Mohon tunggu...
Diva Mustika Indah
Diva Mustika Indah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Saya adalah seseorang yang berkepribadian pendiam dan pemalu dan saya memiliki hobi menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Tren "Pink Tote Moment" di TikTok, Cara Gen Z untuk Berbagi Cerita Trauma Masa Kecil

8 Januari 2025   01:19 Diperbarui: 8 Januari 2025   14:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trauma masa kecil yang tidak ditangani dengan baik bisa berdampak pada kehidupan di masa dewasa (Pexels/ Kat Smith)

Pink Tote Moment belakangan menjadi sebuah tren di Tiktok dan diikuti oleh para Gen Z. Tren ini digunakan untuk menceritakan pengalaman yang kurang menyenangkan terkait pola asuh orang tua di masa lalu. 

Tren dengan backsound lagu "What was I Made For?" dari Billie Eilish ini cukup menarik perhatian para Gen Z, tak jarang juga ada yang membagikan cerita mereka di bagian komentar postingan video tersebut.

Asal Mula Pink Tote Moment

Dilansir dari Forbes, tren ini bermula dari unggahan seorang remaja TikTok yang menceritakan pengalamannya setelah dimarahi ibunya karena hal kecil. Video tersebut direkam dalam kamar gelap, menambah suasana sedih dari cerita yang dibagikan.

Dalam video itu, sang anak mengungkapkan bagaimana tindakan kecil dari orangtua seperti membentak atau mengabaikan bisa meninggalkan bekas yang dalam di hati anak. 

Video ini segera menarik perhatian jutaan pengguna TikTok, yang mulai berbagi pengalaman serupa. Mereka menggunakan istilah "Pink Tote Moment" untuk menggambarkan momen kecil yang ternyata meninggalkan luka emosional dalam hidup mereka.

Sumber : Tiktok Tren Pink Tote  Moment - Edited by Instagram
Sumber : Tiktok Tren Pink Tote  Moment - Edited by Instagram

Apa sih Pink Tote Moment?

Pink tote moment merupakan tren yang digunakan para Gen Z di TikTok untuk menceritakan pengalaman kurang menyenangkan yang didapatkan dari orangtua. Cerita ini biasanya berhubungan dengan kemarahan, pengabaian, atau perlakuan orangtua yang meninggalkan luka emosional bagi anak-anak mereka. Umumnya, pengalaman itu dialami seorang anak di masa kecil.

Seperti yang dibagikan oleh akun @icet**t*x di TikTok, yang mengungkapkan pernah disuruh ibunya berjalan kaki untuk sampai ke rumah sedangkan ibunya mengendarai motor didepannya, dikarenakan dia mendapatkan nilai 90 daripada 100 untuk tugas sekolahnya.

"Pink tote moment saya adalah ketika saya di taman kanak-kanak, Ibu menyuruhku berjalan pulang sendiri sementara dia mengendarai sepeda motornya di depanku, dan hal itu dikarenakan aku mendapat nilai 90 daripada 100 untuk tugasku. Aku berjalan pulang sambil menangis, memegang kertas laporanku dan terus berkata maaf," tulis akun @icet**t*x di TikTok.

Dalam caption postingan video tersebut @icet**t*x menambahkan bahwa itu berdampak pada dirinya sampai saat ini, dia menjadi seseorang yang ingin berprestasi mencapai kesuksesan melebihi standar atau tingkat yang diharapkan, dia merasa gagal ketika dia tidak dapat memenuhi tujuannya, meski dia sudah memaafkan ibunya, tapi momen tersebut melekat pada dirinya.

Tren "pink tote moment" yang belakangan viral di TikTok ini, bisa menjadi pengingat serta peringatan untuk para orang tua dalam menerapkan pola asuh yang lebih baik. Hal itu seperti diungkapkan psikiater anak dari Universitas California San Diego, Dr. Willough Jenkins.

Jenkins mengatakan, bahwa orangtua terkadang melakukan hal-hal buruk tersebut, dengan tanpa sadar. Oleh karenanya, pink tote moment semestinya menjadi refleksi bagi orangtua untuk mengerti bahwa tindakan kurang menyenangkan itu bisa berakibat buruk bagi seorang anak.

"Terkadang, sebagai orang tua, kita melampiaskan rasa frustasi kita terhadap satu hal --- hari yang buruk di tempat kerja, stres tentang keuangan --- kepada anak-anak kita tanpa menyadarinya," kata Jenkins dilansir dari Forbes. Dengan adanya tren ini, "Tren ini menawarkan cermin, yang memungkinkan kita melihat bagaimana momen-momen tersebut dapat terjadi pada anak-anak kita," tambahnya. Tidak bagi orangtua yang pernah berlaku buruk saja, tren pink tote moment bisa menjadi pembelajaran bagi orangtua lain untuk tak melakukan tindakan yang sama.

"Yang paling mengejutkan saya adalah potensi untuk belajar dan berkembang. Mengenali dampak perilaku anda (orang tua) tanpa harus berada langsung dalam situasi tersebut, dapat menjadi cara yang transformatif untuk merenung dan melakukan yang lebih baik," tutur Jerkins. Demikian, tren pink tote moment bisa berakibat sebaliknya. Jerkins mengkhawatirkan, apabila cerita para netizen dapat dieksploitasi sebagai bahan hiburan. Alih-alih netizen lain turut berempati serta bersimpati atas kejadian-kejadian buruk yang dibagikan secara luas.

"Ada juga risiko cerita mereka diremehkan, direduksi menjadi hiburan, atau bahkan disalahpahami," ucap Jerkins.

Jerkins menambahkan, bahwa tren pink tote moment juga bisa membangkitkan memori si pembagi cerita atas traumanya sendiri. Sebab, mereka bisa saja mendapatkan respons kurang mengenakan dari penontonnya. Ia mengingatkan, lebih baik untuk mengkonsultasikan masalah atau trauma, sebelum membagikan ke media sosial.

"Saya khawatir sebagian orang yang menceritakan trauma mereka berisiko mengalami trauma lagi dan juga memicu reaksi dari pemirsa lain," terang psikiater tersebut.

"Saya mendorong siapa pun untuk berpikir, dan jika mereka masih di bawah umur, bicarakan dengan orang dewasa, sebelum membagikan kisah mereka sendiri ke dalam tren," tambah Jerkins.

Kesimpulan

Tren "pink tote momet" memicu diskusi tentang bagaimana pola asuh dan cara orang tua mengelola emosi memengaruhi perkembangan mental anak. 

Banyak profesional, seperti psikolog dan terapis, menyarankan agar orang tua lebih sadar akan dampak dari tindakan atau ucapan mereka. Dr. Willough Jenkins, seorang psikiater anak, mengingatkan bahwa tidak ada orang tua yang sempurna. 

Namun, penting untuk meminta maaf dan menjelaskan kepada anak ketika mereka telah berbuat salah. Ini tidak hanya memperbaiki hubungan dengan anak tetapi juga mengajarkan bagaimana menghadapi konflik dengan sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun