Palestina bukan merupakan perihal yang baru muncul dan ramai belakangan ini. Konflik ini sudah dimulai dan berlangsung semenjak akhir abad ke-19, tepatnya pada 2 November 1917, ketika Perjanjian Balfour dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris yang berisikan dukungan Inggris terhadap pendirian rumah nasional Yahudi sekaligus menyatakan dukungannya pada kelompok Zionis[i]. Sejak saat itu, konflik antara Palestina dan Israel terus berkembang, dan kini banyak melibatkan pihak-pihak luar dan ketiga, baik mereka yang mendukung pertahanan rakyat Palestina maupun sebaliknya, yakni dengan mendukung dan bahkan mendanai kegiatan konflik untuk pihak Israel.
Konflik di tanahBelum lama ini, terdengar kembali nama Hizbullah, dan berkaitan dengan konflik yang ada di Palestina. Hizbullah merupakan kelompok bersenjata dari Lebanon, yang belakangan ini terlibat kembali dalam kasus konflik dan berhadapan lagi dengan Israel, juga merupakan partai politik dari golongan muslim Syiah dari Lebanon dan kelompok militan pertama yang muncul selama perang saudara Lebanon sebagai milis seusai invasi Israel ke negara itu pada tahun 1982. Hizbullah terbentuk sebagai salah satu bentuk proksi militer dari Iran, yang dimana terbentuknya partai dengan arti "Party of God" ini didukung penuh oleh Iran sebab anggota dan penyusunnya yang merupakan kaum musim Shia. Sejak tahun 2000-an, Hizbullah telah menjadi salah satu kekuatan politik garda terdepan di Lebanon, sebagai negara multikonfesional yang sistem politiknya sebagian besar terbagi sepanjang garis sektarian. Hubungan dekatnya dengan Iran telah membuatnya menjadi salah satu komponen terpenting dari poros perlawanan pimpinan Iran, sekelompok organisasi sekutu di Timur Tengah yang menentang pengaruh Israel, Amerika Serikat , dan Arab Saudi di wilayah tersebut[ii].
Â
Hubungan antara Hizbullah dengan negara Iran bukanlah sebuah rahasia yang disembunyikan.  Sejak revolusi 1979 yang menjadikan Iran sebagai negara teokrasi Muslim Syiah, negara itu terisolasi dan merasa dirinya terkepung. Iran menganggap Amerika Serikat dan Israel sebagai musuh terbesarnya selama lebih dari empat puluh tahun, para pemimpinnya telah bersumpah untuk menghancurkan Israel. Iran juga ingin membangun negaranya sebagai negara paling kuat di kawasan Teluk Persia, yang mana pesaing utamanya ialah Arab Saudi, sekutu dari Amerika. Iran telah lama mempersenjatai, melatih, membiayai, memberi nasihat, dan bahkan mengarahkan beberapa gerakan yang memiliki musuh sama. Iran menyebut dirinya serta milisi-milisi ini sebagai "Poros Perlawanan" terhadap kekuatan Amerika dan Israel[iii]. Konflik yang terjadi di Gaza saat ini telah memicu kembali permusuhan antara Hizbullah dan Israel, yang menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang regional yang lebih besar. Sebelum  memasuki pembahasan yang lebih jauh, perlu diketahui bahwa negara Iran membawa pengaruh dan banyak terlibat dalam topik yang akan dijelaskan.
Hizbullah merupakan satu dari sekian banyak proksi-proksi milisi yang merupakan bentukan dan dukungan Iran. Mengapa Iran mendukung Hizbullah, dan juga milisi lainnya yang menyebar di beberapa negara disekitarnya? Apa tujuan dari terlibatnya Iran dengan mereka? Terdapat beberapa alasan mengapa Iran sendiri dapat terlibat dalam konflik-konflik di tanah Arab. Â Alasan pertama ialah kejayaan masa lalu negeri Iran, yang sebelumnya merupakan salah satu kerajaan di dunia yang memiliki pengaruh besar, dan bisa dibilang satu dari sekian banyaknya kerajaan yang berjaya pada masanya, yakni Kerajaan Persia. Kerajaan Persia merupakan peradaban tertua yang masih ada di dunia. Â Beberapa golongan elit Iran menganggap bahwa Iran memiliki masa lalu yang gemilang, dimana seharusnya negara ini layak mendapatkan peran penting dalam mengatur urusan regional dan global[iv]. Banyak kerajaan telah menguasai dataran tinggi Iran selam ratusan tahun, dimana kemudian wilayah tersebut ditaklukkan oleh tentara Muslim-Arab, dan membawa masuk pengaruh dan agama Islam pada abad ke-7.Â
Pada abad ke-20, Inggris menemukan minyak di tanah Iran dan menimbulkan kehebohan di dunia. Â Dibentukya Perusahaan Minyak Anglo Iran (AIOC) membuat Inggris memiliki pengaruh dan influens besar di negara tersebut. Pada tahun 1953, Amerika Serikat bersama dengan Inggris mengadakan kudeta rekayasa dan menggulingkan perdana menteri yang telah dipilih dengan demokratis, Mohammad Mossadegh, yang telah menasionalisasi minyak dan menyebabkan embargo perdagangan sehingga mengganggu perekonomian minyak dunia dan digantikan oleh Shah atau pemimpin baru yang pro-barat, Mohammad Reza Pahlavi.Pahlavi menikmati 26 tahun pemerintahan Iran yang relatif damai, sampai pada tahun 1979. Ayatollah Ruhollah Khomeini, melalui revolusi Iran, menjadi pemimpin tertinggi negara tersebut, dan memerintah Iran yang baru dengan agama sebagai dasar dari pemerintahannya.
 Dengan pemerintahan barunya, Iran secara radikal memutuskan hubungan dan aliansinya dengan negara-negara barat. Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat semakin parah ketika kelompok-kelompok mahasiswa yang mendukung berdirinya rezim baru menyerbu gedung kedutaan besar Amerika di ibu kota Teheran, memicu ketegangan antar dua negara selama 444 hari berujung pada dijatuhinya sanksi internasional.  Selama beberapa dekade, terjadi peningkatan kekerasan antara dua negara. Pada tahun 2020, dengan periode konflik yang kian meningkat dan semakin intens, terjadi pembunuhan seorang jenderal Iran yang paling berpengaruh oleh Amerika Serikat, Qassem Soleimani. Menurut Yassamine Mather, seorang sarjana asli Iran dari University of Oxford dalam wawancaranya dengan BBC World Science, Iran berusaha menunjukkan dirinya sebagai pemerintah yang paling anti-AS di kawasan. Selain itu, mereka selalu berpihak pada musuh pihak lainnya. Iran melihat Rusia sbeagai sekutu, karena mereka tidak memiliki sekutu lain.Â
Seperti yang telah telah disebutkan sebelumnya, Iran memiliki proksi-proksi milisi yang menyebar di  jazirah Arab. Kelompok Milisi Houthi di Yaman, Hezbollah di Lebanon, Hamas di Gaza, Palestina, dan beberapa lainnya yang tersebar di Iraq, Syria, dan Bahrain. Jaringan milisi-milisi ini disebut Axis of Resistance,  yang mana dalam materi Actor in International Relations atau Aktor dalam Hubungan Internasional, mayoritas kelompok milisi atau Axis of Resistance ini merupakan aktor non-negara, salah satunya ialah golongan teroris.  Pada 7 Oktober 2023,  militan Hamas menyerang dan membunuh 1.200 orang di daerah Israel, yang dimana menjadi katalis pemicu perang paling mematikan dalam sejarah konflik Palestina-Israel. Meskipun Iran membantah keterlibatannya dalam penyerangan, negara tersebut memberikan dukungan terbuka atas aksi yang dilakukan Hamas. Iran memberikan dukungan moral kepada kelompok milisi Palestina tersebut, sebab dengan hanya memberikan dukungan moral, mereka dapat mencegah diri mereka sendiri dalam perang dan konflik yang lebih jauh, dan berpotensi menyebabkan Iran atau Hizbullah, ataupun anggota Poros Perlawanan terlibat langsung dengan Israel ataupun Amerika Selatan. Mengapa Hizbullah? Hizbullah merupakan puncak poros perlawanan Iran, dimana kelompok milisi dari Lebanon ini dianggap paling mampu dari milisi yang lainnya. Kelompok yang muncul pada tahun 1980-an ini bermarkas di Lebanon Selatan, dan memberikan ancaman militer di perbatasan utara Israel, dimana besar kemungkinan bagi Hizbullah untuk terlibat dalam perang langsung.
Selanjutnya ialah merupakan materi inti dari artikel ini. Yaitu mengenai posibilitas atau kemungkinan yang akan terjadi apabila konflik di tanah Palestina terus berlanjut tanpa adanya resolusi yang jelas baik dari pihak-pihak utama yang berperang, maupun pihak-pihak luar dan ketiga yang juga "memperlancar" keberlanjutan dari konflik saat ini. Â
Konflik Palestina dan Israel merupakan konflik yang tokoh utamanya sudah jelas, yang satu merupakan orang-orang dengan ras dan suku asli di tanah Palestina jauh sebelum mereka dijajah oleh Inggris, dan satu lagi merupakan kaum-kaum yahudi, atau bisa juga disebut zionis, yang dimana atas dasar hasil dari Perjanjian Balfour, mereka dianggap berhak menempati tanah yang Inggris janjikan. Konflik ini terus meluas jangkaunnya sepanjang masa, semakin parah dampaknya dari satu dekade ke dekade yang seterusnya. Ditambah dengan adanya dukungan dari pihak-pihak luar seperti Amerika Serikat beserta negara-negara barat lainnya, tak terkecuali negara-negara yang mendukung Palestina untuk tetap merdeka, seperti Iran, yang mendukung melalui proksi milisinya, Hamas, Lebanon dengan Hizbullah-nya, dan didasari atas konflik perbatasan mereka selama bertahun-tahun sebelumnya, juga negara-negara diuar jazirah Arab lainnya.
Perang merupakan hasil akhir dari diplomasi negara yang gagal. Sejarah upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak PBB maupun negara lain juga hilang artinya seiring waktu. Maka, kemungkinan pertama yang akan terjadi ialah terjadinya perang dalam skala yang lebih besar, dan akan melibatkan lebih banyak pihak. Terlebih lagi, menurut terbaru yang banyak rilis di platform berita resmi maupun media sosial, tanda-tanda terbentuknya kembali dua koalisi besar seperti semasa Perang Dunia dan Perang Dingin, Barat dan Timur. KTT BRICS, ditetapkan sebagai pertemuan internasional terbesar yang diselenggarakan presiden Rusia, Vladimir Putin, sejak dimulainya perang Rusia dengan Ukraina pada bulan Februari 2022, pertemuan BRICS dan negara-negara lain minggu ini menyoroti semakin besarnya konvergensi negara-negara yang berharap untuk melihat pergeseran dalam keseimbangan kekuatan global dan -- dalam kasus beberapa negara, seperti Moskow, Beijing dan Teheran -- secara langsung melawan Barat yang dipimpin Amerika Serikat[v]. Selain membahas masalah perekonomian, BRICS secara tidak langsung menunjukkan pada dunia dan negara-negara Barat bahwa telah muncul koalisi besar sebagai lawan, atau penyeimbang dari koalisi besutan Amerika Serikat. Koalisi penyeimbang ini boleh jadi merupakan titik awal terpicunya Perang Dunia III, dimana dari awalnya sistem internasional dunia yang bersifat multipolar, atau memiliki lebih dari dua poros utama dalam perkembangannya, akan kembali menjadi sistem perkembangan yang bersifat bipolar. Kedepannya akan semakin banyak negara yang akan bergabung kedalam salah satu dari kedua koalisi besar ini. BRICS untuk saat ini memang masih fokus membahas mengenai perkembangan ekonomi bagi anggotanya. Asumsi lainnya adalah setelah cukup membangun koalisi yang besar dan mengambil pengaruh ekonomi dunia bagi anggotanya, BRICS akan menjadi koalisi utama yang akan menentang koalisi Barat, dimana nantinya akan sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perang, sebagai bentuk eskalasi dari konflik Palestina dan Israel yang belum berakhir. Kemungkinan dari adanya perang memang sempit, dikarenakan banyaknya upaya yang bertujuan untuk mencegah dan mengutamakan diplomasi, namun apabila situasi konflik dan keadaan politik dunia memburuk, maka kemungkinan tersebut akan segera melebar dan menjadi sangat berpotensi untuk terealisasikan.