Mohon tunggu...
Ratadiajo Manullang
Ratadiajo Manullang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa filsafat teologi (STFT) Widya Sasana Malang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dekonstruksi Moralitas Dan Humanitas Masyarakat Indonesia Dalam Dialog Antara Thomas Hobbes dan Aristoteles

7 Juni 2014   19:12 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:49 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cogito Ergo Sum-Aku berpikir maka Aku ada”, merupakan adagium René Descartes mengenai pemikiran filosofinya tentang eksistensi manusia. Pengertian eksistensi dipahami sebagai suatu keseluruhan menyangkut pengalaman, identitas, cara berpikir, dan karakter manusia. Cogito yang dimiliki manusia menentukan sekaligus mempengaruhi eksistensinya. Sementara itu, pengalaman dapat dipengaruhi historisitas.

Bagaimana dengan eksistensi masyarakat Indonesia? Eksistensi masyarakat Indonesia, mau tidak mau, juga telah dipengaruhi oleh pengalaman di masa lampau. Jadi, pengalaman akan masa lalu ini telah membentuk moralitas dan humanitas bangsa Indonesia sekarang ini.

Membahas tentang dekontruksi moralitas dan humanitas masyarakat Indonesia pertama-tama bukan berkaitan dengan hal-hal baik dan jahat yang telah terjadi di Indonesia juga hal-hal yang harus dilakukan di masa mendatang, melainkan tentang pergulatan politik bangsa Indonesia. Politik yang dimaksud tidak dimengerti secara sempit yaitu perebutan kekuasaan. Tentu hal ini adalah salah satu makna yang merupakan deviasi (pembelokan) atau yang bukan merupakan natura atau pengertian politik yang dimaksud oleh akal budi manusia. Politik berarti tata hidup bersama, tatanan pada sistem kehidupan. Kepentingan penataan hidup bersama inilah yang menjadi pergulatan moralitas dan humanitas masyarakat Indonesia. Siapa pun kita, politik itu tidak mungkin menjadi disposisi yang bisa diacuhkan begitu saja. Kita bergerak di bidang apa pun, partisipasi kita sebagai penata hidup sungguh tidak bisa dipungkiri.

Pengenalan politik berawal dari pengenalan hidup sehari-hari (Armada Riyanto, 2011: 32-34) . Kehidupan bangsa Yunani diwarnai dengan aneka tragedi. Hal yang sama terjadi dengan bangsa Indonesia. Sejak keberadaannya sebagai sebuah bangsa, bangsa Indonesia telah mengalami aneka tragedi.

Bagi bangsa Yunani, suatu perang bukan hanya sekadar tontonan. Perang berarti hidup itu sendiri. Persoalannya ialah bagaimana dapat hidup dengan baik di tengah-tengah adanya perang? Hidup dengan baik berarti berperang dengan baik. Apa artinya? Artinya, saya harus berlatih bukan untuk terampil memegang senjata, tetapi untuk mengajarkan bagaimana menghormati fair play, berperang dengan keberanian, keadilan, dan kejujuran.

Lalu bagaimana dengan politik bangsa Indonesia? Salah satu komponen untuk mengerti politik di Indonesia ialah lewat sejarah. Politik amat berkaitan dengan sejarah (Miriam Budiarjo, 1978:17). Ada suatu karakter historis atau historisitas yang tidak bisa ditinggalkan dalam mengelola tata hidup bersama. Yang dimaksud sejarah bukan hanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. Sejarah yang dimaksud dapat diringkas dalam terminologi historisitas. Historisitas adalah ketika berhadapan dengan sejarah, tidak hanya berhadapan dengan peristiwa yang telah lewat, tetapi dengan makna yang terkandung di dalamnya (Armada Riyanto, Ibid).

Makna hanya diperoleh dengan cara pandang yang benar ketika memahami sejarah. Makna bukan sekadar peristiwa tetapi juga menyentuh framework/rangka keseluruhan dari pergumulan. Bangsa Indonesia tidak bisa menilai suatu peristiwa tanpa memahami panorama sejarahnya. Misalnya tragedi 1965, tidak boleh dipandang bahwa komunisme itu sekadar ideologi yang menjadi musuh bangsa ini. Masyarakat Indonesia harus memiliki logika kecil bahwa masa-masa perang dunia II yang selesai tahun 1945, yang ditandai kekalahan Jepang, dan dengan demikian Indonesia menjadi negara merdeka, sebenarnya belum merdeka.

Salah satu kesulitan praktisnya ialah mulai kapan pergulatan sejarah politik bangsa ini bisa dijelaskan? Hal ini tidak bisa dijelaskan sembarangan. Sejarah bangsa Indonesia modern tidak muncul sejak Majapahit, tidak juga sejak Cut Nyak Dien. Pergumulan Indonesia sebagai bangsa juga bukan pada tahun 1945. R.A. Kartini juga belum menunjukkan sinyal-sinyal cita-cita sebagai sebuah bangsa, tetapi hanya pada ranah kaum perempuan Jawa. Sejarah Indonesia modern ialah sejak Indonesia berada dalam pergumulan kebebasannya sebagai suatu bangsa. Kapan?

Berangkat dari pemikiran seorang pendiri filsafat politik yaitu Sokrates. Apa yang khas dari Socrates ialah pertanyaannya tentang “Apakah manusia?”Ketika Socrates bertanya “Apa itu manusia?” dia menggali natura manusia, kodrat manusia, the human being. Apa artinya “kodrat manusia”?, itu sama dengan apa itu natura negara (Richard Kraut, 1984: 136-137. Pertanyaan Sokrates ini dapat dipertanyakan kepada bangsa Indonesia ketika pertama kali menentukan identitas keberadaannya yakni “Siapakah manusia Indonesia?” Bukan  bertanya “Kita mau apa dengan Indonesia?”

Menarik bahwa dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno mengatakan, “Kami bangsa Indonesia...” Soekarno tidak mengatakan bahwa manusia Indonesia adalah orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Manusia Indonesia adalah persatuan Indonesia. Manusia- Indonesia bukan manusia beragama yang memiliki aturan-aturan, tetapi yang ber-Ketuhanan. Selain itu, cara mendefinisikan masyarakat Indonesia itu juga bukan melalui abstraksi mayoritas-minoritas. Manusia Indonesia bukan didominasi oleh mereka yang mayoritas. Hal ini tampak dalam bahasa yang digunakan yaitu bahasa Indonesia (R. Moh. Ali, 2005: 145-146).

Kemudian, bagaimana moralitas dan humanitas bangsa Indonesia sekarang ini? Dapat dikatakan bahwa pemahaman serta pe-makna-an akan historisitas di masa lampau telah mengubah eksistensi bangsa Indonesia. Tahun 1920-an merupakan saat yang paling jelas sebagai awal mula proses ini. Budi Utomo yang bernama Multatuli alias dari Douwes Dekker menulis buku pertama yang melukiskan kebobrokan pemerintahan kolonial melalui buku Max Havellar yang diterbitkan di Swiss dan membuka banyak mata bahwa pemerintahan ini tidak beradab melainkan biadab (Fritz Van Oostrom, 2008:73-75). Kebiadaban ini bukan hanya perkara pemaksaan dan pemerasan pemerintah terhadap pribumi. Kebiadaban ini juga mencakup dampak mental dan moral para priyayi yang menjadi kejam pada bangsanya sendiri. Indonesia tertindas bukan karena pemerintah kolonial itu sendiri, tetapi justru dari orang-orang bangsanya sendiri (Fritz Van Oostrom, Ibid). Inilah moralitas dan humanitas bangsa Indonesia sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun