Aku benar-benar bernafsu menciptakan pemerintahan yang bersih dan kemakmuran bangsa, aku benar-benar bahagia. Sayangnya perasaan ini selalu ragu, semuanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Benar saja, aku terlalu larut dalam kebahagiaan, membuatku lupa bahwa dosa selalu ada akibatnya. Semua keburukan yang kulakukan satu-persatu muncul menuntut penyelesaian. Para rentenir, juru kampanye, agen, jaksa, hakim, dan lain sebagainya menuntut bagiannya, tuntutan yang membuatku gemetar bercucuran keringat dingin karena diikuti sebuah kalimat "jika tidak, akan kubongkar semuanya."
Aku sudah bersusah-payah mengobarkan segalanya untuk sampai di tempat ini, tidak akan kuhancurkan kesuksesan ini begitu saja, harus kupertahankan entah apapun caranya. Uang dan jabatan harus segera dibagi-bagikan pada mereka agar diam, seperti anjing kelaparan yang ribut meminta makan. Jabatan sudah habis kubagikan, uang sudah habis diberikan, namun para anjing masih lapar.Â
Aku harus kerja keras, ada yang harus dikorbankan supaya tercipta kekosongan jabatan, dengan mudahnya kuciptakan skenario jebakan membuat 'mereka' menjadi rendah di mata masyarakat, tinggal pecat, dan selanjutnya diisi dengan pejabat cacat.Â
Aku harus kerja keras, mencari uang, 'mencari' dan 'mencuri' mulai terdengar sama di telinga, uang untuk memenuhi tuntutan, dengan mudahnya kumanipulasi data proyek-proyek besar agar ada sisa uang masuk ke kantong, korupsi harus biasa kulakukan meski di siang bolong, demi mendiamkan para anjing yang sibuk menggonggong.
Aku duduk di balik meja memimpin rapat para bawahan dari segala tingkat dan tempat, kulakukan dengan menopang dagu dan memainkan pena bertinta, berpikir dan merenung tentang apa yang telah kulakukan, apa yang sedang kulakukan, dan apa yang akan kulakukan.Â
Entah bagaimana caranya pena ditangan tiba-tiba menyemprotkan tinta ke jubah kebesaran, menyebar menutupi warna putih terang benderang dengan warna hitam pekat. aku kaget dan heran bukan kepalang atas apa yang baru saja terjadi.Â
Semua orang di ruang rapat menatapku dengan dingin, kemudia mereka tersenyum menyeringai tampak puas melihat penampilan baruku dengan jubah hitam, bapak wakil kepala bangkit dari duduknya menepuk pundakku "bapak sekarang lebih tampan, cocok sekali memakai baju ini, bukan begitu teman-teman?!!", semuanya tersenyum dan bertepuk tangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H