HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis
Dr. H. A. Khumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
Falah Alauddin Zuhdi 222121105
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta
Abstract:
Buku "Hukum Perdata Islam di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis" oleh Dr. H.A. Khumedi Ja'far, S.A.G., M.H. menyajikan informasi tentang aspek hukum keluarga dan bisnis dari perspektif hukum Islam di Indonesia. Buku ini mencakup aspek hukum keluarga dan bisnis dari perspektif hukum Islam di Indonesia. Aspek hukum keluarga yang dibahas meliputi perkawinan, perceraian, kewangan keluarga, dan hak asasi manusia. Aspek hukum bisnis yang dibahas meliputi perdata dan perdata perusahaan, kendali perusahaan, kontrak dan perjanjian, dan perdata dan perdata perbankan. Buku ini bertujuan untuk menjadi referensi dan panduan bagi para pengguna dalam memahami hukum keluarga dan bisnis dari perspektif hukum Islam di Indonesia. Dengan informasi yang diberikan, penulis menginginkan bahwa buku ini dapat bermanfaat bagi para pengguna dalam melakukan kegiatan hukum, khususnya dalam aspek hukum keluarga dan bisnis.
Keywords: perkawinan, perceraian, kewangan keluarga, hak asasi manusia, perdata dan perdata perusahaan, kendali perusahaan, kontrak dan perjanjian, dan perdata dan perdata perbankan
Introduction
Buku "Hukum Perdata Islam di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis" oleh Dr. H.A. Khumedi Ja'far, S.Ag., M.H. merupakan buku yang mencakup aspek hukum keluarga dan bisnis dari perspektif hukum Islam di Indonesia. Buku ini menyajikan informasi tentang hukum perdata Islam di Indonesia dari aspek hukum keluarga dan bisnis. Aspek hukum keluarga yang dibahas meliputi perkawinan, perceraian, kewangan keluarga, dan hak asasi manusia. Aspek hukum bisnis yang dibahas meliputi perdata dan perdata perusahaan, kendali perusahaan, kontrak dan perjanjian, dan perdata dan perdata perbankan. Penulis menyebutkan bahwa hukum perdata Islam di Indonesia berperan penting dalam membantu mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh peran yang sangat besar dari hukum perdata Islam dalam menjamin hak hukum, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi dan panduan bagi para pengguna dalam memahami hukum perdata Islam di Indonesia dari aspek hukum keluarga dan bisnis. Dengan informasi yang diberikan, penulis menginginkan bahwa buku ini dapat bermanfaat bagi para pengguna dalam melakukan kegiatan hukum, khususnya dalam aspek hukum keluarga dan bisnis.
BAB I TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERDATA ISLAM
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata Islam
Hukum perdata Islam dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah fiqih mu’amalah, yaitu ketentuan (hukum Islam) yang mengatur hubungan antar orang-perorangan. Dalam pengertian umum, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam, seperti hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat dan perwakafan. Sedangkan dalam pengertian khusus, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hukum bisnis Islam, seperti hukum jual beli, utang piutang, sewa menyewa, upah mengupah, syirkah/serikat, mudharabah, muzara’ah, mukhabarah, dan lain sebagainya. Selanjutnya perkataan hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum atau privat materiil, yaitu seluruh hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan "perdata" juga lazim dipakai sebagai lawan dari pidana.
B. Sejarah Lahirnya Hukum Perdata Islam di Indonesia
Pertama, peruntukan hukum perdata berlainan untuk setiap golongan warga negara.
1. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku hukum adat, yaitu yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, rnengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa, Burgerlijk Wetboek tersebut memiliki sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dariTitel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan rnengenai "penahanan" pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka, ada pula Burgerlijke Stand sendiri. Ada pula peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi) karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.
3. Untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa (yaitu: Arab, India, dan lain-lain) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek;, yaitu pada pokoknya hanya bagian mengenai hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht). Jadi, bukan mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (Personen en familierencht) ataupun mengenai hukum warisan.
Kedua, hukum perdana untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata).
Hukum adat dapat ditafsirkan sebagai istilah bagi norma dan kaidah sosial yang berlaku di masyarakat. Sebagai hukum yang dibentuk oleh gejala sosial yang melembaga karena kebiasaan-kebiasaan, norma sosial diperkuat oleh penguasa adat dan kelompok sosial yang terdapat di masyarakat setempat, sehingga kepastian yang ditonjolkan oleh kaidah sosial dalam mengatur kehidupan masyarakat menjadi indikator bahwa kaidah sosial tersebut merupakan hukum yang diperoleh dari tradisi yang berlaku sehingga disebut dengan hukum adat.
Hukum adat dapat menjadi hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan pada hakikatnya hukum adat ini merupakan ciptaan masyarakat sendiri yang diwujudkan dengan proses tradisionalisasi perilaku sosial. Nilai-nilai dalam tradisi perilaku diperoleh dari berbagai ajaran, yakni ajaran nenek moyang, ajaran agama, dan berbagai ugeran atau petuah penguasa adat secara turun-temurun.
Akan tetapi, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara hukum adat tidak dapat lagi dipandang sebagai norma sosial yang mutlak dapat dijadikan tolok ukur karena hukum adatnya sendiri telah direduksikan dengan hukum nasional sebagai hukum positif yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara sosiologis, baik hukum adat maupun hukum nasional dalam menyelesaikan perkara perdata, keduanya merupakan gejala sosial tentang pencarian rasa adil dalam masyarakat. Hal ini karena kedua macam hukum yang berlaku tidak mutlak menjamin rasa adil yang dimaksudkan.
Sejarah lahirnya Hukum Perdata Islam di Indonesia disebabkan hul berikut:
1. masyarakat Indonesia mayoritiis hcragama Islam;
2. kehidupan masyarakat dalam berbagai masalah yang menyangkut kehidupan perseorangan dan lingkungan sosialnya banyak berpedoman pada ajaran agama Islam yang secara kultural terus dibudayakan;
3. pengaturan kehidupan antar sesama manusia atau warga negara di wilayah masing-masing masyarakat berpedoman pada kebiasaan sosial yang telah menjadi adat atau norma sosial;
4. undang-undang yang telah berlaku dan aturan pelaksanaan undangundang berkaitan dengan keperdataan tidak berbeda jauh dengan adat yang diambil dari ajaran Islam sehingga memudahkan pelaksanaannya.
BAB II HUKUM PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-nikah. Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan aldammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an alwath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Dalam pengertian majaz, nikah diistilahkan dengan akad, karena akad merupakan sebab diperbolehkannya bersenggama. Karena nikah adalah akad, maka pernikahan didefiniskan sebagai suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dengan tujuan yang bersifat material yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Dalam Islam, tujuan dari perkawinan adalah terjaganya dan terpeliharanya keturunan dan kesucian diri manusia. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Taqiyyuddin Abi Bakar dalam kitabnya Kifatul Akhyar menyebutkan bahwa pernikahan bertujuan untuk menghindarkan diri dari zina, mempunyai anak dan sebagai ibadah.
Selain itu, dengan perkawinan, manusia akan memperoleh ketenangan, mendapatkan kasih sayang dan dapat memperoleh ketentraman dalam hidup. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah Q.S. ar-Rum ayat 21 yang artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Berdasarkan ayat di atas, dapat dimengerti bahwa tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah Sementara berdasarkan yuridis ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan bahwa tujuan suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan sejahtera.
Dari tujuan pernikahan tersebut, bila diformulasikan, maka terdapat tujuan yang fundamental dari perkawinan, yakni:
a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan. c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.
C. Asas dan Prinsip Perkawinan
Apabila diteliti secara saksama dalam kacamata yuridis (Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan), terdapat asas-asas yang fundamental dalam perkawinan, yaitu:
a. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagian dan kekal. Maka suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam undang-undang ini menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Asas monogami. Asas ini ada pengecualian, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami lebih dari seorang istri meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan bila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d. Prinsip calon suami harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat.
e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.
f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami istri.
BAB III HUKUM PERCERAIAN
Setiap perkawinan mempunyai harapan akan dapat bertahan seumur hidup, karena salah satu dari prinsip perkawinan adalah untuk selamanya. Perkawinan adalah kegiatan yang sakral. Konsep itu selalu memandang lembaga sosial tersebut dari sudut pandang filsafat- teologis sehingga tidak jarang melahirkan benturan konsep, antara ruang yang transenden dan interpretasi menurut rasio manusia. Namun, gejolak zaman terus “menggugat” hakikat atau esensi sebuah perkawinan manakala manusia mengalami kegetiran hidup yang menuntut adanya sebuah rumusan baru atau sebuah rekonstruksi pemahaman yang lebih seimbang. Himpitan ekonomi, tranformasi budaya, politik merupakan bentuk-bentuk gugatan terhadap cara pandang di atas. Simpul-simpul permasalahan sebuah rumah tangga yang tidak dapat diurai secara jelas dapat menyebabkan keretakan sebuah kebersamaan yang serius yaitu perceraian. Perceraian kemudian melahirkan babak kehidupan baru seperti terjadinya peran baru yang disebut single parent.
A. Pengertian Perceraian
Secara umum, perceraian tak ubahnya sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan. Aktivitas itu terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku.
Namun dalam konteks hukum Islam, perceraian diistilahkan “talak” atau “furqah”. Adapun arti dari talak adalah membuka ikatan dan membatalkan perjanjian, sementara furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Selanjutnya kedua kata ini dipakai oleh para ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami istri.
Sementara dalam perspektif yuridis, perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
B. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Perkawinan merupakan penyatuan masing-masing sifat, pola pikir, dan kebiasaan yang berbeda yang oleh sebab itu dalam kehidupan berumah tangga (berkeluarga) selalu ada permasalahan atau konflik yang terjadi diantara suami dan istri.
Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (lakilaki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
Bila ditinjau secara yuridis, masalah perkawinan dan perceraian terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan penjelasannya dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019. UUP ini keseluruhan berisi XIV Bab dan 67 Pasal. Mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 UUP dan mengenai tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.
Berdasarkan yuridiksi Indonesia, masalah perceraian diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Didalamnya dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu (1) Kematian, (2) Perceraian, dan (3) Atas Keputusan Pengadilan.
Sementara Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun lagi sebagai suami isteri. Sebaliknya, dalam hal tidak ada alasan ke arah perceraian selanjutnya pengadilan dapat menolak perceraian tersebut. Dalam Pasal 39 Undang-Undang Perceraian diatur mengenai putusnya perkawinan yang menyatakan:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
c. Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturutturut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
e. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan sebagaimana disebutkan di atas memberikan pengertian bahwa :
a. Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan.
b. Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.
C. Faktor-faktor Penyebab Perceraian
a. Ketidakharmonisan dalam berumah tangga.
b. Krisis moral dan akhlak.
c. Perzinahan.
Selain dari faktor di atas, ada beberapa faktor yang memberikan kontribusi terhadap perceraian, yaitu:
a. Usia saat menikah
b. Tingkat pendapatan
c. Perbedaan perkembangan sosio emosional di antara pasangan
D. Tata Cara Perceraian
Dalam tata cara perceraian terbagi kepada dua jenis, yakni cerai talak dan cerai gugat. Perceraian talak berlaku bagi mereka yang beragama Islam seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa seorang istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
a. Dari ketentuan tersebut, diketahui bahwa pelaksanaan perceraian talak tidak hanya dilakukan oleh suami dengan mengajukan surat kepada Pengadilan Agama bagi pasangan suami istri yang beragama Islam. Tata cara perceraian dengan talak diatur dalam mengenai sebab-sebab perselisihan itu;
b. Gugatan perceraian dengan alasan salah satu dari pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, agar mendapatkan putusan perceraian maka Pengadilan cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan dengan keterangan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
c. Dengan pertimbangan bahaya yang mungkin saja timbul, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tidak tinggal serumah selama gugatan perceraian berlangsung;
d. Pengugat atau Tergugat dapat memohon kepada Pengadilan untuk:
e. Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan;
f. Para pihak akan dipanggil secara resmi oleh juru sita untuk pemeriksaan gugatanperceraian di Pengadilan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
g. Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka dilakukan pemanggilan dengan menempelkan gugatan pada papan pengumuman atau melalui surat kabar sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan antara pengumuman yang pertama dengan yang kedua;
h. Bila tempat kediaman Tergugat di luar negeri maka pemanggilan dilakukan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat;
i. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterima dan dalam hal Tergugat berdomisili di luar negeri sidang ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak gugatan dimasukkan ke Kepaniteraan Pengadilan;
j. Pada sidang pemeriksaan gugatan, baik istri dan suami harus datang sendiri atau dapat diwakili oleh kuasa hukumnya;
k. Sebelum perkara diputuskan, Hakim akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak;
l. Apabila usaha perdamaian berhasil, maka pengadilan membuat Akta Perdamaian dan alasan yang diajukan untuk bercerai tidak dapat lagi digunakan oleh Penggugat; m. Bila tidak tercapai perdamaian, maka sidang dilanjutkan dan dilakukan dalam sidang tertutup;
n. Putusan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka dalam arti siapa saja boleh mendengarkan dan putusan pengadilan didaftarkan di Kantor Pencatatan oleh Pegawai Pencatat;
o. Panitera pengadilan atau Pejabat Pengadilan berkewajiban selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirim suatu helai putusan perceraian kepada Pegawai Pencatat untuk didaftar;
p. Bila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsung perkawinan, maka satu helai salinan putusan dikirimkan kepada Pegawai oleh Pegawai Pencatat Nikah dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan; q. Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian dalam mengirim salinan putusan menjadi tanggung jawab Panitera;
r. Panitera Pengadilan Agama berkewajiban memberikan akta cerai sebagai bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
E. Akibat Perceraian
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
1.Terhadap anak-anaknya;
Pada umumnya, para orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik.
2.Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan)
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 37 menjelaskan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Maksud dari menurut hukumnya masingmasing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
3.Terhadap mut’ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 pasal 78 disebutkan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin, memelihara, dan pendidikan anak
c. Menentukan hal-hal yang perlu menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak istri.
Namun dalam menentukan mut’ah tersebut, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 158 menyebutkan bahwa mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al-dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.
