Mohon tunggu...
Lulu Rochmatien Bonavia
Lulu Rochmatien Bonavia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tourism Undergraduate Student at Universitas Gadjah Mada.

Having interest in tourism and culture.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jingga Senja di Keraton Ratu Boko: Suasana Magis dan Romantis

9 Oktober 2024   10:04 Diperbarui: 9 Oktober 2024   10:15 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Keraton Ratu Boko Dilihat dari Gardu Pandang (Dokumentasi Pribadi)

Belakangan rekomendasi destinasi wisata di Yogyakarta banyak bermunculan di for you page akun TikTok milik saya. Mungkin algoritma TikTok bisa membaca dan menyimpulkan kalau salah satu penggunanya ini butuh liburan—semacam escaping—dari hiruk-pikuk kehidupan perkuliahan. Saya begitu tertarik dengan video yang membahas tentang salah satu candi di Yogyakarta, yang berjarak tidak begitu jauh dari Candi Prambanan, yaitu Candi Ratu Boko atau bisa disebut juga Keraton Ratu Boko. Video tersebut menunjukkan pesona kompleks Keraton Ratu Boko di sore hari dengan cahaya matahari yang semakin jatuh ke barat dan menyebarkan semburat jingga hingga lembayung senja penuh damai menggantikan bintang pentas sore itu. Menimbang waktu luang saya yang lebih banyak ada di sore hari, Keraton Ratu Boko begitu menjanjikan untuk disambangi dalam waktu yang terbatas, hingga akhirnya saya memutuskan untuk datang pada Minggu sore, 6 Oktober 2024 kemarin.

Situs Keraton Ratu Boko sendiri terletak di antara dua dusun yaitu dusun Samberwatu, Desa Sambirejo dan dusun Dawung, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Terbilang jarak yang cukup jauh jika ditempuh dari daerah sekitar Universitas Gadjah Mada, hingga saya dan teman saya Amel memutuskan untuk memulai perjalanan pada pukul 14.30 WIB. Mendekati kawasan Keraton Ratu Boko kami disuguhkan suasana pedesaan yang hangat dengan interaksi rukun antar warganya. Saya kira medan jalan menuju ke situs ini akan sama saja seperti jalan menuju Candi Prambanan, ternyata kenyataannya tidak. Situs ini berada di ketinggian kurang lebih 200 meter di atas permukaan laut, jadi saya harus berpacu dengan kecepatan sepeda motor dan jalanan yang menanjak serta berkelok di depan saya.  Setelah menempuh perjalanan sejauh 16 kilometer selama 35 menit kami akhirnya sampai di Keraton Ratu Boko.

Kawasan Keraton Ratu Boko (Dokumentasi Pribadi)
Kawasan Keraton Ratu Boko (Dokumentasi Pribadi)

Kami memulai penjelajahan menanti senja di kawasan Keraton Ratu Boko pada pukul 15.05 WIB. Awalnya kami bertanya-tanya, jika pada keterangan destinasi tercantum jam 07.00—17.00 WIB bagaimana bisa kami menikmati matahari tenggelam di situs ini? Tetapi pertanyaan tersebut terjawab setelah kami bertanya pada staf tiketing yang sedang bertugas. Menurut staf tersebut, wisatawan bisa meninggalkan area situs Keraton Ratu Boko selambat-lambatnya pada pukul 18.00 WIB, jadi kami memiliki waktu sekitar dua jam untuk menjelajahi setiap sudut situs dan selebihnya kami gunakan untuk menikmati sunset yang menjadi ikon Keraton Ratu Boko selama bertahun-tahun. Tidak, di perjalanan kali ini kami memutuskan untuk menyusuri sepuasnya tanpa menggunakan jasa pemandu yang memang tersedia di sana.

Angin sore yang hangat menyentuh permukaan kulit kami yang mengeluarkan bulir-bulir keringat karena harus melalui puluhan anak tangga untuk sampai ke area candi ini. Sesampainya di atas, gapura megah dari Keraton Ratu Boko dengan hamparan rumput hijau serupa karpet—yang  siap menggulung tubuh kami di atasnya—menyambut kehadiran kami dengan suka cita. Kami tidak bisa menahan diri untuk merebahkan diri di atas rumput berpayung dua pohon rindang yang menjulang tinggi begitu kokohnya. Di sekitar kami terdapat beberapa wisatawan bersantai menikmati minggu pertama bulan Oktober yang akan  segera berakhir, entah mereka sudah terlebih dahulu menjelajahi kawasan ini atau memang sengaja datang untuk mengistirahatkan pikiran. 

Rasa penasaran kami begitu menggebu, hingga sebelum tuntas rasa letih ini dituangkan dalam rebah, kami sudah melanjutkan penjelajahan yang kiranya akan panjang. Dilangkahkan kaki-kakinya menuju 'reruntuhan' paseban, berharap untuk mendengar cerita dari masa lalu layaknya dongeng dengan bukti nyata. Namun sayang seribu sayang, dalam papan informasi itu tidak ada interpretasi berarti, hanya informasi yang bersifat arkeologis saja yang tertera di sana. Hal ini tak lantas melunturkan antusiasme kami untuk menikmati dan merasakan nostalgia peradaban yang eksistensinya tidak dapat disaksikan secara langsung. Dari paseban ke arah timur—dengan bantuan signage—kami menuju pendopo keraton yang berdiri gagah layaknya masih berada di masa kejayaannya. Kemudian kami terus berjalan mengeksplor keputren, kolam, goa, dan kembali ke pelataran depan Keraton Ratu Boko hingga kami menyadari masih ada gardu pandang dan candi pembakaran yang perlu kami jamah sebelum matahari tenggelam.

Kawasan Keraton Ratu Boko Dilihat dari Gardu Pandang (Dokumentasi Pribadi)
Kawasan Keraton Ratu Boko Dilihat dari Gardu Pandang (Dokumentasi Pribadi)

Gardu pandang merupakan titik tertinggi yang ada di kawasan Keraton Ratu Boko, dari atas kami bisa melihat lanskap pedesaan Yogyakarta sekaligus komplek situs yang ternyata terlihat lebih memesona dilihat dari tampak atasnya. Di sebelah selatan gardu pandang, candi pembakaran mengambil alih perhatian. Candi yang tingginya melampaui candi lain di kawasan ini memiliki lubang di tengahnya yang disebut sebagai sumur suci. Informasi yang tertera di papan, menyebutkan bahwa sumur tersebut dulunya berisi air suci yang digunakan untuk berbagai acara keagamaan. Tetapi yang menjadi perhatian saya adalah, mengapa di papan ini terdapat interpretasi dan cerita sejarah masa lalunya, sedangkan papan-papan lain hanya memuat informasi arkeologis terkait ukurannya?

Hari sudah semakin senja, langit mulai memancarkan jingga seiring tergelincirnya matahari ke sisi lain orbitnya. Kami berdua menikmati hangatnya sisa-sisa sinar sang surya melalui celah gapura Keraton Ratu Boko. Wisatawan yang sudah menantikan ini sedari tadi mengabadikan waktu tersebut ke dalam potret—yang saya yakin sekali—backlight berlatar oranye dari bintang raksasa di belakangnya. Begitu pula dengan saya dan Amel, kami mengagumi fenomena harian di tempat yang tidak setiap hari bisa kami sambangi ini dengan binar di mata kami. Untuk pertama kalinya saya percaya, percaya akan rekomendasi destinasi dari TikTok. Biasanya destinasi yang direkomendasikan para content creator di media sosial 'menipu' saya dengan hanya merekam bagian terbaiknya dan menyisakan segala sesuatu dibelakangnya. Keraton Ratu Boko berbeda dengan itu, pengalaman ini memang benar magis dan romantis. 

Suasana Sunset dari Candi Pembakaran (Dokumentasi Pribadi)
Suasana Sunset dari Candi Pembakaran (Dokumentasi Pribadi)

Lembayung senja telah menggantikan jingganya senja sore itu, tanda bagi kami untuk segera meninggalkan Keraton Ratu Boko dan membawa prasasti kenangannya di dalam kepala dan hati kami. Ternyata tidak ada salahnya untuk melakukan pembuktian terhadap rekomendasi destinasi yang beredar di sosial media, karena beberapa tidak terlalu buruk— bahkan menawan hati. Jangan ragu untuk berkunjung, rasakan ketenangan jiwa dan suasana romantis matahari tenggelamnya, jika ingin mendalami lebih jauh jasa pemandu bisa jadi akan banyak membantu. Semoga di lain waktu ketika saya berkesempatan untuk kembali berkunjung, Taman Wisata Candi selaku pengelola dari Keraton Ratu Boko ini sudah mengembangkan narasi interpretasi dari masing-masing reruntuhan candi, karena dalam industri pariwisata interpretasi sangat berpengaruh bagi pengalaman wisatawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun