g) Kanker
Sedentary lifestyle dapat memicu terjadinya kanker payudara dan kanker
usus besar, karena tubuh tidak banyak melakukan gerakan. Hal ini disebabkan
karena otot dan sel jaringan dalam tubuh yang non aktif dapat memicu terjadinya
perkembangan sel kanker yang memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Dalam penelitian Park et al. (2020)melaporkan bahwa risiko kanker 13%
lebih tinggi pada kelompok dengan waktu sedentari terlama dibandingkan dengan
kelompok dengan waktu sedentari terpendek, dan penelitian lain melaporkan
bahwa waktu sedentari meningkatkan risiko kanker secara keseluruhan sebesar
20%.
h) Depresi
Sedentary lifestyle dapat meningkatkan risiko depresi karena kurangnya
komunikasi langsung dan interaksi sosial yang kurang, atau kurangnya waktu untuk
melakukan aktivitas fisik yang membantu mencegah dan mengobati depresi.
Perilaku sedentari yang pasif seperti menonton televisi, duduk, mendengarkan
musik, dan duduk mengobrol menjadi risiko depresi dibandingkan dengan
perilaku membaca buku atau koran, mengemudi, rapat, dan merajut atau
menjahit (Park et al., 2020). Kegiatan menonton televisi yang terlalu lama akan
berisiko 1,13 kali mengalami depresi,
sedangkan penggunaan internet atau komputer yang lama berisiko 1,22 kali
terhadap depresi (Yurni, 2018). Gejala
depresi meningkat 3 kali lipat pada perempuan dengan sedentary lifestyle
dibanding laki-laki. Perempuan dengan perilaku sedentary lifestyle >7 jam perhari
akan meningkat dibandingkan perempuan dengan perilaku sedentary lifestyle <4 jam
perhari (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)
IV. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 2 gambaran sedentary lifestyle pada remaja, dari 50 responden (100%) didapatkan seluruh (100%) responden remaja di masa pandemi Covid-19 melakukan sedentary lifestyle. Dari 50 responden penelitian menunjukan hampir seluruh responden mengalami sedentary lifestyle tinggi sebanyak 42 responden (84%) dan sebagian kecil responden mengalami sedentary lifestyle sedang sebanyak 8 responden (16%). Tidak satu pun responden mengalami sedentary lifestyle rendah. Jenis sedentary lifestyle yang sering dilakukan oleh remaja adalah duduk bersantai dengan bermain handphone/chatting dengan rata-rata waktu yang digunakan adalah 3,72 jam dalam sehari. Berdasarkan jenis kelamin, setengahnya responden berjenis kelamin laki-laki memiliki sedentary lifestyle tinggi (50%). Secara genetik jenis kelamin laki-laki lebih rentan menjadi pecandu game dibandingkan dengan perempuan. Pada laki-laki menunjukan adanya perubahan fungsi otak di gyrus frontal superior yang merupakan pengendali kesadaran dan impuls, sedangkan pada perempuan pecandu game tida menunjukan perubahan fungsi otak apa pun (Febriansyah, 2018). Terdapat hubungan yang signifikan antara respon otak dengan perilaku kecanduan game online. Penggunaan functional magnetic resonance imaging (fMRI) dalam perekaman respon otak menunjukkan aktivasi yang lebih besar (pada thalamus dan medial frontal gyrus) pada remaja laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan (Dong et al,. 2018 dalam Sari et al., 2020) serta aktivasi otak laki-laki lebih aktif ketika bermain game online(Sari et al., 2020).Peneliti mengasumsikan banyaknya remaja dengan sedentary lifestyle kategori tinggi disebabkan karena rendahnya aktivitas fisik remaja di masa pandemi covid-19 (82%). Hal tersebut juga dikarenakan terbatasnya aktivitas keluar rumah untuk mencegah penyebaran covid-19.
V. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data, peneliti memperoleh simpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai Gambaran Sedentary Lifestyle pada Remaja di Masa Pandemi Covid-19 menunjukkan hampir seluruh remaja di SMA Kota Bandung (84%) melakukan sedentary lifestyle kategori tinggi di masa pandemi Covid-19 dan remaja yang lainnya melakukan sedentary lifestyle (16%) dengan kategori sedang.
Saran
Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menjadi referensi yang akan mengangkat tema yang sama tetapi dengan sudut pandang berbeda, misalnya menambahkan jenis variabel, mencarihubungan antara variabel dan menggunakan teknik sampling yang berbeda misalnya purposive sampling, serta lebih memperbanyak responden agar hasilnya lebih representatif.Bagi tempat penelitian, diharapkan dapat dijadikan bahan untuk memberikan promosi kesehatan dan pemiliharaan kesehatan tentang gaya hidup sehat pada keluarga dan anak dengan menjelaskan informasi tentang bahaya sedentary. lifestyle terhadap kejadian obesitas.
VI. REFERENSI
Al Rahmad, A. H. (2019). Sedentari Sebagai Faktor Kelebihan Berat Badan Remaja. Jurnal Vokasi Kesehatan, 5(1), 16–21.
Amini, A. Z. (2016). Sedentary Lifestyle sebagai Faktor Risiko Obesitas pada Remaja SMP Stunting Usia 12-15 Tahun di Kota Semarang.
Arief, N. A., Kuntjoro, B. F. T., & Suroto. (2020). Gambaran Aktifitas Fisik dan Perilaku Pasif Mahasiswa Pendidikan Olahraga Selama Pandemi Covid-19. Multilateral Jurnal Pendidikan Jasmani Dan Olahraga, 19(2), 175–183. https://doi.org/10.20527/multilateral.v19i2.9564
Bastiyan, N. M., & Nurhayati, F. (2019). Hubungan Antara AktivitasSedentari Dengan Kejadian Overweight (Pada Siswa Kelas Vii Dan Viii Smp Islam As Sakinah Sidoarjo). Jurnal Pendidikan Olahraga Dan Kesehatan, 7(2), 325–328
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H