BAB IV HUKUM KEWARISAN
A. Pendahuluan
Proses kehidupan manusia secara kodrati berakhir dengan kematian, karena mati merupakan hak bagi setiap individu manusia (inna al-maut haq). Karena itu, mati termasuk kategori hukum alam (sunnatullah), dan pasti bagi mereka cepat atau lambat akan mengalami kematian. Secara normatif yuridis, peristiwa kematian merupakan peristiwa hukum, karena bagi orang yang mati segala hak dan kewajibannya berakhir, dan bahkan secara otomatis pindah kepada ahli waris yang berhak mewarisinya (zaw al-furud) terutama yang berkaitan dengan harta kekayaan yang ditingalkan (al-tirkah), baik berupa benda bergerak seperti mobil, motor dan lain-lain maupun benda tidak bergerak seperti rumah, sebidang tanah, dan lain-lain. Bagi umat Islam, pembagian waris secara teknis telah diatur dalam ilmu fara’id, baik segi sistem kewarisannya (nizam al-irts), orang-orang yang berhak mewarisinya (al-warits), kadar warisan yang akan diterima oleh masing-masing ahli waris (al-furud al-muqaddarah), harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris (al-muwarrits) seperti berupa uang, tanah, mobil, dan lain-lain yang disebut dengan al-irts, al-turts, almirats, al-mauruts, dan al-tirkah (maknanya semua sama, mutaradifat), orang yang terhalang hak warisnya (al-hijab), maupun orang-orang yang terlarang untuk menerima hak warisnya (mawani’ al-irts).
B. Batasan Hak Waris
Hak waris merupakan suatu istilah yang terdiri dari kata “hak” dan “waris.” Hak, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan dengan benar, kebenaran, kekuasaan yang benar atas sesuatu, atau untuk menuntut sesuatu, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh aturan, undang-undang, dan sebagainya, dan kewenangan. Dalam kamus lain, kata hak terjemahan dari kata haqqa, yahiqqu, wa huquqan, yang maknanya berarti sah (sahha), tetap (tsabata), benar (sadaqa), dan meyakini (tayaqqana). Berdasarkan pengertian kedua kata secara etimologis dan terminologis tersebut di atas dapat diambil satu pengertian bahwa yang dimaksud dengan hak waris di sini yaitu suatu ketentuan bagian waris yang dituntut oleh ahli waris untuk mendapatkannya dari harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, baik berupa harta benda bergerak maupun tidak bergerak, dan termasuk hak milik lain yang legal yang dibenarkan oleh syara.
C. Klasifikasi Hak
Secara teoritis, hak dapat dibedakan pada dua macam, yaitu hak Allah, dan hak manusia. Perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum syari’at, jika tujuan perbuatan itu dilakukan untuk kemaslahatan masyarakat umum, maka hukum perbuatan itu adalah murni hak Allah, dan bagi mukallaf mengenai perbuatan itu tidak ada alternative pilihan. Pelaksanaan sepenuhnya berada pada kekuasaan pemerintah (waliy al-amr). Jika tujuan perbuatan itu dilakukan untuk kemaslahatan mukallaf semata, maka hukum perbuatan itu adalah murni hak mukallaf, tetapi dalam pelaksanaannya ia mempunyai hak pilihan.
D. Asas Keadilan dalam Waris
Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku untuk hukum kewarisan yang lain. Hukum kewarisan Islam mempunyai corak dan karakteristik tersendiri, dan digali dari teks-teks al-Qur’an dan hadis Nabi s.a.w. Dari lima asas yang berkaitan dengan peralihan harta benda dari pewaris (al-muwarrits) kepada penerima waris (al-warits), yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian, maka di sini hanya akan diuraikan asas keadilan berimbang saja. Secara sosio-historis, implementasi pembagian hak waris agar rasa keadilan di antara para ahli waris dapat dirasakan bisa saja dilaksanakan dengan pertimbangan kekeluargaan/kekerabatan, kearifan lokal, dan kesepakatan semua ahli waris. Pada hakikatnya Allah telah menetapkan hak bagian waris kepada masing-masing ahli waris seperti terlihat dalan surat al-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176 merupakan akumulasi tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya, sehingga jumlah bagian yang diterimanya sudah sama berimbang dengan tanggungjawab masingmasing dalam keluarganya. Demikian inilah standar keadilan dalam Islam, yaitu keadilan berimbang. Sebagai contoh, hak waris antara lakilaki dan perempuan (al-Nisa’: 11) adalah 2 : 1. Di kalangan ulama konvensional (mufassirin) di antaranya al-Thabari berpendapat bahwa ayat ini sudah final karena landasan hukumnya qath’i al-tsubut dan qath’i al-dalah sehingga tidak bisa lagi diinterpretasikan lain.60 Berarti formula 2 : 1 tersebut harus diaplikasikan kepada ahli waris apa adanya. Sementara di kalangan ulama kontemporer (muta’akhkhirin) seperti Muhammad Shahrur dengan teori nazhariyyat al-hudud-nya berpendapat bahwa ayat itu belum final, karena pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan keadilan, tetapi pemberlakuannya secara bertahap.
E.Hak Waris Ahli Waris Beda Agama
Kebanyakan ulama konvensional (fuqaha dan mufassirin) telah sepakat bahwa disebabkan beda agama dapat menghalangi hak waris (mawani’ al-irts). Tetapi, kemudian mereka terjadi perbedaan pendapat dalam masalah, kapan orang kafir tidak boleh mewaris harta warisan (almauruts) orang muslim, apakah orang muslim boleh mewarisi harta waris orang kafir apabila ditemukan adanya sebab-sebab yang membolehkan untuk mewarisi, dan apakah selain agama Islam seperti Yahudi dan Nasrani yang masih dalam satu rumpun agama Allah dapat mewarisi satu sama lain. Mayoritas ulama konvensional mensikapi dua permasalahan pertama di atas telah sepakat, dalam hal ini Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan para pengikutnya bahwa tidak boleh orang kafir mewarisi tirkah orang muslim, atau sebaliknya, apakah disebabkan karena hubungan memerdekakan budak (al-wala’), hubungan perkawinan (al-zaujiyyah), dan/atau hubungan kekerabatan (al-qarabah). Demikian juga kalau ada seorang muslim meninggal dunia, ia meninggalkan seorang isteri non muslim (al-kitabiyah), atau kerabat non muslim kemudian mereka masuk Islam sebelum tirkah al-muwarrits dibagikan, maka mereka tetap tidak mendapatkan hak waris.
BAB V HUKUM WASIAT
A. Pengertian Wasiat
Secara bahasa, dimaksudkan dengan wasiat yaitu pesan, atau pesan-pesan, atau sesuatu yang dipesankan kepada orang lain.85 Sedangkan secara terminologis, wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan kepada seseorang untuk dilaksanakan/dijalankan sesudah meninggalnya.86 Batasan lain, wasiat yaitu suatu tasarruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat.
B. Dasar Hukum Wasiat
Dasar hukum diperbolehkan melakukan wasiat kepada siapa saja orang yang dikehendaki selain ahli waris di antaranya adalah: Pertama, Q. S. Al-Maidah, ayat 106 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu”. Kedua, Hadis kudsi, Rasulullah bersabda: “Bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu Allah menentukan sebagian harta seseorang khusus untuk seseorang ketika ia akan wafat (dengan jalan wasiat) untuk memberihkan dirinya (dari dosa), dan doa seorang hambabuat seseorang yang telah wafat”.
C. Pandangan Ulama Tentang Wasiat
Abdul Wahab Khallaf berpandangan bahwa apabila ada seorang anak beragama Islam mempunyai harta banyak, maka anak sebagai almuwarrits diwajibkan untuk mewasiatkan (wasiat wajibah) sebagian hartanya untuk kedua orang tuanya, atau kerabatnya yang non muslim. Pandangannya ini didasarkan pada surat al-Baqarah: 180, yang substansinya perintah wajib berwasiat kepada ahli waris sesama muslim secara umum. Tapi perintah ayat ini sudah dinasakh dengan turunnya surat al-Nisa’: 11-14. Yang masih berlaku adalah berwasiat secara khusus bagi kerabat yang terhalang untuk mendapatkan hak waris disebabkan beda agama.
Pemikiran Khallaf ini kelihatannya sejalan dengan pandangan Ibn Hazm al-Zhahiri yang berpendapat bahwa wasiat itu wajib (al-fardh) hukumnya bagi setiap muslim, terutama kepada kerabat yang terhalang untuk mendapatkan hak waris.95 Lebih jauh Hazm mengatakan bahwa, apabila tidak diadakan wasiat untuk kerabat yang tidak mendapatkan hak waris, maka hakim harus bertindak sebagai muwarrits yaitu memberi sebagian dari harta waris (al-tirkah) kepada kerabat yang terhalang untuk mendapatkan hak warisnya, sebagai suatu wasiat wajibah untuk mereka.
BAB VI HUKUM PERWAKAFAN
A. Pengertian Wakaf
Secara etimologis, kata “wakaf” berasal dari bahasa arab “waqafa, yaqifu, waqfan” yang artinya menahan, berhenti, berdiri, diam di tempat. Sedangkan secara terminologis, wakaf yaitu menahan atau membekukan sesuatu benda yang kekal zatnya dan dapat diambil faedahnya di jalan kebaikan oleh orang lain. Definisi lain, wakaf yaitu menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nazir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam.
B. Dasar Hukum Wakaf
Secara tekstual al-Qur’an dan tegas menjelaskan mengenai ajaran wakaf sejauh penelitian penulis ternyata tidak ditemukan satu ayatpun yang mengungkapkan kata al-waqf. Pendasaran ajaran wakaf ini kelihatannya para ulama konvensional lebih mendasarkan pada hasil emahaman terhadap teks-teks al-Qur’an yang berbicara mengenai sebuah amal kebajikan, di antaranya firman Allah: Artinya: “Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (Al-Hajj: 77). Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui” (Ali Imran: 92). Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orangorang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir; pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah: 261).
Selain teks-teks al-Qur’an tersebut, didasarkan pada beberapa hadis Nabi:
a.Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah, bahwasannya Nabi bersabda: “Apabila anak adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya”. Hadis ini oleh al-Shan’ani dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menginterpretasikan kalimat shadaqah jariyah dengan wakaf.
b.Hadis riwayat Muslim dari Ibn Umar yang menceritakan ayahnya Umar bin Khattab datang kepada Rasulullah dengan meminta saran mengenai sebidang kebun yang berlokasi di Khaibar, Rasul bersabda: “Jika kamu mau, tahan (pokoknya) tanah kebun itu, maka sedekahkanlah hasil kebunnya. Kemudian Umar melaksanakan saran Rasulitu dengan mensedekahkan hasil kebunnya, (pokoknya) tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan”
C. Macam-Macam Wakaf
Pertama, dimaksudkan dengan wakaf ahli yaitu wakaf yang diperuntukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini disebut juga dengan wakaf zurri, atau kerabat.
Kedua, dimaksudkan dengan wakaf khairi, atau wakaf untuk umum yaitu wakaf yang secara tegas dinyatakan oleh si wakif untuk kepentingan umum masyarakat.107 Misalnya wakaf tanah yang diberikan untuk kepentingan pembangunan masjid, lembaga pendidikan, lembaga dakwa, rumah sakit Islam, tempat pemeliharaan dan pemberdayaan anakanak jalanan secara profesional, dan lain-lain.
D. Pengelolaan dan Pengembangan Aset Wakaf
Secara umum, problematika pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf di Indonesia selama ini masih dikelola secara tradisionalkonsumtif, masih jauh dari harapan umat. Wakaf baru dikelola secara amatiran, terkadang salah kaprah, dan bahkan menjadi beban bagi nazir. Selain itu, obyek-obyek wakaf (mauquf bih) masih terbatas titik tekannya pada benda tidak bergerak (al-madah al-‘iqar, atau fixed asset), belum menjamah pada semua jenis benda bergerak yang bernilai ekonomis. Baru menjadi optimisme masyarakat setelah diundangkan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya. Problematika krusial dimaksud di antaranya: Pertama, lembaga nazir tidak berfungsi dan berperan secara optimal, karena eksistensi para nazir diposisikan sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) pekerja yang lillahi ta’ala, tidak digaji dan dipenuhi kesejahteraan hidupnya, di samping kredibilitas dan kualitas individu masing-masing nadzir pun tidak memenuhi persyaratan untuk mampu mengelola dan memberdayakan harta benda wakaf yang telah terkumpul. Kedua, melihat kondisi SDM nazir yang demikian, ternyata implikasinya harta benda wakaf tidak terkelola secara profesional produktif, meskipun sesungguhnya wakaf tersebut berpotensi nilai ekonomis yang tinggi untuk dikembangkan, namun karena keterbatasan SDM pengelola, potensi harta benda wakaf belum dapat meningkatkan kesejahteraan umat.
BAB VII HUKUM JUAL BELI
A. Pengertian Jual Beli
a. Menurut bahasa (etimologi), jual beli berarti : “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain) kata lain dari Ba’i (jual beli) adalah al-tijarah yang berarti perdagangan. Hal ini sebagaimana firman Allah : “Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi “.
b. Menurut istilah (terminiologi), terdapat beberapa pendapat :
1. Menurut ulama Hanafiah, jual beli adalah “Pertukaran harta (benda) dengan harta (yang lain) berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).
2. Menurut Imam Nawawi, jual beli adalah “Pertukaran harta dengan harta (yang lain) untuk kepemilikan”.
3. Menurut Ibnu Qudamah, jual beli adalah “Pertukaran harta dengan harta (yang lain) untuk saling menjadikan milik”.
B. Rukun dan Syarat Jual Beli
1. Rukun jual beli
1) Penjual,
2) Pembeli,
3) Barang jualan
4) Shighat (ijab qabul), maupun tulisan.
2. Syarat sahnya jual beli
1. Subjek jual beli,
2. Objek jual beli,
3. Lafaz (ijab qabul) jual beli,
C. Macam-Macam Jual Beli
1. Jual beli yang dilarang karena ahliah atau ahli akad (penjual dan pembeli), antara lain : Jual beli orang gila, Jual beli anak kecil, Jual beli orang buta, Jual beli Fudhlul, Jual beli orang yang terhalang (sakit, bodoh atau pemboros), Jual beli Malja’,
2. Jual beli yang dilarang karena objek jual beli (barang yang diperjual belikan), antara lain : a) Jual beli Gharar, b). Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, c). Jual beli Majhul, d) Jual beli sperma binatang, e) Jual beli barang yang dihukumkan najis oleh agama (Alquran), f) Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. g) Jual beli Muzabanah, h) Jual beli Muhaqallah, i) Jual beli Mukhadharah, j) Jual beli Mulammasah, k) Jual beli Munabadzah,
3. Jual beli yang dilarang karena Lafadz (ijab kabul) : a) Jual beli Mu’athah, b) Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan kabul., c) Jual beli Munjiz, d) Jual beli Najasyi, e) Menjual di atas penjualan orang lain, f) Jual beli di bawah harga pasar, g) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.,
D. Khiar dalam Jual Beli
a) Khiyar majelis Yaitu khiar jual beli dimana kedua belah pihak (penjual dan pembeli) bebas memilih, baik untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama keduanya belum berpisah dari tempat akad jual beli.
b) Khiyar syarat yaitu khiyar jual beli yang disertai dengan suatu perjanjian (syarat) tertentu. Contoh seseorang berkata : saya jual mobil ini dengan harga Rp. 30.000.000,- dengan syarat 116 khiyar selama tiga hari.
c) Khiyar aib yaitu khiyar jual beli yang memperbolehkan bagi pembeli suatu barang untuk membatalkan akad jual beli dikarenakan terdapat cacat pada barang yang dibeli, baik cacat itu sudah ada pada waktu akad tawar-menawar atau sesudahnya yang sebelumnya tidak diketahui oleh pembeli. Contoh seseorang membeli baju, setelah dicoba ternyata ada yang robek, maka baju tersebut boleh dikembalikan kepada penjual. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Aisyah ra, ia berkata : “Ada seorang laki-laki yang membeli seorang budak dan telah tinggal bersamanya beberapa waktu, kemudian baru diketahui bahwa budak itu ada cacatnya, lalu hal itu diadukan kepada Rasulullah SAW, maka baliau memerintahkan supaya budak itu dikembalikan kepada si penjual”.
E. Berselisih dalam Jual Beli
Penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli hendaklah berlaku jujur, terbuka, sopan (beretika) dan mengatakan apa adanya, jangan berdusta dan bersumpah palsu. Sebab yang demikian itu dapat menghilangkan keberkahan dalam jual beli. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah”.
Sebaliknya pedagang (penjual) yang jujur, benar, dan mengikuti ketentuan ajaran Islam akan dekat dengan para Nabi, sahabat dan orangorang yang mati syahid pada hari kiamat kelak, Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Pedagang yang jujur dan terpercaya dikumpulkan bersama para Nabi, sahabat-sahabat dan orang-orang yang mati syahid”.
Adapun dalam jual beli apabila terdapat perselisihan pendapat antara penjual dan pembeli terhadap suatu barang atau benda yang diperjual belikan, maka yang dijadikan pegangan adalah keterangan (kata-kata) yang punya barang, selama keduanya (penjual dan pembeli) tidak mempunyai saksi dan bukti-bukti lain. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Apabila penjual dan pembeli berselisih dan di antara keduanya tidak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang mempunyai barang atau dibatalkan”
F. Manfaat dan Hikmah Jual Beli
Manfaat dan hikmah yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli antara lain :
a. Antara penjual dan pembeli dapat merasa puas dan berlapang dada dengan jalan suka sama suka.
b. Dapat menjauhkan seseorang dari memakan atau memiliki harta yang diperoleh dengan cara batil.
c. Dapat memberikan nafkah bagi keluarga dari rizki yang halal.
d. Dapat ikut memenuhi hajat hidup orang banyak (masyarakat).
e. Dapat membina ketenangan, ketentraman, dan kebahagian bagi jiwa karena memperoleh rizki yang cukup dan menerima dengan ridha terhadap anugerah Allah SWT.
f. Dapat menciptakan hubungan silaturrahim dan persaudaraan antara penjual dan pembeli.
BAB VIII HUKUM UTANG PIUTANG
A. Pengertian Utang Piutang
Yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan baik berupa uang maupun benda dalam jumlah tertentu dengan perjanjian yang telah di sepakati bersama, di mana orang yang diberi tersebut harus mengembalikan uang atau benda yang dihutangnya dengan jumlah yang sama tidak kurang atau lebih pada waktu yang telah ditentukan.
B. Dasar Hukum Utang Piutang
Utang-piutang pada dasarnya hukumnya sunnat, tetapi bisa berubah menjadi wajib apabila orang yang berutang sangat membutuhkannya, 120 sehingga utang piutang sering diidentikan dengan tolong menolong. Hal ini sebagaimana firman Allah :
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
C. Rukun dan Syarat Utang Piutang
a.Orang yang memberi utang
b. Orang yang berutang
c. Objek atau barang yang diutangkan
d. Lafadh (ijab qabul).
D. Hukum Memberi Kelebihan dalam Membayar Utang
a. Kelebihan yang tidak diperjanjikan
Apabila kelebihan pembayaran dilakukan oleh orang yang berutang tanpa didasarkan pada perjanjian sebelumnya, dan hanya 122 sebagai ucapan terima kasih (kebaikan), maka kelebihan tersebut (hukumnya) boleh (halal) bagi orang yang memberi utang. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW telah mengutang hewan, kemudian beliau membayar dengan hewan yang lebih tua umurnya dari hewan yang beliau utang itu, lalu Rasulullah SAW bersabda : orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”.
b. Kelebihan yang diperjanjikan
Apabila kelebihan pembayaran dilakukan oleh orang yang berutang kepada orang yang memberi utang didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, maka hukumannya tidak boleh, dan haram bagi orang yang memberi utang untuk menerima kelebihan tersebut. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW :
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba”.
E. Hukum Menunda Pembayaran Utang
Bagi orang yang mampu membayar utang pada waktu yang telah ditentukan, maka ia termasuk orang terpuji. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Maka sebaik-baiknya kamu adalah yang sebaik-baiknya pada waktu membayar utang”
Sebaliknya bagi orang yang suka menunda-nunda atau enggan membayar utang, padahal ia mampu untuk membayarnya, maka ia termasuk orang yang dzalim dan akan memperoleh dosa besar. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Dari Amir bin Syarridi dari ayahnya. Dari Rasulullah SAW beliau besabda : menunda-nunda waktu pembayaran utang oleh orang yang membayar utangnya dapat membuat piutangnya halal menodai kehormatannya dan menghukumnya”.
F. Dampak Negatif Utang Piutang
Utang dapat berakibat buruk bagi orang yang membiasakan melakukannya. Di antara akibat buruk itu adalah sebagai berikut :
a. Dapat menggoncangkan pikiran,
b. Dapat mengganggu nama baik keluarga,
c. Utang yang sudah lama belum terbayar
d. Jika utang seseorang sudah menumpuk (banyak) dan belum bisa dibayar,
e. Jika utang seseorang sudah terlanjur banyak, dan tidak bisa membayar utangnya.
G. Faktor Pendorong Melakukan Utang
a. Keadaan ekonomi yang memaksa (darurat) atau tuntutan kebutuhan ekonomi.
b. Kebiasaan berutang, sehingga kalau utangnya sudah lunas rasanya tidak enak kalau tidak utang lagi.
c. Karena kalah judi, sehingga ia berutang untuk segera membayar kekalahannya.
d. Ingin menikmati kemewahan yang tidak (belum) bisa dicapainya.
e. Untuk dipuji orang lain, sehingga berutang demi memenuhi yang diinginkan (karena gengsi atau gaya-gayaan).
H. Pemindahan Utang (Hiwalah)
a. Pengertian pemindahan utang (hiwalah)
Yaitu mengalihkan atau memindahkan tanggung jawab utang dari tanggungan seseorang kepada orang lain (orang kedua) karena orang lain (orang kedua) itu juga mempunyai utang kepada orang yang pertama, dan pemindahan itu harus atas persetujuan orang yang pertama, yakni orang yang akan menerima penyerahan itu.
b. Dasar hukum pemindahan utang (hiwalah) Hiwalah
hukumnya boleh (mubah), dengan syarat tidak terdapat unsur penipuan dan tidak saling merugikan salah satu pihak. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima asalkan yang lain itu mampu membayarnya”.
c. Rukun dan Syarat pemindahan utang (Hiwalah)
Rukun Hiwalah adalah :
1) Muhil,
2) Muhtal,
3) Muhil
4) Muhal Alaih,
5) Lafaz atau shighat hiwalah,
Syarat Hiwalah :
1) Kerelaan dari orang yang berhutang dari orang yang menerima (diserahi) tanggungan utang.
2) Jumlah uang atau benda yang diutang harus jalan .
3) Antara orang yang diutangi dan orang yang diserahi tanggung jawab harus sama-sama paham dan mengetahui secara jelas jenis, ukuran, batas waktu pembayaran, dan tata cara pembayarannya.
4) Orang yang berutang telah lepas dari tanggungan utang, sedangkan orang yang diserahi mempunyai kewajiban memenuhi tanggung jawab itu.
Syarat sah menanggung utang, antara lain :
1) Orang yang diserahi mampu membayar utang
2) Utang yang ditanggung harus sama banyaknya dan jenisnya dengan utang yang menjadi tanggung jawab pertama.
3) Atas persetujuan orang yang mengutanginya
4) Keadaan utang harus diketahui, baik barang yang diutang maupun sifat dan harganya.
5) Yang dijadikan dasar utang adalah nilai sewaktu tawar menawar bukan nilai yang sekarang.
d. Gugurnya tanggungan Muhil (orang yang memindahkan utang).
Tanggungan Muhil menjadi gugur apabila hiwalah berjalan sah (lancar), maka dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Apabila orang yang berutang (muhal ‘alaih) mengalami bangkrut atau mengelak hiwalah, atau meninggal dunia, maka orang yang memberi utang (Muhal) tidak boleh lagi kumpul kembali kepada orang yang berutang dan orang yang memberi utang.
BAB IX HUKUM SEWA MENYEWA
A. Pengertian Sewa Menyewa
a. Menurut bahasa (etimologi), sewa menyewa berarti Al-‘iwadl )ضٍ وَعِ) yang artinya ganti dan upah (imbalan).
b. Menurut istilah (terminologi), sewa menyewa mengandung beberapa pengertian (pendapat) :
1) Menurut ulama Hanafiyah, sewa menyewa adalah : “Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”.
2) Menurut ulama Malikiyah, sewa menyewa adalah: “Nama bagi kad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”
3) Menurut Syaik syihab Al-Din dan Syaikh Umairah, sewa menyewa adalah : “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.
B. Rukun dan Syarat Sewa Menyewa
a. Orang yang menyewakan Dalam hal ini disyaratkan baligh, berakal dan atas kehendak sendiri.
b. Orang yang menyewa Dalam hal ini disyaratkan baligh, berakal dan atas kehendak sendiri.
c. Barang atau benda yang disewakan.
Dalam hal ini disyaratkan :
1) Barang yang disewakan harus bermanfaat.
2) Barang yang disewakan bukan termasuk barang-barang dilarang oleh agama. 3) Barang yang disewakan harus diketahui jenis, kadar dan sifatnya
4) Barang yang disewakan harus tahan lama atau kekal zatnya.
5) Barang yang disewakan dapat diserahkan oleh pemilik barang kepada penyewa.
d. Imbalan sebagai bayaran (uang sewa), dalam hal ini disyaratkan :
1) Diketahui jumlah bayaran (uang sewanya).
2) Tidak berkurang nilainya.
3) Bisa membawa manfaat yang jelas.
e. Shighat (ijab kabul) atau akad (perjanjian), dalam hal ini disyaratkan :
1) Akad (perjanjian) harus dilakukan sebelum barang yang disewa itu dipergunakan atau dimanfaatkan.
2) Ijab kabul itu tidak disangkut pautkan dengan urusan lain yakni antara penyewa dan yang menyewakan.
3) Dalam akad atau ijab kabul harus ditentukan waktu sewanya, apakah seminggu atau sebulan atau setahun, dan seterusnya.
C. Hak dan Kewajiban Penyewa Barang atau Benda
a. Hak penyewa barang :
1) Memanfaatkan barang yang disewa.
2) Mendapatkan jaminan akan barang yang disewa.
3) Mendapatkan perlindungan hukum terhadap barang yang disewa.
b. Kewajiban penyewa barang :
1) Menjaga keutuhan barang yang disewa a tau tidak merusak barang yang disewa.
2) Memberikan bayaran atau uang sewaan terhadap barang yang disewa kepada pihak yang menyewakan
3) Mematuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan kedua belah pihak (yang menyewakan dan yang menyewa).
D. Menyewakan Barang Sewaan
Pada dasarnya seorang penyewa boleh menyewakan kembali barang atau benda yang disewanya kepada orang lain. Pihak penyewa boleh menyewakan kembali dengan ketentuan bahwa penggunaan barang yang disewa tersebut harus sesuai dengan penggunaan yang disewa pertama, sehingga tidak menimbulkan kerusakan terhadap barang yang disewakan.
E.Batal atau Berakhirnya Sewa Menyewa
a.Terjadinya aib (kecacatan) pada barang sewaan.
b. Rusaknya barang yang disewa
c. Masa sewa menyewa telah habis
d. Adanya uzur
F. Manfaat dan Hikmah Sewa Menyewa
a. Dapat ikut memenuhi hajat orang banyak.
b. Menumbuhkan sikap saling menolong dan kepedulian terhadap orang lain.
c. Dapat menciptakan hubungan silaturahim dan persaudaraan antara penyewa dan yang menyewakan.
BAB X HUKUM UPAH MENGUPAH
A. Pengertian Upah Mengupah
Menurut bahasa (etimologi), upah berarti imbalan atau pengganti. Menurut istilah (terminologi), upah adalah mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti atau imbalan menurut syaratsyarat tertentu.
B. Dasar Upah Mengupah
Memberikan upah kepada seseorang yang telah diperintahkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”. Sabda Nabi SAW : “Berikan olehmu upah orang yang bekerja sebelum keringatnya kering” Sabda Nabi SAW : “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”
C. Rukun dan Syarat Upah Mengupah
a. Orang yang memberi upah, dalam hal ini disyaratkan baligh,berakal dan atas kehendak sendiri.
b. Orang yang menerima upah, dalam hal ini disyaratkan baligh dan berakal.
c. Sesuatu yang menjadi objek upah mengupah atau sesuatu yang dikerjakan, dalam hal ini yang menjadi objek upah mengupah adalah sesuatu yang diper-bolehkan menurut agama (Islam).
d. Imbalan sebagai bayaran (upah), dalam hal ini disyaratkan :
1) Tidak berkurang nilainya.
