Saat mendengar kata Pemalang mungkin kebanyakan orang akan mengira  bahwa kota ini sama dengan kota Malang yang terletak di Jawa Timur. Walaupun nama dari kedua kota tersebut memiliki kemiripan, apabila ditilik dari topografi dan budayanya, kedua wilayah itu sudah jelas jauh berbeda.
Pemalang sendiri mulai dikenal secara luas sejak pintu keluar jalan Tol Pejagan-Pemalang eksis. Jalur ini merupakan jalur krusial dari mobilitas masyarakat pesisir pantai utara pulau Jawa atau biasa disebut dengan pantura. Banyaknya kendaraan dari luar kota yang berlalu lalang di kota Pemalang ini membuka kesempatan yang besar untuk mengembangkan sektor pariwisata, khususnya di bidang kuliner.Â
Jika berkesempatan untuk mampir, wisatawan wajib berwisata kuliner di Pemalang. Terdapat beberapa menu khas yang hanya dapat dijumpai ketika berada di Pemalang yaitu; Grombyang, Sate Loso, dan Lontong Dekem. Ini lah yang kemudian menjadikan Pemalang begitu berpotensi menjadi salah satu destinasi wisata gastronomi alih-alih sekadar wisata kuliner saja.Â
Apa Bedanya Wisata Kuliner dan Wisata Gastronomi?
Dilansir dari laman voi.id wisata gastronomi adalah kegiatan berwisata dimana wisatawan dapat 'mengalami' apa yang tersaji. Mengalami di sini artinya bukan hanya menikmati cita rasa hidangan tersebut hingga tetes terakhir, tetapi juga menggali informasi mengenai sejarah, budaya, dan praktik keseharian masyarakat suatu kawasan sehingga satu makanan tercipta. Singkatnya, gastronomi menawarkan makanan atau kuliner sebagai produk wisata kuliner dan wisata budaya disaat yang bersamaan.
Grombyang menjadi salah satu potensi yang sangat mungkin untuk dikembangkan dengan filosofi dan keunikan dalam proses pembuatan yang dimilikinya. Belum lagi di beberapa tahun belakangan, Grombyang baru saja dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kemendikbud RI dalam kategori teknologi tradisional.Â
Nama Grombyang sendiri merupakan istilah dari bahasa Pemalang grombyang-grombyang yang berarti goyang-goyang. Filosofi ini diambil dari cara penyajian makanan tersebut yang dagingnya mengapung di permukaan dan bergoyang-goyang saat disajikan karena perbandingan daging dan kuahnya yang cukup signifikan.Â
Filosofi lain dari namanya didapat juga dari kebiasaan berdagang Grombyang pada zaman dahulu, Grombyang dijajakan keliling dengan menggunakan pikulan, saat pedagang berjalan pikulan akan bergoyang-goyang. Ini baru Grombyang, masih banyak lagi makanan khas Pemalang yang filosofis yang membuka peluang lebih luas bagi Pemalang untuk mengembangkan potensi wisata gastronomi.
Kota yang memiliki makanan khas yang ikonik seperti Pemalang ini akan sangat disayangkan jika perkembangannya berhenti pada wisata kuliner saja, wisata gastronomi begitu diperlukan untuk memajukan sektor pariwisata. Perpindahan paradigma ini juga bisa menambah length of stay wisatawan yang semula berwisata kuliner hanya karena transit saja, menjadi bermalam untuk melakukan kegiatan wisata gastronomi.
Eksistensi wisata gastronomi nantinya akan membantu Pemalang sebuah kota kecil yang semula jarang diketahui oleh khalayak dalam melakukan branding, hingga dikenal ke penjuru negeri dan sektor pariwisatanya bisa mensejahterakan banyak pihak yang terkait.