Mohon tunggu...
12013Y
12013Y Mohon Tunggu... Seniman - Fresh Graduate

Real person trying to be more real by seeing reality as real as possible.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Curhatan Hati Pencari Kerja

13 April 2019   08:35 Diperbarui: 13 April 2019   11:42 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman sejak lulus kuliah S2 sampai saat ini. Butuh waktu bagiku untuk beradu argumen dengan diriku sendiri di dalam kepala ini, hingga akhirnya diputuskan untuk membuat dan membagikan tulisan-yang mungkin bagi sebagian orang tidak penting-ini.

Unfortunately, looking for a job is not so goddamn easy as I thought, butuh banyak pengorbanan, kerja keras, dan kesabaran. Ada banyak hal yang kenyataannya jauh berada di luar ekspektasi, semua itu terjadi karena dipengaruhi oleh banyak faktor. 

Beberapa hal yang akan kuulas di bawah ini sama sekali tidak bermaksud untuk merendahkan pihak manapun, hanya sebuah refleksi yang mungkin bisa jadi bahan perbaikan demi kebaikan bersama:

Lamanya masa rekrutmen

Bukan hal yang baru sebenarnya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa periode rekrutmen pegawai yang lama dengan beberapa tahapan tesnya juga menjadi permasalahan. 

Beberapa institusi/perusahaan bahkan membutuhkan waktu 3-6 bulan, bayangkan 1 semester pencari kerja harus menunggu untuk mendapat kepastian, bayangkan jika lokasi tes yang ditentukan jauh dari tempat tinggal bahkan harus menyeberang pulau, dan bayangkan juga bagaimana rasanya kandidat yang sudah sampai tahap akhir dan kemudian gugur? enam bulan yang telah dijalani akan terasa sangat sia-sia. 

Mungkin ada orang yang berpendapat bahwa tidak ada yang sia-sia, ada hikmah dibalik itu semua, dan bla.. bla.. bla.., segala ucapan manis dan "sok positif" itu kerap terdengar di telinga. 

Well, let's be true now, just for now, sudah menjadi rahasia umum kalau kita senang memberi nasihat yang kita sendiri tidak mampu menerimanya saat berada di posisi yang sama. Jadi, coba dulu bagaimana rasanya, kemudian silahkan bicara.

Proses rekrutmen calon pegawai adalah hubungan yang setara antara mereka yang butuh pekerjaan dan mereka yang butuh pekerja. Jadi mengapa tidak kita buat proses rekrutmen ini berjalan dengan rasa saling menghormati kepentingan masing-masing. 

Pencari kerja berusaha sebaik-baiknya mengikuti prosedur, pemberi kerja juga berusaha sebaik-baiknya menjalankan prosedur. Jangan terlalu lama menggantung nasib para pencari kerja, menerapkan proses yang berbelit-belit, bahkan kadang memundur-majukan pelaksanaan dan pengumuman hasil tes seenaknya.

Kami hanya orang-orang yang berusaha mengabdi dan memberikan apa yang kami punya, dengan harapan itu membuahkan hasil untuk mencukupi kebutuhan pribadi dan anak istri, membantu perekonomian keluarga, dan bersyukur bisa menjadi cara kami membalas jasa orang tua meski tidak seberapa.

Tes kepribadian? Really??

Ini aneh bagiku pribadi dan cukup lucu, bagaimana bisa menilai kepribadian seseorang, dengan hanya mengajukan beberapa pertanyaan, memerhatikan pola, menilai mimik wajah, atau melihat hasil gambar, sangat ajaib!. 

Sepanjang aku hidup dibumi ini, bertemu dan berinteraksi dengan ratusan bahkan mungkin ribuan mahluk bernama manusia, satu kesimpulannya: humans are unique and complex. 

Butuh waktu untuk berinteraksi dan saling mengenal sebelum akhirnya bisa menilai bagaimana kepribadiannya. Jelas ada kemungkinan penilaian kepribadian calon pegawai itu tidak tepat, bisa saja bohong.

Buktinya?, mari kita ingat kembali rekrutmen CPNS beberapa waktu yang lalu, semua dihebohkan dengan soal-soal TKP (Tes Kecakapan Pribadi) yang diragukan standar penilaiannya. 

Bahkan, di kalangan netizen beredar 2 cara menjawab TKP, menjawab sesuai dengan cerminan diri atau menjelma berhati malaikat. Wkwkwkwk, dengan bahasa lain ada 2 cara menjawab TKP, jujur atau bohong. 

Berdasarkan testimoni mereka yang lolos TKP, tips dan trik mereka adalah dengan menjawab pilihan yang baik-baik saja. NAH!!, urutannya jadi terbalik, mereka mempersiapkan (memilih) kepribadian yang seperti apa terlebih dahulu, baru kemudian menjawab soal, bukan mengerjakan soal berdasarkan kepribadian yang dimiliki.

Lagi, aku sudah berkali-kali mengikuti tes kepribadian dengan berbagai macam tipe dan bentuk. Rasa penasaran mendorongku untuk bereksperimen, ada tes yang kukerjakan sesuai pribadi apa adanya, ada tes yang kukerjakan sesuai pribadi yang sudah dimodifikasi sana sini, dan hasilnya.... Jeng! Jeng! Jeng! (Psstt..., diriku dengan segala kebohongannya yang lolos).

Come on man! Berhentilah mengharapkan kesempurnaan pada seseorang, kalau standar lolos tes kepribadian dibuat setinggi itu, maka selamat!, anda merekrut pembohong ulung. Aku tidak menyalahkan pihak manapun, yang kusesalkan adalah sistem yang selama ini berjalan. 

Tidak bisakah tes kepribadian itu dibuat lebih intens, bukankah selalu ada masa percobaan di masa awal kerja, jalankan tes itu pada saat itu, amati calon pegawaimu, beri dia tugas, beri deadline, lihat hasil kerjanya, nilai manajemen waktunya, buat dia menunjukkan belangnya secara nyata dari sikap dan perilaku, bukan melalui kertas pertanyaan, kertas gambar, dan lidah yang tak bertulang ini.

Tidakkah kita berpikir sistem itu secara tidak langsung menyingkirkan orang-orang yang berusaha jujur dalam berbicara, bersikap, dan memberi penilaian pada dirinya sendiri. Seorang pernah berkata "negeri ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur".

Transparansi

Tidak semuanya, tapi banyak juga yang tidak mau mempublikasi hasil tes calon pegawainya, kalaupun itu bersifat rahasia bukankah terlalu keterlaluan untuk menolak memberikan hasil tes kepada orang yang dites paling tidak. 

Ada apa sebenarnya sampai yang bersangkutanpun tidak berhak untuk tahu pada bagian mana ia akhirnya harus mundur. Padahal semua itu baik untuk dijadikan referensi meng-upgrade diri para job-hunter, bersiap untuk melanjutkan petualangannya mencari pekerjaan lain kedepan.

True story, salah satu peserta tes pada salah satu instansi yang berkenalan denganku mengeluh karena instansi tersebut tidak berkenan memberi tahu hasil tes kesehatannya.

Beliau memang tidak lolos pada tahap medical check-up, tapi hal ini tentu menimbulkan kegelisahan, yang bersangkutan menjadi bertanya-tanya ada penyakit apa atau ada potensi untuk mengidap penyakit apa dalam dirinya. 

Padahal beliau meminta hasil MCU bukan untuk menggugat balik instansi, hanya ingin tahu keadaan kesehatannya sehingga jika memang ada apa-apa bisa segera ia obati.

Diskriminasi almamater

Wajar sebenarnya jika instansi/perusahaan ingin merekrut pegawai dengan latar belakang pendidikan dari universitas ternama, apalagi lulusan luar negeri, woooow!. Tapi, jangan juga memungkiri kalau lulusan universitas tertentu atau lulusan dalam negeri berada pada kasta yang berbeda. 

Sejak kapan almamater jadi ukuran pasti kualitas seseorang? Aku punya banyak teman lulusan universitas akreditasi A, B, atau bahkan belum terakreditasi, serta lulusan luar negeri. Kalau diminta untuk mengurutkan kualitas akademik mereka dari atas kebawah, urutannya akan sangat random, karena memang seperti itu adanya.

Suap dan nepotisme 

Tidak perlu panjang lebar, semua orang sebenarnya tahu, semua hanya pura-pura tidak tahu.

Aku yakin banyak yang akan menyangkal poin-poin yang kusampaikan di atas, but admit it! this world is not that beautiful anymore. Dunia tercipta seperti itu? NO! sistem yang kita bentuk dan kita jalankanlah yang membuatnya begitu. 

Aku juga sadar akan banyak orang berpikiran positif dan meyakini bahwa aku adalah orang yang suka berpikiran negatif. Hmm, mungkin IYA, tapi kita terkadang butuh orang-orang seperti itu. 

Mereka yang seperti itu justru adalah orang-orang yang akan lebih dulu menyadari ada masalah, mencari di mana letak masalah itu, kemudian menampakkan "borok" itu agar semua tahu, kemudian akhirnya muncul gerakan untuk perbaikan. Because the first step in solving any problem is recognizing there is one (Will McAvoy, The Newsroom, Opening Scene).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun