Kondisi pilu yang menyelimuti ruang sidang Pegawai Negeri Andoolo, Ibu Supriyani seorang guru tidak tetap akhirnya menemukan jalan terang dalam perjalanan rumitnya. Momentum Hari Guru, 25 November 2024, menjadi saksi saat majelis hakim memutuskan untuk membebaskan Supriyani dari semua tuduhan penganiayaan terhadap siswanya.
Vonis bebas ini merupakan kado indah untuk Supriyani dan seluruh pemangku pendidikan di Indonesia. Setelah melewati proses hukum yang cukup panjang, akhirnya keadilan datang bagi seorang guru yang sudah bekerja keras demi mencerdaskan anak bangsa.
Mengapa Supriyani Divonis Bebas?
Sebelumnya, Supriyani, seorang guru honorer SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara dibui atas tuduhan penganiayaan siswa yang merupakan anak seorang Polisi. Miris, dia mengaku pernah memberi uang sebesar 1,5 juta untuk penangguhan penahanan di Kapolsek Baito (Kompas.id, 25 November 2024).
Supriyani didakwa melanggar Pasal 80 Ayat 1 juncto Pasal 76C Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (detiksumbangsel.com, 25 November 2024).
Majelis hakim mengungkapkan, tak ada bukti kuat untuk membuktikan bahwa Supriyani bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan. Simpang siur, keterangan saksi dan ahli yang hadir dalam sidang tidak sejalan dengan tuduhan yang diajukan sebelumnya.
Keputusan ini tentu membuat Supriyani dan keluarganya lega. Selama ini, Supriyani harus membawa beban yang berat karena tuduhan tanpa bukti nyata.
Guru Honorer: Pahlawan Tanpa Jubah
Kasus yang menimpa Supriyani menyoroti kembali terhadap nasib guru honorer di Indonesia. Mereka adalah pahlawan tanpa jubah, yang berkontribusi kuat dalam memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak bangsa dengan gaji rendah dan tanpa status yang jelas.
Meskipun berkontribusi besar terhadap pendidikan, status mereka sebagai guru honorer membuat suara mereka teredam. Dalam rapat-rapat pendidikan, mereka jarang diundang untuk berbicara, padahal merekalah yang berhadapan langsung dengan siswa setiap harinya. Keberadaan mereka sering kali dipandang sebelah mata, seolah-olah kontribusi mereka tidak memiliki nilai yang setara, (Kompasiana.com, Omjay, 20 November 2024).
Supriyani adalah contoh nyata dari ribuan guru tidak tetap di seluruh Indonesia yang setiap hari tak pernah mengeluh menghadapi berbagai pemasalahan pendidikan. Mereka telah bekerja keras, meski belum mendapat pengakuan yang pantas.