Mohon tunggu...
Ram Tadangjapi
Ram Tadangjapi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Cuma senang menulis

Kutu Buku, Penggila Film, Penikmat Musik

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Resensi Film "Amazing Grace" (2006)

1 Agustus 2018   06:35 Diperbarui: 1 Agustus 2018   08:02 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 It's only painful to talk about because we haven't changed anything. But, unlike the slaves, I have opium for my pain.

William Wilberforce (Ioan Gruffud) seorang anggota parlemen inggris yang kerap mengajukan wacana unik sehingga sering bertabrakan dengan pemikiran anggota parlemen yang lain, mulai dari isu perdamaian dengan Perancis hingga penghapusan perdagangan budak.

Wilberforce sendiri akrab dengan William "Billy" Pitt (Benedict Cumberbatch) yang meskipun sepantaran dengan Wilberforce namun Billy lebih terlihat hati-hati dan penuh perhitungan. Billy kemudian memperkenalkan Wilberforce dengan beberapa aktifis penentang perbudakan, diantaranya Thomas Clarkson (Rufus Sewell) yang berpikiran cerdas dan Equiano (Youssou N'Dour) mantan budak asal Afrika, dari perkenalan ini membuka wawasan baru bagi Wilberforce tentang perbudakan lalu mulailah Wilberforce dan kawan-kawan menyusun usulan untuk penghapusan perdagangan budak. Belakangan bergabung pula politisi senior yang sering berseberangan pemikiran dengan Wilberforce, Lord Charles Fox (Michael Gambon).

Wilberforce juga mendapatkan informasi tentang perdagangan budak dari John Newton (Albert Finney) yang pernah menjadi kapten kapal pengangkut budak, dari pengalamannya itulah John Newton kemudian menciptakan lagu Amazing Grace. 

Ternyata usulan Wilberforce mendapatkan penolakan dari mayoritas anggota parlemen, bahkan kampanye anti perdagangan budak dipelintir oleh banyak politisi sebagai usaha penggulingan kekuasaan bahkan berimbas ke kredibilitas Wilberforce dan kawan-kawan. Billy yang saat itu sudah jadi perdana menteri Inggris kemudian meminta Wilberforce untuk mundur sejenak dari kampanye anti budak sambil memikirkan strategi baru, namun hal itu dianggap Wilberforce sebagai sebuah intervensi penguasa.

Keadaan yang tidak menguntungkan bagi Wilberforce dan koleganya membuat kelompok mereka terpecah, Wilberforce harus istirahat total setelah ia divonis ada kelainan di perutnya bahkan Equiano ditemukan meninggal ditempat tidur. Dalam masa perawatan serta didera putus asa Wilberforce dikenalkan oleh keluarganya pada Barbara Spooner (Romola Garai) seorang aktivis wanita yang sejak awal mengikuti sepak terjang Wilberforce di kampanye anti perbudakan. Wilberforce menemukan semangat baru serta energi yang lebih besar di dalam diri Barbara Spooner, ia pun kemudian mengumpulkan kembali teman-temannya yang dulu di kampanye anti perdagangan budak untuk kembali memperjuangkan cita cita mereka, kali ini mereka kembali dengan menggunakan strategi baru.

Benedict Cumberbatch dan Ioan Gruffud (sumber: www.pinterest.com)
Benedict Cumberbatch dan Ioan Gruffud (sumber: www.pinterest.com)
Film ini menampilkan beberapa tokoh sejarah Inggris diantaranya William Wilberforce (pejuang anti perbudakan di Inggris) dan William Pitt (perdana menteri termuda Inggris), namun menitik beratkan ceritanya pada William Wilberforce. Secara tekhnik filmografis kualitas Michael Apted sebagai sutradara masih tetap terjaga, detail-detail ketegangan saat rapat di perlemen pada tahun 1780-an hingga tampilan bangunan di zaman itu tergambar dengan baik.

Ioan Gruffud mampu tampil baik sebagai pejuang anti perbudakan yang didera hujatan sekaligus penyakit, namun saya lebih mengacungkan jempol ke Benedict Cumberbatch yang menjadi politikus muda, penuh perhitungan, dan tidak gegabah. Pujian juga patut diberikan ke barisan cast yang mampu memberikan penampilan baik serta menguatkan plot cerita, seperti Rufus Sewell dan Albert Finney.

Film ini layak masuk ke daftar tontonan dengan tema tentang perbudakan, ceritanya memang tak semenyedihkan 12 Years A Slave (2013) atau Amistad (1997) namun mampu memberikan sudut pandang berbeda tentang perjuangan anti perbudakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun