Mohon tunggu...
11 Terbaik
11 Terbaik Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Salah Kaprah, Penguasa Media dan Penegak Hukum yang Tak Berdaya

6 Oktober 2018   03:05 Diperbarui: 6 Oktober 2018   03:38 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anda  yang tertarik dengan judul tulisan ini dan memutuskan baca, ane mau nanya, apa sih yang ada dalam benak anda ketika membaca " Politik Salah Kaprah?"

Dunia politik penuh dengan intrik, demikian lirik sebuah lagu dari penyanyi kondang mantan anak jelata. Politik penuh dengan retorika, memang begitulah adanya. Politik itu seperti labirin, menyesatkan, seperti kulit, tipis, berlapis-lapis. Politik itu seperti pohon, bercabang-cabang, seperti imaginasi, bergerak liar mengejutkan, dinamis, mematikan!

Jika kita melihat kebelakang, baca: sejarah. Secara garis besar politik hanya dibutuhkan oleh dua golongan saja. Penguasa untuk melindungi kekuasaannya, dan satu golongan lain untuk merebut kekuasaan. Lalu dimana kita ? Yang notabene secara kuantitas terbesar dalam satu lingkup komunitas, baca: negara. Jawabannya, kita dianggap tidak lebih dari sekedar remeh remeh, hanya diingat ketika diperlukan. Seperti musim buah-buahan, musim mangga, ingat mangga, musim pemilu ingat rakyat. Hutang jatuh tempo, naikkan pajak. Rakyat ngomel, alihkan isu.

Bagaimana penguasa mempertahankan kekuasaannya, dan bagaimana cara golongan lain merebut kekuasaan ? Jawabannya adalah Media.

Ane ingin sedikit bercerita tentang artikel yang baru-baru ini ane baca. Adalah perwira angkatan laut terbaik Jerman Wilhelm Souchon yang diperintahkan oleh Kaiser Wilhelm II untuk pergi ke laut Adriatik bersama SMS Goeben dan SMS Breslau untuk bergabung dengan Austria-Hongaria. Saat itu perang antara Jerman, Australia melawan Inggris, Prancis meletus. Ottoman yang memiliki hubungan bisnis dengan Jerman dan Inggris memilih netral. 

Souchon dengan SMS Goeben dan SMS Breslau nya, kapal perang tercanggih saat itu ternyata tidak menurut perintah tuannya. Souchon tidak pergi ke Adriatik, melainkan ke pelabuhan nun jauh disana, pelabuhan Ottoman. 

Kerajaan Ottoman menyambut baik dua kapal tempur itu dan membelinya. Karena sebelumnya Ottoman pernah memesan dua kapal laut militer dari Inggris, setelah kapal selesai dan uang sudah diterima dari Ottoman, Inggris tidak jadi menjual kedua kapal itu dengan alasan Inggris butuh karena sedang terlibat perang. 

Jerman bersedia menjual dua kapalnya dengan diskon besar asalkan, Ottoman mau membantu Jerman melawan Inggris dan Prancis. Ottoman tidak sanggup menolak tawaran dua kapal tempur tercanggih dijamannya dengan harga murah, tapi juga tak mau ikut-ikutan perang yang gak penting buat Ottoman. Singkat cerita, Ottoman tetap berhasil memboyong SMS Goeben dan SMS Breslau walau mereka tetap bersikap netral. Sebagai gantinya, seluruh Admiral Inggris di Ottoman dipulangkan, lalu didatangkan instruktur dari Jerman.

Menyadari pihak Ottoman tidak mau membantu Jerman dalam perang, Souchon tidak kehabisan ide, Media adalah idenya. Souchon meminta uang berkoper-koper dari Kaiser Jerman, uang itu ia gunakan untuk menyongok seluruh media yang ada di Ottoman. Koran, majalah, radio, semuanya ia sogok untuk menggiring opini masyarakat Ottoman agar membenci Inggris. Sebaliknya, Jerman disanjung. 

Isu-isu penting termasuk pembatalan pesanan kapal oleh Inggris, di blowup habis-habisan. Inggris dituduh mencoreng harga diri Ottoman, tidak konsekuen, mencaplok wilayah kekuasaan Ottoman sedikit demi sedikit selama 200 tahun terakhir. Perlahan tapi pasti, opini publik akhirnya bergeser menjadi benci pada Inggris dan cinta pada Jerman.

Opini publik sudah bulat, tapi di kalangan elit masih terpecah. Bisa dijadikan indikasi, kalangan elit lebih kebal terhadap propaganda. Souchon minta uang lagi, uang itu ia pakai menyogok pejabat Ottoman yang pro Inggris. Al hasil rakyat Ottoman semakin semangat berperang, dan memang pada akhirnya mereka berperang. Keberhasilan Souchon menggiring opini publik Ottoman mengubah peta perang dunia 1 menjadi seperti dibawah ini.

Itulah salah satu contoh dari ribuan kisah sejarah, bagaimana hebatnya peran media menggiring pikiran kita, orang yang cuma dianggap remeh remeh ini, kearah.. sesuka hati merekalah. Tapi media hanyalah alat politik. Lalu siapa sebenarnya yang mempermainkan kita ? Ya dua golongan tadi, penguasa dan satu golongan lain yang ingin merebut kekuasaan.

Kaki tangan penguasa adalah hukum dan penegak hukum. Tangan memukul, kaki menendang. Palu di ketuk, ente masuk kandang. Indonesia memiliki banyak catatan kelam terkait hukum dan penegak hukum ini. Terutama di era orde baru dimana otoritas ditegakkan atas nama keamanan dan stabilitas negara. Banyak nama yang sampai ke telinga kita, tapi kita tak pernah melihat orang nya. Akhirnya kita memilih diam, karena kita takut bernasib sama. 

Di jaman now, jaman yang serba kekinian. Jaman Demokratis Kapitalis plus embel-embel generasi micin ini, kita singkat saja, demokrasi. Eranya sudah bebas memang, tapi koq, gitu sih ? Anjing menggonggong kafilah berlalu, mulut lu bacot tong, tangan gue ketok palu. Kita tetap dalam kondisi yang sama hanya jamannya yang berbeda. Penguasa dan kaki tangannya tetap segala-galanya. 

Coba kita kembali ke kisah awal, ketika Souchon mengabaikan perintah Kaiser Wilhelm II. Terlepas dari hasil akhir, karena tak satu pun yang menduga, tidak Kaiser Jerman, Tidak Admiral Prancis dan Inggris yang siaga menjaga perairan, tidak juga Souchon sendiri, akan mampu sampai di pelabuhan Ottoman dengan selamat. Kalau di Indonesia, kira-kira kejadiannya akan seperti apa ya ? 

Dan sampailah kita pada diri kita sendiri. Jangan terkecoh dengan judul kawan, bukan penegak hukum, tapi kitalah sesungguhnya yang tak berdaya itu. Dan kita harus tahu diri dan mencamkan itu baik-baik kedalam diri kita masing-masing. 

Orang-orang di atas sana, yang terbagi kedalam dua golongan menganggap kita hanya remeh temeh. Celakanya kita ini memang remeh-temeh, setidaknya sampai detik ini kita masih betah menjadi korban. Mereka hanya butuh suara kita, lainnya tidak, tidak juga ide dan kritikan kita. Kalau perlu kita hidup dua kali saja, saat bayar pajak dan saat pemilu. Setelah itu, kita ke laut aja, daripada ngeluh sana-sini, demo ini itu, gak penting banget lu.

Dulu waktu dibungkam kita diam, ketika diam kita terlihat lugu, baik, ramah, sopan, dan suka menabung. Tampak selayak menantu idaman sesungguhnya. Tapi, setelah bebas bicara, eh eh eh, ternyata oh ternyata, sifat aslinya sungguh ternyata. 

Kita menggunakan suara kita, menghabiskan energi kita hanya untuk menyerang satu sama lain. Orang elit bertengkar, setidaknya mereka memiliki kepentingan politik masing-masing, kekuasaan, nah kita ? Kita bertengkar untuk kepentingan siapa ? Bangsa dan negara ? Jaka Sambung makan mie sop, gak nyambung sob.

Ini kah yang disebut politik salah kaprah ? Caci sana maki sini, berargumen dengan istilah politik akademik terbaik yang kita mampu, namun sama sekali tidak visioner. Semua itu dilakukan hanya untuk kepentingan ego dan fanatisme semata. Suka sama, ehem, seseorang, mengidolakan tokoh, kagum pada sosok figur, ya sah sah saja, itu sudah menjadi sifat sosial kita sebagai manusia. Tapi gak usah sampe berantem sama saudara sendiri juga kali. Tul gak? Bentar, ane ngopi dulu, eh gak usah deh tanggung udah mau selesai.

Lalu apa sebenarnya tujuannya ane membuat perdana ini, boleh dibilang tidak ada, tak mungkin ada karena ane tahu diri. Ane hanyalah remeh temeh bernama Newbie dalam lingkup komunitas online called Kompasiana. 

Sejujurnya, tadinya ane gak niat menulis. Tadi ane mau berkomentar di salah satu berita politik, bukan kompas, setelah ane tulis lalu klik kirim eh, minta registrasi, ya udah ane daftar. Selesai daftar, ane balik lagi keberita tadi eh, komentar ane sama kolom komentar nya hilang. Akhirnya ane ingat Kompasiana dan mutusin buat tuliasan pertama ane sekalian. 

Tulisan ini baca: komentar, berawal dari keresahan ane melihat netizen yang ane anggap saudara sebangsa, begitu mudah tergiring opini. Media, mereka percaya sama seperti orang tua di rumah, guru ngaji di masjid dan wali murid di sekolah. Kalau begitu caranya maka, kita-kita ini adalah calon santapan empuk, kambing hitam politik elite dua golongan. Menjadi kambing hitam baca: korban politik sama sekali tidak enak, sangat menyakitkan. Kita lebih baik makan beling pake bumbu ari-ari sama kuah air ketuban daripada difitnah mentah-mentah. 

Terima kasih sudah capek2 baca coretan ane yang gak penting ini, semoga gak gagal paham ya pak. 

Note. Tulisan ini juga ane publish di media lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun