Kita menggunakannya untuk bicara, mengimplementasikan pikiran dalam wujud kata-kata, sebagai sarana untuk mengerti satu sama lain dengan jalur komunikasi. Bicara menjadi salah satu keunggulan manusia, kemampuan untuk menerjemahkan maksud hati dan pikiran dalam suatu sistem yang terstruktur rapi dan disebut bahasa.
Di sisi lain bicara juga menjadi kelemahan manusia, kata-kata yang telah diucapkan tidak akan bisa dihapus layaknya tulisan. Ucapan kotor, kasar, tidak sopan menjadi boomerang bagi yang mengucapkan, dan lucunya lagi manusia senang menyimpannya dalam hati, selalu terngiang seperti rekaman yang disetel berulang-ulang. Sehingga membuatnya terasa lebih menyakitkan dibanding dipukul dengan tangan.
Orang-orang bijak menyadari hal itu, berusaha menasehati sesama, agar pandai menjaga perasaan sesama, dengan pandai menjaga kata antar sesama. "hancurnya manusia karena tergelincirnya lisan, mulutmu harimaumu, diam adalah emas, lidah memang tak bertulang" dan masih banyak lagi ungkapan sejenis yang menyadarkan kita bahwa lisan tak jauh berbeda layaknya binatang buas, harus berusaha agar bisa dijinakkan atau ikat saja dengan kencang.
Aku terdiam mendengarkan kata demi kata yang diucapkan oleh penceramah lepas shalat maghrib berjamaah ini, pikiranku melayang kembali ke dua malam sebelumnya, saat-saat di mana sahabatku sejak kecil Marliyana, atau yang di Jakarta dikenal dengan nama "Miss Lina", telah berubah menjadi musuhku sampai mati.
Masalahnya sepele saja, aku benar-benar tidak tahan untuk menceritakan pada warga desa bahwa ia merantau ke Jakarta bukan untuk bekerja sebagai pegawai bank, tapi sebagai wanita penghibur lelaki hidung belang. Fakta yang tidak sengaja kuketahui saat mulai melanjutkan studi di salah satu Universitas di Jakarta.
Meski selalu kusisipkan ucapan "jangan bilang siapa-siapa" di setiap akhir cerita, tetap saja kabar itu menyebar ke siapa-siapa. Aku benar-benar mengharapkan cerita itu memunculkan simpati bukan sikap antipati. Sayangnya pemuda lugu dan bodoh ini salah membaca situasi. Keluarga tidak lagi mau mengakui hubungan darah karena malu, warga desa sepakat mengusirnya karena menjadi aib masyarakat, dan sudah dipastikan tidak ada pemuda di desa ini yang sudi menikah dengannya.
Teringat kata-kata yang ia ucapkan padaku sebelum beranjak pergi sambil berlinang air mata, menuju tempat yang tak seorangpun tahu di mana, bahkan dirinya.
"Sekarang aku tahu seperti apa sifat sebenarnya dari manusia, mereka sangat cerdas. Hanya butuh waktu dua tahun untuk dapat lancar berbicara, tapi butuh waktu seumur hidup hanya untuk belajar tutup mulut."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H