Menyedihkan membaca berita di harian KOMPAS kemarin. Anak manusia berusia 7-14 tahun dijual untuk dijadikan perempuan penghibur dan pekerja rumah tangga.
"Sebanyak 13 anak usia 7-14 tahun asal Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi korban penjualan orang. Diduga mereka hendak dijadikan perempuan penghibur dan pekerja rumah tangga dengan harga rata-rata Rp 250.000 per orang." Demikian cuplikan berita dari KOMPAS.
Kasus penjualan anak bukanlah hal baru. Beberapa kasus sebelumnya juga muncul di berbagai media. Jika sekarang berita itu muncul lagi, ini hanya pengulangan saja. Menjadi pertanyaannya adalah apakah kasus itu MAU dihilangkan? Kalau mau berarti sekarang petugas yang menangani bidang itu belum berhasil. Jika tidak ada ke-MAU-an maka kasus penjualan anak tetap dan akan berlangsung. Jadi persoalannya MAU atau TIDAK MAU.
Bagi kalangan penggiat hak anak tentu MAU menghilangkan kasus semacam ini. Anak tidak boleh dijadikan aset yang bisa dijual seperti barang. Anak adalah manusia yang mempunyai harga diri dan tidak boleh diperjual-belikan. Demikian juga bagi orang tua yang ingin mendidik anaknya sampai anaknya menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara.
Tetapi bagi mereka yang memperoleh keuntungan dari kasus penjualan anak, kasus ini tidak MAU dihilangkan. Biarkan saja kasus semacam ini terjadi. Toh mereka mengambil untung dari situ. KAlau dihentikan mereka tidak mempunyai penghasilan, mereka tidak mempunyai pekerjaan. Demikian juga bagi orang tua miskin dan mau mengorbankan anaknya untuk apa saja asal menghasilkan duit. Daripada hidup miskin lebih baik jual anak. Toh, dari penghasilan itu dia bisa terbebas dari kemiskinan finansial.
Menilik undang-undang yang mengatur tentang pekerja, kasus semacam ini menjadi bukti pelanggaran. Tetapi ngomong-ngomong soal undang-undang dan peraturan lainnya, di negeri ini segalanya bisa dilanggar. Semakin banyak peraturan dibuat semakin banyak pelanggaran dibuat. Aturan untuk dilanggar kok. Tetapi baiklah kalau kita menghargai mereka yang mempunyai hati untuk melindungi anak-anak yang juga telah diatur dalam peraturan di negeri ini.
Ada 2 peraturan yang berkaitan yang mengatur tentang usia pekerja anak yakni Undang-undang no. 20 Tahun 1999 dan Konvensi International Labour Organization (ILO) no. 138. Dari keduanya diperoleh keterangan bahwa batas minimun usia anak yang menjadi pekerja adalah 15 tahun. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kasus penjualan anak melanggar peraturan ini.
Tetapi siapa peduli dengan peraturan itu? Tentu saja masih ada rakyat negeri ini yang peduli. Ada LSM dan kelompok yang membela hak anak. Dan memang anak harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat, yang mempunyai harga diri. Oleh karena itu amat dibutuhkan kerja sama antara orang tua, polisi, LSM atau siapa saja yang peduli dengan anak-anak untuk mencegah kasus semacam ini.
Tidak mudah, mesti melewati jalan berliku, tetapi perlu usaha keras. Di Jakarta saja masih terjadi kasus penjualan anak, misalnya di daerah Cilincing beberapa waktu lalu. Anak yang dibawah 15 tahun dijadikan wanita penghibur. Entah apa yang disumbangkan anak-anak kecil ini untuk menghibur. Jika dia benar-benar menghibur berarti pelanggannya adalah mereka yang sedih. Tetapi istilah wanita penghibur kerapkali berkonotasi negatif. Pekerja Seks Komersial juga dipanggil wanita penghibur. Nah, kalau anak dijadikan wanita penghibur, sungguh malang kehidupannya.
Kita berharap kasus semacam ini harus berkurang dan lama-lama harus dihilangkan dari bumi Indonesia. Bangsa ini makin tidak bermartabat jika manusia dijual-belikan. Aset tambang sudah dijarah pihak asing, aset hutan sudah dihancurkan pihak asing, aset laut sudah dicuri pihak asing, haruskah Indonesia menjual manusianya?
PA, 28/7/2012