Ada sebuah dilema saat kau menjadi seorang pengacara. Dilema yang muncul dengan sendirinya ketika harus membela seseorang yang bersalah, berusaha membantu bajingan untuk lari dari tanggung jawabnya. Memang tidak ada seseorangpun dapat dinyatakan bersalah sebelum diputuskan oleh hakim yang mulia, tapi percayalah setan berwujud manusia itu ada.
Seorang terdakwa pembunuhan kini berada dalam perlindunganku, didakwa membunuh seorang lelaki beristri dan beranak 3. Entah aku yang terlalu pintar atau jaksa itu yang terlalu bodoh, singkatnya klienku terbebas dari hukuman dengan begitu saja, akan terlalu panjang jika harus kujelaskan proses serta argumen hukumnya. Seperti biasa keluarga korban tidak terima dengan keputusan hakim dan mengamuk di ruang sidang, persis seperti tindakan orang tidak berpendidikan, mendahulukan emosi dibandingkan akal sehat.
Petugas keamanan di pengadilan segera mengamankan situasi, klien dijaga ketat dan segera di bawa ke tempat yang lebih aman. Aku mengemudikan sedanku dengan santai ke luar pengadilan, tiba-tiba si ibu dengan ke tiga anaknya yang kukenal sebagai keluarga koban sudah berdiri menghadangku di gerbang. "Prak..!" kaca mobil depan di hantam dengan batu besar, pandangan yang mulus kini ditutupi dengan retakan-retakan.
Aku mulai naik pitam segera kuhentikan mobil dan keluar dengan wajah garang. Kuhampiri dan kudorong ibu itu dengan keras hingga ia jatuh terjengkang bersama anaknya yang masih bayi dalam gendongan. Si ibu menangis sambil mengelus kepala bayinya, dikerumuni oleh dua anaknya yang lain yang juga turut menangis.
Kuakui tindakanku sudah di luar batas, melihat mereka membuatku kehilangan rasa marah, namun tetap saja rasa kesal masih betah berdiam.
"Ibu, cepatlah pulang, sebelum saya berubah pikiran, tenang saja, saya tidak akan menuntut ganti rugi kerusakan mobil saya."
 "Kalian para ahli hukum tak lebih dari seekor anjing...!"
Si ibu menatap tajam ke arahku, "saya dan anak-anak ini adalah korban, jika kalian para ahli hukum hanya meminta pendapat dari pihak terdakwa tentang keadilan, lalu mengapa saya yang menjadi korban tidak bisa berteriak tentang ketidakadilan?!, kamilah yang benar-benar merasakan penderitaan, kenapa pendapat kami tidak kalian dengarkan?!".
Aku menghela nafas lelah menghadapi ibu yang keras kepala. Jujur saja aku mulai merasa kasihan dengannya, janda yang kini harus hidup sendiri melawan kerasnya dunia sambil merawat ketiga anaknya. Kini keluarga ini hanya terduduk menangis di depan sebuah gedung yang digadang-gadang sebagai tempatnya keadilan bersemayam, jika memang demikian, mengapa rasanya tidak demikian?
Mengapa masih ada pihak yang harus menderita atas nama keadilan?. Petugas keamanan mulai mendatangi kami, mencoba mengangkat sang ibu agar pergi dari gerbang yang menghalangi jalan kendaraan. Si ibu meronta-ronta berteriak minta dilepaskan sementara anak-anak mereka menangis kebingungan. Seorang petugas tampak naik pitam ia memaki dan menyeret-nyeret ibu itu dengan kasar.
Aku mulai tidak tahan dan "buk!" tinjuku mendarat di pelipis petugas itu. Semua tampak kaget dan terdiam melihatku, seorang pengacara terkenal yang dihormati baru saja berbuat sesuatu yang tak terhormat.
Sekuat tenaga aku berteriak, "lepaskan dia dan tutup mulutmu bajingan!, atau kutuntut kalian..!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H