SURATSAJAK UNTUK TUAN
(Cintaku Jauh di Pulau)
Selembar hati yang terdampar pagi ini
Kubiarkan kering merangggas sendiri
sebab telah terlalu lecah
untuk berdiri tegak menantang mentari yang baru tinggi
Selembar hati yang terdampar pagi ini
Kubiarkan kuyup dalam tangis
Sebab terlalu pahit tuk sekedar mengecap
Sebait cinta lindap yang datang merapat
Menjaring mimpi
pupus dan kembali pupus
Melesap di terik mentari yang mulai naik
“Aku tahu, ada yang meragu menyelinap diam di dadamu
tentang satu langkah getir yang bertengger pada hadirku”
Duhai Tuan,
untuk apa kau memburuku?
lalu kau bidik dengan sapa rindumu
mengusik tapaku yang bertahun bermenung di rimba hari?
kau memang tak pernah tahu
jika dalam bingkai hatiku
kuhias dikau dengan permata paling indah tanpa noda?
Saat aku terhentak gembira,
Menelisik derap langkah yang pernah kita jaga,
kau bungkam aku dengan kamuflase derai ombakmu.
Ingin aku berteriak;
pada angin,
langit,
gunung,
bukit, dan lembah
“Oiii…untuk apa kepak sayap yang kau kembangkan sejenak di hadapanku? Sementara tak kau beri aku kesempatan untuk sejenak saja berteduh…
Oiiii …untuk apa kau jelang aku, sebelum ku terjaga dan menyadari kenyataan hari ini. kau rentang laut, selat dan samudra, agar aku mejauh…dan tetap bersenda diam, gila dengan rasa, dan tak perlu bicara”
Ah…dalam setengah jaga kumaknai tapak dengan hitungan jari;
Angin darat di bulan Mei belum berganti
Masih kukuh getar itu mengguncang bumi dadaku, kala sebait namamu menyeretku jauh
Jauh sekali hingga ke pangkal waktu
Tak pernah lekang meski berhujan dan berpanas hingga dua dasa terlewati dengan diam
merapal rautmu yang tak teraut
pada akhirnya kutemukan di bingkai jendela
dan engku ada!!
Duhai Tuan,
Kau belai aku agar terus bermimpi;
Menjadikanmu sumur inspirasi,
tentang sepaut hati kanak yang tumbuh di tengah semak
merekah di petang hari?
sementara aku
ingin menggenggam jemarimuyang tak tergenggam
Memelukmu yang tak terpeluk
Tuan, jangan kau gores luka
Kau terlalu indah untuk kubalur dengan noda
Tetaplah dengan putihmu yang paling putih
“Meski kau datang sekedar mengetuk pintuku untuk berkabar jika kau tetap ada? Atau sekedar menyapa pada tingkap yang tak sempat kita buka? Atau sekedar berkabar jika kau telah bahagia pada pilihan hatimu, tempat kau berlabuh, menggarap sawah, dan melahirkan anak-anakmu..? atau iseng sekedar singgah agar aku terbakar api cemburu? Atau seperti kabarmu siang itu, agar aku tak berdiri di bibir curam, dan memaksaku menoleh ke belakang,memaknai dawai ombak yang menipu?”
Utuk apa aku kau jelang?
Aku tak pernah menafsirkan ombak sebagai penipu,
Kecuali buih yang menjilat dan lesap..
Ombak tetaplah gemuruh yang terus kuharap bernyanyi
Membawa angin dari pusar hatimu..
Oh tahulah aku Tuan,
Angin buritan tak pernah memberi hawa pasti
tak ada isarat jika kan datang badai malam, siang, atau petang hari
Tuan,
Meski kau usap dadaku dengan madu
Manis berdecap;
…duhai kasih,meski jauh,
aku selalu ada di sampingmu, mendampingimu,
dan kan selalu menyayangmu sepanjang waktu…
Menjadi untaian kata menghias langit
tak ubah seperti sejuta balau
membiarkan aku terkurung dalam sakit
Tuan,
Jangan kau tikamkan luka
tetaplah kau yang terindah
‘tukku sejenak berlabuh manjah
Atau berikan aku waktu
tuk maknai sebait perjalanan pagi ini
sebab jangankan berharap
sekedar bermimpi pun aku sudah tak berani
/Lubuklinggau, 30 Mei 2012
*berikan aku waktu untuk terjaga dari kantuk dan mimpiku, hingga aku sadar pada kesadaran yang benar sadar. Lalu kubiarkan engkau melenggang membawa kemenangan. Jangan lupa lemparkan secuil lambaian untukku sebagai salam perpisahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H