2) Harus jelas, artinya sebelum pekerjaan dilak-sanakan upahnya harus ditentukan dengan pasti terlebih dahulu.
3) Bisa membawa manfaat yang jelas.
e. Akad (ijab kabul), dalam hal ini disyaratkan :
1) Akad (ijab kabul) harus dibuat sebelum pekerjaan itu dikerjakan. 2) Akad (ijab kabul) itu tidak boleh disangkut pautkan dengan urusan lain.
3) Akad (ijab kabul) harus terjadi atas kesepakatan bersama.
D. Waktu Pembayaran Upah
Mengenai waktu pembayaran upah tergantung pada perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini upah boleh dibayar terlebih dahulu sebelum pekerjaan itu selesai dikerjakan. Namun tentang hal ini upah sebaiknya dibayarkan setelah pekerjaan itu selesai dikerjakan.
E.Upah Mengajarkan Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Agama
Sebagaimana ulama berpendapat bahwa upah mengajar Al-quran dan ilmu pengetahuan agama hukumnya boleh selama sekedar untuk memenuhi keperluan hidup tanpa dilakukan perjanjian sebelumnya seperti halnya dalam perjanjian bisnis lainnya. Kebolehan upah mengajarkan Al-quran dan ilmu pengetahuan agama ini dengan alasan bahwa mengajar itu telah menggunakan waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk usaha atau pekerjaan yang lain. Hal ini sebagaimana kata Muhammad Rasyid Ridla, “saya telah mendengar dari syekh Muhammad Abduh, beliau mengatakan : guru-guru yang mendapat gaji dari wakaf hendaklah mereka ambil gaji itu apabila mereka membutuhkan dengan tidak disengaja sebagai upah. Dengan cara demikian selain mereka memperoleh upah, mereka juga memperoleh pahala dari Allah SWT sebagai penyiar agama”.
BAB XI HUKUM SYIRKAH (SERIKAT)
A. Pengertian syirkah
a. Menurut bahasa (etimologi), syirkah yang artinya campur atau percampuran.
b. Menurut istilah (terminologi), pengertian syirkah terdapat beberapa pendapat:
1) Menurut Sayyid Sabiq, syirkah adalah : “Akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan”.
2) Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib, syirkah adalah : “Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui)”.
3) Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie, syirkah adalah: “Akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk saling menolong dalam bekerja, pada suatu usaha dan membagi keuntungannya”.
4) Menurut Idris Ahmad, syirkah adalah sama dengan sarikat dagang, yaitu dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang dengan menyerahkan modal masing-masing dimana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.
B. Dasar Hukum Syirkah
Dalam hal ini yang menjadi dasar hukum serikat (syirkah) dapat dilihat dalam ketentuan Al-quran dan hadis. Dalam Al-quran Allah SWT berfirman : “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dzalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh “.
Dalam hadis Rasulullah SAW, beliau bersabda : “Saya adalah orang yang ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang di antaranya tidak mengkhianati yang lain, maka apabila yang satu berkhianat kepada pihak yang lain, saya keluar dari perserikatan keduanya”.
C.Rukun dan Syarat Syirkah
a. Rukun syirkah
Adapun yang menjadi rukun syirkah menurut ketentuan syariat Islam adalah:
1) Orang-orang yang beserikat.
2) Pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan).
3) Modal tunai dari orang-orang yang berserikat.
4) Sighat (lafadz akad).
b.Syarat-syarat syirkah
Adapun yang menjadi syarat syirkah menurut ketentuan syariat Islam adalah :
1) Orang-orang yang berserikat harus berakal, baligh dan atas kehendak sendiri.
2) Orang-orang yang berserikat sepakat untuk mencampurkan modal-modalnya menjadi satu.
3) Modal yang diberikan oleh orang-orang yang berserikat harus tunai.
4) Apabila terdapat keuntungan atau terjadi kerugian, maka harus diukur dari modal yang diserahkan oleh masingmasing pihak atau orang yang berserikat.
D. Macam-Macam Syirkah
a. Syirkah Inan : Yaitu serikat harta yang mana bentuknya berupa perjanjian (akad) antara dua orang atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan bersama sesuai dengan modal yang diutamakan.
b. Syirkah Mufawadhah Yaitu serikat untuk melakukan suatu negosiasi dalam melakukan suatu pekerjaan atau usaha, yang dalam istilah seharihari dikenal dengan nama patner kerja dimana dalam serikat ini 145 dititik beratkan bukan dalam bentuk permodalan, tetapi lebih ditekankan pada keahlian atau keterampilan..
c. Syirkah Wujuh Yaitu serikat yang dihimpun bukan dalam bentuk modal, baik berupa uang (barang) maupun skill (keahlian), akan tetapi dalam bentuk tanggung jawab. Serikat ini disebut juga serikat tanpa modal, karena yang ada hanyalah berpegang teguh kepada nama baik dan kepercayaan para pedagang, dan dari sinilah akan 146 mendapatkan pembagian keuntunga, misalnya keagenan,perantara, calo, dan lain-lain.
d. Syirkah Abdan Yaitu bentuk kerjasama untuk melakukan suatu usaha dalam bentuk (bersifat) karya. Sehingga dengan mereka melakukan karya tersebut, mereka mendapatkan upah yang pembagiannya disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dibuat. Misalnya tukang kayu, tukang batu, tukang keramik dan tukang besi berserikat untuk melakukan suatu pekerjaan membangun gedung sekolah, rumah, hotel, dan lain sebagainya.
E. Batal atau Berakhirnya Syirkah
a. Salah satu pihak membatalkan perjanjian syirkah, meskipun tanpa persetujuan pihak lain. Sebab syirkah terjadi atas dasar rela sama rela dari pihak-pihak yang berserikat, maka apabila salah satu pihak tidak lagi menginginkan, berarti bisa membatalkannya.
b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (kehilangan mengelola harta), baik karena gila, pemboros, maupun karena yang lainnya.
c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, maka yang batal hanyalah yang meninggal saja, sedangkan yang lain (yang masih hidup) tetap berjalan terus. Adapun ahli waris dari anggota yang meninggal apabila menghendaki untuk turut serta dalam syirkah tersebut, maka perlu dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
d. Usaha para pihak yang berserikat jatuh bangkrut yang mengakibatkan tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.
F. Manfaat dan Hikmah Syirkah
a. Usaha dapat berjalan dengan ringan dan lancar, karena dikerjakan secara gotong royong.
b. Badan usaha atau suatu perusahaan dapat berkembang dengan mantap, karena hasil atau pemikiran dari beberapa orang.
c. Dapat menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga dapat menyerap tenaga kerja (mengurangi pengangguran).
d. Dapat menambah pendapatan keluarga maupun negara.
e. Dapat menciptakan hubungan silaturahmi dan persaudaraan.
BAB XII HUKUM MUDHARABAH (QIRADH)
A. Pengertian Qiradh
a) menurut bahasa (etimologi), Qiradl berarti : yang artinya potongan. Sebab pemilik modal memberikan potongan dari hartanya tersebut, dan pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha tersebut akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh.
b) Menurut istilah (terminologi), Qiradl adalah “Pemilik harta atau modal menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tesebut, dan laba dibagi diantara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati”.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Qiradl,adalah memberikan modal dagang kepada seseorang, baik berupa uang, emas, atau harta lainnya dengan kesepakatan bersama bahwa apabila memperoleh laba (keuntungan) dibagi bersama, yaitu untuk orang yang memberi modal dan untuk orang yang memperdagangkan modal, dan apabila trjadi kerugian ditanggung bersama.
