Terkadang ide tentang karya sastra itu terlintas karena ada pemicunya. Ada rasa dan juga dia. Seperti halnya yang terjadi kemarin, saat dia memaksa secercah sinar keluar menerangi gelapnya sikapku.
"Buat siapa?", seorang gadis cantik dengan rambut panjang terurai bertanya padaku di suatu petang, poninya berayun lembut mengikuti arah tiupan angin, tersenyum manis menampakkan lesung pipitnya.
"Rahasia" aku menjawab dengan singkat dan datar.
"Kenapa tidak diungkapkan saja?."
"Ya Karena itu rahasia."
Raut wajahmu seketika berubah berubah cemberut. Aku tetap diam melanjutkan kesibukan di depan laptop.
"Ah! membuat kesal saja" kau beranjak pergi membawa setumpuk rasa kesal meninggalkan kusendiri dalam diam.
Kuhentikan tarian jari di atas papan ketik, melepas kacamata dan memijit bagian atas hidungku sambil memejamkan mata, kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan dengan perlahan. Aku bisa saja mengungkapkan semuanya padamu, namun entah mengapa suara hati selalu membujukku untuk diam membiarkan rasa itu terpendam, rasa yang tulus kumiliki untukmu, rasa yang muncul karenamu, rasa yang ditakdirkan bersatu saat tibanya waktu. Aku selalu menyebut rasa itu dengan ungkapan 'rahasia', karena seperti itulah wujud dan keadaannya.
Dengan kata itu aku memperoleh kekuatan untuk menahannya terpenjara, hanya bisa memberikan tanda-tanda padamu bahwa rasa itu senantiasa terjaga dalam hati dan jiwa. Pada layar laptop tertulis sebuah sajak yang baru saja tercipta saat kau bertanya 5 menit yang lalu.
Karena rahasia harus tetap dijaga sampai tiba saatnya...
Saat aku pantas mengungkapkannya
Saat kau pantas mengetahuinya
Saat kita pantas menjaganya
Dan jika saat itu tidak datang juga
Artinya kau tidak harus mengetahuinyaÂ
Artinya rasa kita memang tidak bisa bersua
Sehingga rahasia akan tetap terjaga
Sebagaimana mestinya...Â
Seperti seharusnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H