Mohon tunggu...
Dian Kiswandari
Dian Kiswandari Mohon Tunggu... -

yang terpenting bukan seberapa bnyak orang mengenal kita, tpi bagaimana orang bahagia karna mengenal kita...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

ada apa dengan jamu dan bakso...

25 Oktober 2012   08:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:24 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bakso dan jamu di mata nasional.

Setiap kita jalan-jalan, berpergian, piknik, tamasya, pasti jalanan tidak terlepas dari jajanan, dari dulu sampai sekarang yang sudah membuming itu bakso dan mi ayam, bayangkan dari  bakso yang bentuknya bulat seperti bola pingpong yang rasanya hanya daging sapi, sekarang sudah berrvariatif bentuk, rasa, ragam dan macamnya, bahkan sudah ada yang di bakar, tinggal nunggu bakso open aja mungkin, hehe. Memang rasa bakso itu enak, mi ayamnya pun sama jadi ya wajar saja banyak penggemarnya, tapi tetap harus hati-hati jangan banyak atau keseringan memakannya mengingat banyaknya lemak, pengawet, kolesterol, atau teman-teman jahat lainnya.

Sebenarnya bukan jenis-jenis bakso yang ingin saya bicarakan, tapi penjual bakso di mata masyarakat luas *ketinggian mungkin judulnya. Saat pertama pindah ke bogor, dulu bapak saya juga penjual bakso, saya pun sering membantunya berjualan, atau lebih tepatnya membantu menghabiskan yang di jualnya *saya penggemar bakso berat. Walau sekarang kami sudah berpidahkewarganegaraan menjadi orang bogor, tapi saya tetap ingin di panggil orang wonogiri, bukan karena saya tidak suka dengan bogor. Kalau sudah orang desa ya nyamannya memang jadi orang desa saja.

“yan, bapak kamu kerja apa?” suatu hari teman smp ku menanyakan pekerjaan bapakku, dengan pedenya ku jawab saja jualan bakso, teman-temanku langsung menertawakanku. Sesampainya di rumah aku menceritakannya pada bapak, jawabannya tegas dan jelas “yang penting kita ga nyuri nduk, dan halal, kalo kita hidup pake gengsi itu gak bakal sukses-sukses, jangan dengar kata-kata orang yang tidak membangun, kita yang menjalani hidup kita”. Dari situ setiap libur sekolah aku membantunya berjualan bakso, aku tidak malu atau ragu, di saat anak seusiaku main, berfoya-foya, membuang waktu untuk hal-hal yang kurang penting atau malam minggu untuk pacaran, aku sibuk membaca di kedai bakso bapakku yang kadang di percayakan kepadaku saat bapak pergi bermain bulutangkis, kadang bisa sampai larut aku membantunya, atau pas bulan puasa kita bergantian solat dan makan di waktu buka. Sekarang aku baru menyadari hikmah dari semua itu. Tidak bisa di jelaskan dengan lisan dan tulisan, hanya mampu berucap syukur terimakasih kepada allah Swt dan orangtuaku yang tidak memanjakanku.

Daerah wonogiri, jawa tengah yang tidak jauh bila di tempuh naik motor dari solo, jika di lihat dari al-peta atau al-atlas akan muncul di pojokan kertas daerah pulau jawa, pojok dari segala pojok. Memang jika merantau kebanyakan orangnya akan membuat usaha jualan bakso atau jamu gendong, ya mungkin memang itu keahlian kami, merantau dengan niat bisa memperbaiki kehidupan sosial. Tapi melihat cara pandang teman-temanku atau orang lain, seperti saat aku SMP, kadang mereka sering di pandang rendah atau yah sebelah mata, padahalkan yang penting ndak ngambil uang orang (rakyat) batinku, ya sudahlah negara kita kan demokrasi semua orang punya pandangan masing-masing yang wajib di hargai, asal ga merugikan yang lain, (ngomongin bakso sama jamu aja nyambungnya ke Negara *hebat). Dalam hati berdoa semoga anak para penjual bakso dan jamu tumbuh dengan kepercayaandirinya masing-masing, memajukan dunia per-bakso-an dan per-jamu-an, tidak bergengsi ria yang mengukur semuanya dengan merek… apalagi hidup dalam kelas yang dipaksakan. Ah , di mata allah derajat tidak di tetukan oleh merek.

Semoga banyak juga orang-orang yang memandang mereka dengan tulus, melihat ibu-idu tua yang masih berusaha dengan tekunnya, menggendong beban di punggungnya, melihat bapak-bapak mendorong atau memikul berat beban di tanganya, yang belum tentu semua itu terjual habis. Melihat kaki-kaki tua yang mengayuh becak dengan segala tetekbengek di jok nya, penjual-penjual pisang di pinggir jalan, pasar yang sejak dini hari riuh pedagang. Mereka semua tetap berusaha, entah terpaksa, sebab siapa lagi yang akan menghidupi mereka, atau memang dari dulu sudah melakukan semua itu. Yang pasti mereka berusaha. Kadang masih saja terpikir di gunakan untuk apa masa muda mereka. Semua hidup itu rahasia. Marilah yang masih muda yang masih gegap gempita, yang darah dan semangatnya masih membabi buta, mari hilangkan berat beban masa tua nanti dari sekarang.

dk300512,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun