Mohon tunggu...
12013Y
12013Y Mohon Tunggu... Seniman - Fresh Graduate

Real person trying to be more real by seeing reality as real as possible.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jubah Putih yang Menghitam

2 Desember 2019   14:00 Diperbarui: 2 Desember 2019   14:12 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku benar-benar bernafsu menciptakan pemerintahan yang bersih dan kemakmuran bangsa, aku benar-benar bahagia. Sayangnya perasaan ini selalu ragu, semuanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Benar saja, aku terlalu larut dalam kebahagiaan, membuatku lupa bahwa dosa selalu ada akibatnya. Semua keburukan yang kulakukan satu-persatu muncul menuntut penyelesaian. Para rentenir, juru kampanye, agen, jaksa, hakim, dan lain sebagainya menuntut bagiannya, tuntutan yang membuatku gemetar bercucuran keringat dingin karena diikuti sebuah kalimat "jika tidak, akan kubongkar semuanya."

Aku sudah bersusah-payah mengobarkan segalanya untuk sampai di tempat ini, tidak akan kuhancurkan kesuksesan ini begitu saja, harus kupertahankan entah apapun caranya. Uang dan jabatan harus segera dibagi-bagikan pada mereka agar diam, seperti anjing kelaparan yang ribut meminta makan. Jabatan sudah habis kubagikan, uang sudah habis diberikan, namun para anjing masih lapar. 

Aku harus kerja keras, ada yang harus dikorbankan supaya tercipta kekosongan jabatan, dengan mudahnya kuciptakan skenario jebakan membuat 'mereka' menjadi rendah di mata masyarakat, tinggal pecat, dan selanjutnya diisi dengan pejabat cacat. 

Aku harus kerja keras, mencari uang, 'mencari' dan 'mencuri' mulai terdengar sama di telinga, uang untuk memenuhi tuntutan, dengan mudahnya kumanipulasi data proyek-proyek besar agar ada sisa uang masuk ke kantong, korupsi harus biasa kulakukan meski di siang bolong, demi mendiamkan para anjing yang sibuk menggonggong.

Aku duduk di balik meja memimpin rapat para bawahan dari segala tingkat dan tempat, kulakukan dengan menopang dagu dan memainkan pena bertinta, berpikir dan merenung tentang apa yang telah kulakukan, apa yang sedang kulakukan, dan apa yang akan kulakukan. 

Entah bagaimana caranya pena ditangan tiba-tiba menyemprotkan tinta ke jubah kebesaran, menyebar menutupi warna putih terang benderang dengan warna hitam pekat. aku kaget dan heran bukan kepalang atas apa yang baru saja terjadi. 

Semua orang di ruang rapat menatapku dengan dingin, kemudia mereka tersenyum menyeringai tampak puas melihat penampilan baruku dengan jubah hitam, bapak wakil kepala bangkit dari duduknya menepuk pundakku "bapak sekarang lebih tampan, cocok sekali memakai baju ini, bukan begitu teman-teman?!!", semuanya tersenyum dan bertepuk tangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun