Mohon tunggu...
Gordi Afri
Gordi Afri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumnus STF Driyarkara, Jakarta, 2012. Sekarang tinggal di Yogyakarta. Simak pengalamannya di http://gordyafri.blogspot.com dan http://gordyafri2011.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Status Pegawai Kantor Tidak Membahagiakanku (?)

22 Desember 2011   09:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sebuah pertemuan akbar, seorang penyapu jalan bertemu seorang pegawai kantor. Mereka berbagi pengalaman pada pesta akbar yang dihadiri ratusan orang ini. Pertemuan ini digagas untuk mempertemukan para penyapu jalan dan atasan mereka, dinas kebersihan. Pegawai kantor ini adalah seorang yang ramah dan baik hati. Ia suka bergaul dengan rekan-rekannya di kantor. Ia selalu hadir lebih dulu ketimbang teman-teman pegawainya. Dia memang bukan pemimpin di kantor itu. Dia hanya seorang pegawai biasa. Di atasnya masih ada beberapa pemimpin. Mulailah mereka berbincang.

"Pekerjaan kamu apa?" tanya sang pegawai.

Pegawai ini kelihatan aneh. Masa dia tidak bisa membedakan pegawai kebersihan dan penyapu jalan. Semestinya dia tahu mana yang pegawai dan mana yang bukan. Namun, agak sulit membedakannya. Peserta pesta amat banyak. Lagi pula, semuanya mengenakan seragam batik.

"Saya tidak punya pekerjaan. Saya hanya petugas penyapu jalan," jawab sang penyapu jalan.


Dia menjawab apa adanya, tanpa malu, dengan pegawai kantor yang ramah ini. Dia tahu, yang berhadapan dengannya sekarang adalah pegawai kantor. Dari wangi parfumnya, dia tahu, ini pegawai.


"Bapak pegawai kantor, bukan?" sambungnya lagi.

"Ya, saya pegawai kantor. Pekerjaan kita berbeda, namun kita semua mendapat gaji."

"Betul pak, saya senang mendapat gaji. Angkanya kecil, namun saya bahagia. Dengan gaji itu, saya bisa menghidupi istri dan anak-anak saya."


"Saya mendapat banyak gaji, tetapi saya tidak terlalu bangga dengan gaji itu. Saya kesal karena teman-teman datang kemudian dari saya. Saya mengimpikan agar kami datang lebih awal, sebelum jam kantor mulai."


"Saya bahagia, bisa bangun pagi dan membersihkan jalanan. Sebelum anak sekolah dan orang tua yang mengantar mereka menggunakan jalan, kami sudah membersihkannya. Sebelum tengah hari, kami sudah kembali ke rumah. Alhamdulilaah, kami selalu mendapat rezeki secukupnya selama puluhan tahun pekerjaanku sebagai penyapu jalan."


Kisah ini hanyalah fiktif. Kalau ada yang tersinggung mohon maaf, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan pembaca. Dari kisah sederhana ini, kiranya kita tahu. Kebahagiaan seorang tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang diperoleh. Kebahagiaan seseorang tidak pula ditentukan oleh status/kedudukan sosial. Kebahagiaan sesorang ditentukan oleh kesuksesannya dalam bekerja. Bagimana dia menjalankan pekerjaannya, itulah yang menentukan kebahagiaannya. Singkatnya kebahagiaan itu muncul dari dalam. Bukan dari luar. Semoga terinspirasi.

CPR, 21/12/2011
Gordi Afri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun