotokopi semua buku – buku panduan. Tapi, kenapa aku masih saja menduduki peringkat ke dua. Aku sudah tak berminat mengikuti pembicaraan kepala sekolah. Karena aku sudah bisa menebak siapakah orang yang menduduki bangku pertama itu. Bangku kemenangan yang selalu menjadi obsesiku selama setahun ini. Ahmad, kapan aku bisa menggusur posisimu yang setiap tahun kau raih dengan mudahnya ? kapan… ? kapan…? Kapan kau akan memberikan kedudukanmu itu padaku, Ahmad ?.

Selepas acara, Emak pulang. Masih dengan jarik dan kebaya kumalnya yang sesekali ia rapikan.Ia tak banyak bicara saat di sepeda dan aku di boncengnya di belakang. Emak Diam, aku pun juga diam. Tak ada yang dibicarakan sama sekali. Hanya suara yang berbisik merdu di telingaku, dan mungkin juga di telinga Emak. Hatiku galau, apakah Emak marah padaku ? Aku tak tahu. Dan yang bisa kulakukan saat ini hanya diam, diam, diam. Tuhan … Tolong aku. Aku tak mau Emak murka karena kekecewaan yang aku berikan kepadanya. Semar, kali ini kau akan menyembunyikan empat jempolmu. Aku yakin. Dan senyummu akan memudar saat aku melihatnya, Semar. Aku merasakan kegagalan yang teramat. Bibirku kaku tak mau bicara sedikit pun, bahkan untuk sekedar membukanya saja rasanya sulit sekali. Terkatup seperti bunga tulip menjelang tidur malamnya. Dingin menyeringai tertusuk ke tulang belulang.

Sesampainya di rumah, Emak langsung menuju rak buku ku. Mencari – cari di mana letak buku – buku panduan ku hasil cetakan fotokopi kemarin di tempat Abah Ali. Aku takut, takut sekali. Aku takut jika Emak kalab dan membakar semua buku – buku sekolah ku di tungku yang biasanya di pakai untuk menanak nasi. Akhirnya emak menemukannya. Tanpa basa- basi Emak membawanya ke dekat jendela. Melihat buku – buku itu satu persatu. Dan kekhawatiranku berubah seketika, yang tadinya menduga Emak akan membakarnya, sekarang berganti menduga Emak akan membuangnya. Oh,,,, aku mulai was – was dan melihat Emak dengan mata yang mulai sembab. Melihat Wajah Emak yang tanpa ekspresi itu, aku mengira Emak akan muntab setelahnya.

Emak membolak – balik buku – buku itu, menerawangnya lembar demi lembar. Dan ia pun tampak kebingungan, karena aku tahu kalau Emak tak bisa membaca. Emak, apa yang akan kau lakukan dengan buku – buku itu ? aku pasrah. Andai detik ini dapat ku ulang kembali ke hari dimana aku masih melahap semua soal – soal ujian, aku akan berusaha lebih keras lagi. Berusaha untuk membuat nilai – nilainya menjadi seratus. Angka maksimal dari sebuah pertanyaan – pertanyaan semester. Namun, hasilnya seperti ini. Tuhan, dari awal aku tak ada niat untuk mengecewakan Emak. Aku ingin membuatEmak bangga. Aku ingin Emak tersenyum penuh makna yang terakhir kali ia sunggingkan saat empat belas maret jam dua belas lewat sebelas. Aku ingin Semar memberi empat jempolnya kepadaku. Oh,,, aku merasa semuanya gagal hanya karena keegoisanku semata. Aku terlalu menyombongkan diri sebelum mengetahui hasil akhir dari usaha kerasku. Mungkin ini salah satu kejadian di mana aku harus belajar. Belajar menghadapi setiap detik – detik kehidupan.

Belajar bersabar, meski nafsu terus memburu.

Belajar ikhlas, meskipun semuanya terjadi tak sesuai dengan kehendak kita.

Belajar intropeksi, meski tak pernah salah.

Belajar menghargai, meski selalu di cerca.

Belajar memahami, meski tak sehati.

Belajar bersyukur, meski selalu kekurangan.

Belajar menerima apa adanya, dengan hati yang penuh kerelaan. Ikhlas. Sabar. Memahami. Menghargai. Bersyukur. Dan selalu intropeksi pada diri kita sendiri.

“ Neng, apakah buku – buku yang kau fotokopi ini palsu ?” kata Emak polos.

Oh, Emak ternyata kau hanya memastikan apakah buku – buku itu palsu atau asli. Ku kira kau akan membakarnya di tungku atau kau akan membuangnya di luar jendela. Membayangkan jika kau akan kalab dan muntab terhadap anak gadismu ini. Emak, kau membuatku mati kutu. Dan, untuk Semar, kau masih saja tersenyum dan memberikan empat jempolmu meskipun aku telah membuat kau dan Emak kecewa. Aku tahu ini bukan saatnya Emak tersenyum penuh makna. Mungkin suatu saat nanti, harapan itu pasti tiba. Aku yakin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun