Ranti bingung dari mana memulai kata-kata. Dia tidak mau terus-terusan berbuat dosa dan ingin melakukannya secara halal. Dia berpikir, selain Arlan, tidak akan ada lagi pria yang mau menikahinya kelak.
"Kenapa, Dek?" tanya Arlan. Dia memperhatikan Ranti sejak tadi, hanya diam.
"Bang, ayo nikah kita!" ajak Ranti.
Arlan tertawa. Baginya perkataan Ranti itu konyol.
"Kau kan tahu, aku belum mau nikah. Aku masih punya cita-cita," jawab Arlan.
"Jadi Abang gak mau tanggung jawab?" tanya Ranti.
"Bu ... Bukan gitu, Dek."
"Jadi apa? Bagaimana kalo aku hamil?"
Wajah Arlan jadi pucat. Dia tak pernah berniat menikahi Ranti. Di matanya, Ranti hanyalah gadis bodoh yang tergila-gila dan rela memberikan segalanya, termaksud tubuhnya.
"Minggu lalu kan, Adek masih datang bulan."
"Iya. Abang takut ya aku hamil?"
"Tentu. Abang belum siap nikah, Dek. Kau lihat kan, Abang belum punya kerjaan. Abang khawatir, gak bisa kasih Adek makan."
Nasi sudah menjadi bubur. Ranti sejak awal, sudah menyesal memberikan satu-satunya yang dia miliki pada Arlan, tapi karena takut ditinggal, dia selalu melayani nafsu pria itu walau hatinya berontak. Ranti tak berdaya.
"Ayo, Abang antar pulang. Rapikan bajumu," ujar Arlan.
Sepanjang jalan, Ranti hanya diam. Biasanya dia bercerita banyak hal, jika sudah di samping pria yang sudah tujuh bulan jadi pacarnya. Dia sejak awal, terpesona akan ketampanan Arlan dan ketika pria itu menyatakan cinta, dia langsung menerimanya.
Mereka bertemu tiga kali seminggu. Awalnya, hanya pegang-pegangan tangan, lalu mulai cium pipi. Bentuk kasih sayang, kata Arlan. Ranti pun percaya begitu saja dan semakin mencintai pria pujaannya.
Bosan hanya sekedar cium pipi, Arlan mencoba hal yang lebih jauh. Bisikan-bisikan jahat sudah memenuhi hatinya. Bodohnya Ranti mau saja melayani nafsu Arlan hanya dengan kata-kata cinta. Mereka melakukan hal yang lebih jauh.
Arlan pun ingin merasakan hal yang lebih. Dia sudah bosan dengan apa yang didapatnya selama ini dari Ranti. Suatu malam, di sebuah bangunan kosong, Arlan memberanikan diri melakukan keinginan terbesarnya pada Ranti. Hati dan pikirannya sudah dipenuhi nafsu yang ingin segera tertuntaskan.
"Jangan, Bang," tolak Ranti.
"Kenapa, Dek?"
"Kita udah terlalu jauh."
"Gak apa-apalah. Kita kan saling mencintai. Adek gak cinta ya sama Abang?"
"Bukan gitu. Aku takut."
"Apa yang Adek takutkan? Adek gak percaya ya sama Abang?"
"Nanti aku hamil bagaimana?"
"Ya kita nikahlah."
Ranti jadi berbunga-bunga. Sudah terbayang betapa bahagianya dirinya bisa menikah dengan pemuda yang sangat dicintainya itu. Malam itu, dia hanya pasrah ketika Arlan mengambil semua yang dia miliki.
Setelah semua selesai, Ranti jadi takut ditinggal Arlan.
"Abang gak akan meninggalkan aku kan, setelah mendapatkan semuanya?" tanya Ranti.
"Ya nggaklah, Sayang. Abang makin cinta pun, sama Adek."
Ranti tersenyum bahagia.
Tiap bertemu, mereka pun melakukannya. Ranti takut membuat Arlan kecewa. Sedangkan Arlan, sudah seperti kebutuhan. Pria itu juga semakin ganas. Tetap saja, dia berhati-hati. Tak ingin menikah muda karena Ranti hamil. Dia baru saja tamat SMA, sedangkan Ranti masih duduk di bangku kelas dua belas.
.
Sejak malam di mana Ranti mengajak Arlan menikah, dia terus merenung. Penyesalan selalu datang terlambat. Wanita itu mulai memikirkan cara agar Arlan mau menikahinya.
Berbalik dengan Arlan, dia juga mulai memikirkan cara menghindari ajakan nikah dari Ranti. Sejak awal dia memang tak berniat menikahi wanita itu. Lagi pula dia mulai bosan. Berbagai gaya untuk mengekspos kenikmatan sudah mereka lakukan. Dia jenuh. Ranti tidak menarik lagi di matanya.
.
Tiap kali bertemu, Ranti selalu menanyakan perihal tanggung jawab. Arlan semakin bosan. Dia pun menjauh. Ranti tak terima. Dia sudah terlanjur kehilangan semua. Dia rela berhenti sekolah demi menikah dengan Arlan.
Ranti semakin gencar, mengajak Arlan menikah, hingga Arlan marah. Pertengkaran pun tak terelakkan.
"Aku sudah kehilangan semua demi Abang. Abang mau lari kan dari tanggung jawab?" tanya Ranti.
"Tanggung jawab apa? Kau kan tidak hamil."
"Aku sudah tak perawan."
"Itu salahmu. Kenapa kau tak menjaganya."
Bagai sembilu yang tak kasat mata, menusuk hati Ranti, semakin dalam hingga dia tak bisa berdiri. Kehilangan harga diri dan merasa tak punya muka lagi.
"Abang bilang akan menikahiku makanya aku memberinya."
"Kau saja yang bodoh. Aku tak berniat menikah dengan wanita murahan sepertimu."
Hati Ranti terlalu sakit. Dia tak tahan lagi mendengar hinaan Arlan. Dia meninggalkan pria itu dengan penyesalan yang dalam.
Berhari-hari Ranti tidak keluar rumah. Makan tak enak, tidurnya juga tak nyenyak. Hanya penyesalan yang terus menghantuinya. Sedangkan Arlan, sudah memutus kontak dengan Ranti.
Tak ingin seperti itu terus, Ranti menceritakan semuanya pada tetangganya yang bisa dipercaya. Berharap wanita itu memberi solusi. Ranti tak berani bercerita langsung pada Orangtuanya.
"Itulah kelemahan kita wanita ini, dikasih rayuan dikit saja, sudah percaya," ujar tetangganya itu.
"Bilangnya pula, dia mencintaiku dan mau tanggung jawab," jawab Ranti dengan berurai air mata.
"Satu hal yang seharusnya kau pahami, jika Arlan memang mencintaimu, pria itu tak mungkin merusakmu. Cinta sejatinya menjaga bukan merusak. Sedangkan yang diberikan Arlan hanya janji semu demi nafsunya."
Ranti terus menangis meratapi nasibnya. Gadis tapi tak perawan.
"Terimalah nasibmu. Sekolah kau sampai tercapai cita-citamu. Kelak mungkin ada pria yang mau menerimamu apa adanya."
"Gak mau aku, Kak. Sakit kali hatiku."
"Ya mau gimana lagi. Dia gak mau menikahimu. Gak hamil pula kau kan. Gak ada buktinya."
Ranti tak habis akal. Dia menceritakannya pada keluarga walau dengan perasaan malu. Bukannya dapat solusi, dia malah diusir. Sudah bikin malu keluarga.
Sekali lagi wanita itu menemui Arlan, berharap pria itu iba dan mau menikahinya. Ternyata Ranti hanya mendapat hinaan.
"Aku tak sudi punya istri wanita murahan kayak kau," maki Arlan.
"Bajingan kau. Mau enaknya saja. Kau-nya yang terus merayuku. Kau bilang kau mau menikahiku."
"Aku gak mau nikah muda. Pergi kau dari sini," hardik Arlan.
Tak terima diperlakukan seperti itu, Ranti menangis sambil berteriak, mengundang perhatian para tetangga Arlan. Akhirnya rumah pria itu ramai. Orang-orang menanyakan apa yang terjadi. Ranti pun bercerita, tapi Arlan menyanggah, dia tidak mengaku.
Keluarga Ranti pun datang. Arlan tetap berkata ,tidak pernah melakukannya pada Ranti.
Ranti tidak punya bukti. Dia kalah. Wanita itu hanya menangis sepanjang hari. Jarang makan, dan kurang tidur hingga badannya kurus kering. Keluarga jadi khawatir. Mereka tak lagi marah pada wanita itu. Saat ini, marah bukan lagi solusi. Ranti butuh dukungan agar tidak berbuat nekat. Ibunya terus mendukung dan menuntunnya mendekatkan diri pada Tuhan. Meski sudah terlambat.
Arlan pun pergi merantau menjauhi Ranti, membuat wanita itu makin stres. Dia ingin bunuh diri tapi untung ada yang melihat dan menggagalkannya.
"Dari dulu, kubilang samamu, jangan pacaran kau sama si Arlan. Tak kau dengarkan. Rupanya jumpaan kalian diam-diam," ujar Ibu Ranti.
Benar saja, selama ini, Arlan dan Ranti bertemu diam-diam. Ranti selalu berbohong dengan alasan mengerjakan tugas untuk bertemu dengan Arlan.
"Sekolah kau yang bagus, jadilah orang sukses. Taubat kau. Mudah-mudahan ada yang menerima kekuranganmu," ujar Ibunya meyakinkan, "Tuhan gak tidur. Hukum karma tetap berjalan."
Tiga tahun kemudian, terdengar kabar kakak perempuan Arlan hamil luar nikah dan pria yang menghamilinya sudah punya istri.
Tak sampai di situ. Bertahun-tahun kemudian, Arlan pulang dari perantauan dengan keadaan sakit keras, divonis mengidap HIV dan tinggal menunggu ajal.
End
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H