Sebuah rumah berdiri di atas bumi ini, luas, besar, mewah, dan megah. Di huni oleh sebuah keluarga yang banyak jumlahnya dan dipimpin oleh seorang kepala yang kerap menderita pusing kepala. Keluarga itu hidup dalam keadaan sengsara, tidak dapat menikmati rasanya menjadi orang kaya, meskipun segalanya tersedia, terlalu banyak penjahat menumpang di sana. Â
Tikus-tikus licik pemakan segala, rakus dan tak mengenal dosa, berpuluh-puluh tahun hidup sembunyi dan mengintai dari sisi gelapnya, tapi semua tahu siapa penguasa yang sebenarnya. Tikus-tikus tidak memiliki kekuatan, namun mengandalkan kecerdasan dan kekompakan.
Sang kepala yang bertanggungjawab memeras otak memikirkan cara agar dapat memusnahkan para tikus yang merampas kesejahteraan keluarganya. Didatangkanlah para kucing, disediakan segala fasilitas dan kenikmatan hanya untuk mengerjakan satu tugas ringan, "babat habis para tikus tanpa belas kasihan."
Bumi terus berputar, iman setipis kulit bawang itu akhirnya terobek juga, tikus mengumpan ikan-ikan gemuk hasil mencuri dari dapur nyonya. Bau busuk pengkhianatan mulai tercium dari kibasan ekor kucing-kucing tambun itu. "Hmmmm, itu lebih lezat sepertinya dibanding tulang sisa makanan tuan-tuan kita." Tikus tenang, kucing senang. Â
Apa daya, penghuni rumah tak berdaya, mereka terlanjur menyukai kucing-kucing lucu itu, tampang manis dan tingkah manja mereka telah meluluhkan hati yang lembut. Kucing yang sehari-hari tidur bermalas-malasan, semakin lelap karena dibelai dengan penuh kasih sayang. "Untuk apa susah-susah memburu tikus hina?, toh, kerja tidak kerja segalanya selalu tersedia."
Sang kepala kembali mencari cara, ia membeli perangkap untuk menjebak tikus-tikus biadab, perangkap dipasang di setiap sudut rumah. Operasi pembersihan sudah diterapkan semalam, pagi ini saatnya mengecek hasil jebakan. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, pemandangan mengejutkan mengungkap kebenaran, perangkap berhasil menangkap tikus dan kucing secara bersamaan. Kucing mulai kehilangan kepercayaan, kredibilitas yang diagungkan kini hancur berantakan.
Sang kepala mulai kehabisan akal, ia akhirnya membeli racun untuk dicampurkan pada makanan sisa tak layak cerna. Sayang sungguh sayang, tidak hanya tikus yang menjadi korban, anggota keluarga pun turut serta, karena sudah tidak tahan menderita kelaparan. Makanan sisa itu seharusnya berada di atas meja makan, bukan teronggok di sudut ruangan.
Keadaan semakin memprihatinkan, rumah berantakan karena buah perpecahan. Kucing jahat mulai bosan diabaikan dan tidak diberi makan, mereka menjelma menjadi tikus besar untuk tetap bertahan, kucing baik semakin terasingkan, dikeroyok, serta dibinasakan. Sikap "sok suci" itu ternyata bukan alat yang baik untuk berkawan.
Anggota keluarga marah, marah karena mereka juga menjadi korban, mencaci maki dan membenci sang kepala yang mulai kehilangan kepercayaan, dianggap tidak becus dalam membuat kebijakan.
Sang kepala mulai lelah, lelah karena kerja kerasnya tidak mendapatkan dukungan, lelah karena terlalu banyak duri dalam daging, terlalu banyak pagar makan tanaman, terlalu banyak guntingan dalam lipatan. Ia kemudian pergi meninggalkan jabatan untuk mendapatkan ketenangan.
Tikus tertawa menyaksikan itu semua sambil menikmati makanan, kemenangan besar ini pantas untuk dirayakan, mereka berpesta semalaman dan tidur pada pagi harinya karena kelelahan. Tikus-tikus sombong itu lupa, bahwa setiap perbuatan akan mendapat balasan, mereka tidak sadar bahwa rumah itu sudah dijual dan akan dihancurkan. Mabuk dan kehabisan tenaga, tikus-tikus tidak mampu menghindar dari hujan puing bangunan, rumah akhirnya rata bersama tikus-tikus busuk yang binasa.