B. Dasar Hukum Qiradh
Qiradl akan berjalan lancar apabila selalu didasarkan pada sikap saling percaya, baik dari pihak yang punya modal maupun pihak yang memperdagangkan modal. Sebab dengan adanya saling percaya antara keduanya, maka jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, keduanya dapat memak-luminya tanpa ada rasa permusuhan dan sakit hati. Adapun hal-hal yang mungkin diluar dugaan (tidak diinginkan) dalam perdagangan (usaha) antara lain :
• Memperoleh kerugian setelah mendapatkan keuntungan terlebih dahulu, maka bisa ditutup dengan keuntungan pada perdagangan awal.
• Jika mengalami kerugian secara terus menerus, maka bisa ditanggung oleh pihak yang mempunyai modal.
• Jika kerugian itu disebabkan oleh pihak yang memperdagangkan modal (karena penye-lewengan), maka dialah yang harus menanggung atau mengganti midal tersebut.
C. Rukun dan Syarat Qiradh
a) Orang yang memberi Modal
b) Orang yang menjalankan modal
c) Modal atau harta, baik berupa uang, emas, atau barang lainnya.
d) Lapangan pekerjaan
e) Keuntungan
f) Ijab kabul (akad)
D. Macam-Macam Qiradh
a) Qiradl sederhana
Yaitu qiradl yang dilakukan secara perorangan, misalnya qiradl yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Siti Khadijah.
b) Qiradl modern
Yaitu qiradl yang sudah dikembangkan lebih jauh dan secara profesional, misalnya qiradl yang dilakukan bank dan perusahanperusahaan terhadap para penanam modal (saham).
E. Hal-hal yang Dilarang dalam Qiradh
a) Membelanjakan modal untuk kepentingan diri sendiri.
b) Menyedekahkan modal atau barang qiradl tanpa sepengetahuan pemilik modal.
c) Mengutangkan modal atau barang kepada orang lain tanpa seizin pemilik modal.
d) Memperdagangkan modal dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam.
F. Batal atau berakhirnya Qiradh
a) Tidak terpenuhi salah satu atau beberapa rukun dan syarat qiradl.
b) Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal sebagaimana yang telah disepakati bersama.
c) Salah satu pihak baik pemilik maupun pengelola modal meninggal dunia.
d) Salah satu pihak dari pemilik maupun pengelola modal memutuskan atau mengakhiri perjanjian (akad) qiradl.
G. Hikmah dan manfaat Qiradh
a. Dapat menumbuhkan sikap tolong menolong dan kepedulian terhadap sesama.
b. Terciptanya hubungan persaudaraan yang harmonis antara pemilik modal dengan pengelola modal.
c. Dapat mendatangkan keuntungan bersama bagi pemilik modal dan pengelola modal.
d. Terciptanya kesempatan kerja (usaha) khususnya bagi orangorang yang tidak mempunyai modal.
e. Membantu program-program pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pemerataan pendapatan.
BAB XIII HUKUM MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
A. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut bahasa (etimologi), Muzara’ah disebut juga Mukhabarah, yang berarti Al-Inbat , artinya menumbuhkan.
Adapun menurut istilah (terminologi), pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah terdapat beberapa pendapat :
1. Menurut ulama Hanafiyah, Muzara’ah adalah: “Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”.
2. Menurut ulama Malikiyah, Muzara’ah adalah: “Bersekutu dalam bercocok tanam”.
3. Menurut ulama Syafiyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun Muzara’ah adalah sama dengan Mukhabarah hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah”
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa Mukhabarah dan Muzara’ah memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola, adapun Perbedaanya adalah terdapat pada modal, dimana mukhabarah modalnya dari pengelola, sedangkan muzara’ah modalnya dari pemilik tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Muzara’ah adalah suatu usaha atau kerjasama untuk mengerjakan tanah, baik sawah maupun ladang dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dan penggarap tanah bahwa biaya (modal) penggarap tanah ditanggung oleh pemilik tanah dan hasilnya dibagi menurut ketentuan yang telah disepakati bersama serta bibit yang ditanam berasal dari penggarap tanah. Sedangkan Mukhabarah adalah suatu usaha atau kerjasama untuk mengerjakan tanah, baik sawah maupun ladang dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dimana biaya (modal) penggarapan tanah ditanggung oleh penggarap tanah dan hasilnya dibagi menurut kesepakatan bersama serta bibit yang ditanam berasal dari pemilik tanah.
B. Dasar Hukum Muzara’ah dan Mukhabara
Dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa hadis di bawah ini :
“Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan perkataanya : Barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan manfaatnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan tanah itu”
C. Rukun dan Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
1) Pemilik tanah dan penggarap tanah, dalam hal ini disyaratkan baligh dan berakal (mumayyiz).
2) Tanah garapan, dalam hal ini disyaratkan:
a. Tanahnya jelas dan tidak bermasalah (sengketa).
b. Tanahnya memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami dapat menghasilkan.
3) Modal atau biaya penggarapan (pengolahan) tanah, dalam hal ini disyaratkan :
a. Jelas nilainya
b. Dapat dimanfaatkan
4) Ijab kabul (akad), dalam hal ini disyaratkan :
a. Dilakukan atas kesepakatan bersama, yaitu antara pemilik tanah dan penggarap tanah.
b. Tidak ada pihak yang dirugikan.
c. Dapat diterima kedua belah pihak, artinya mungkin untuk dilaksanakan dan tidak terpaksa.
D. Zakat Hasil Muzara’ah dan Mukhabarah
Dalam hal ini zakatnya diwajibkan atas orang yang punya benih. Sehingga pada muzara’ah yang diwajibkan zakat adalah penggarap tanah sebab pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolaholah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan dari sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun pada mukhabarah yang diwajibkan zakat adalah orang yang punya tanah, karena hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang diperoleh dari upah tidak wajib bayar zakat. Apabila benih dari keduanya, zakat diwajibkan atas keduanya yang diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
E.Batal atau Berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah
1) Masa perjanjian dalam muzara’ah dan mukhabarah telah habis.
2) Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
3) Adanya uzur, misalnya tanah garapan terpaksa dijual oleh pemilik tanah, penggarap tanah tidak dapat atau tidak sanggup lagi mengelola tanah, baik karena sakit maupun jihad (hijrah).
F. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
1) Tanah yang semula tersia-siakan (kurang di dayagunakan) dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
2) Dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang menganggur untuk memelihara tanah dan memperoleh hasilnya.
3) Tanah yang semula tidak terawat dan tidak terpelihara oleh pemiliknya dapat dipelihara dan dikelola dengan baik.
4) Dapat menumbuhkan sikap tolong menolong dan kepedulian terhadap orang lain.
5) Dapat menciptakan hubungan persaudaraan yang baik antara pemilik tanah dan penggarap tanah.
Bibliography
Dr. H. A. Khumedi Ja’far, S.Ag., M.H., HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA: Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis, Gemilang Publisher Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H