Vince Miagoni, Imilda Aprianti, Imelda Intan Permata Sari, Mutiara Putri Rizanti, Albert Atanasius Horas Meha, Nur Hasanah, M. Fathurrahman Al-Bahri, Syfa Azahra
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya
Editor: Nur Hasanah
Bullying adalah sebuah tindakan yang berbentuk kekerasan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh satu atau sekelompok orang terhadap orang lain baik secara fisik ataupun emosional, karena pelaku merasa dirinya lebih kuat dari korban yang dianggapnya lemah. Bullying sendiri secara umum itu terbagi menjadi dua bentuk, yaitu verbal yang berupa penghinaan, penyebaran fitnah, atau pemberian kata-kata kasar kepada korban, dan non-verbal yang berupa kekerasan fisik yang dilakukan secara langsung untuk membuat korban tersakiti dan dijauhi lingkungan sosialnya.
Menurut UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund), Indonesia merupakan salah satu negara yang berada pada peringkat tinggi dalam kasus bullying pada anak. Hal ini terjadi karena masih banyaknya masyarakat kita yang menganggap tindakan bullying adalah suatu hal yang sepele atau tidak penting, sehingga ketika terjadi tindakan bullying ini, penanggannya tidak dilakukan secara serius. Lalu mengapa hal ini dapat terjadi? Yaitu berawal dari kurangnya intervensi dini serta minimnya edukasi kepada masyarakat terkait dampak bullying. Akibatnya, kasus bullying terus meningkat dan menjadi bagian dari interaksi sosial sehari-hari, terutama antar teman sebaya. Perlu kita ketahui, bahwa lingkungan sosial yang mendukung normalisasi kekerasan akan semakin memperburuk situasi ini. Ketidakpedulian kita terhadap nilai-nilai empati dan rasa aman akan membuat bullying selalu dianggap sebagai hal yang biasa, padahal dampaknya sangat merugikan korban.
Berbicara terkait bullying pada anak, kami memiliki sedikit pengalaman yang berkaitan dengan topik ini. Melalui kegiatan Community Service yang kami lakukan di Mushola Shirojul Huda, Palembang bersama dengan anak-anak dari SMA Negeri Sumatera Selatan, yaitu Syfa, Fathur dan lain-lain, kami melihat langsung bagaimana kondisi lingkungan anak-anak, ketika mereka bermain, belajar, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam kegiatan ini ada beberapa hal yang kami lakukan, yaitu mulai dari melaksanakan photovoice bersama anak sekitar, pemberian edukasi terkait bullying, cuci tangan yang baik dan benar, kesehatan gigi dan mulut, hingga pendidikan seksual untuk anak, disertai dengan bermain bersama setiap minggunya.
Berdasarkan pengamatan kami ketika melakukan kegiatan tersebut, anak-anak sebenarnya adalah seseorang yang masih sangat lugu dan ceria, antara satu sama lain mereka dapat berinteraksi dengan baik, belajar dan bermain bersama ketika lingkungannya mendukung dan mempunyai suasana yang positif. Tetapi mungkin, perilaku seperti saling ejek, pukul, atau marah-marahan dapat saja muncul dalam prosesnya, apalagi ketika mereka tidak dalam pengawasan orang dewasa. Dan jika kita biarkan, maka tindakan tersebut dapat menjadi bibit bullying. Oleh karena itu, perlu kesadaran bersama untuk lebih banyak memberikan edukasi kepada masyarakat, baik orang tua, anak-anak, dan sebagainya tentang pentingnya mencegah tindakan bullying ini.
Tantangan Normalisasi Bullying di Kalangan Anak-Anak
Normalisasi bullying adalah salah satu penyebab utama tindakan ini selalu terjadi. Banyaknya orang dewasa yang mengabaikan perilaku-perilaku bibit bullying seperti mengejek, memukul, atau mengucilkan sebagai hal yang wajar dan dimaklumi sebagai “perilaku anak-anak”, akan memperkuat budaya kekerasan ini terus terjadi. Anak-anak yang terbiasa melihat dan mendengar hal tersebut dari lingkungan sosial sekitarnya, akan meniru hal tersebut di lain waktu, karena mereka menganggap hal tersebut boleh dilakukan dan tidak diajarkan apa dampak buruk dari perilaku tersebut terhadap orang lain.
Normalisasi ini biasanya terbentuk mulai dari sikap orang tua atau guru yang tidak menganggap serius perilaku negatif anak-anak. Misalnya, ketika anak saling mengejek, respon yang muncul dari mereka hanya berupa candaan seperti “Ah gpp, nanti juga mereka baikan lagi”, padahal hal ini dapat membuat korban merasa diabaikan. Di sisi lain, pelaku akan merasa perilakunya dapat diterima tanpa konsekuensi, sehingga dapat saja dilakukannya berulang kali pada korban lainnya.
Tidak hanya itu, sekolah yang kita tau sebagai tempat pendidikan yang memiliki peran penting dalam mencegah bullying, seringkali juga menormalisasikan hal ini dan tidak melakukan penanganan yang tegas. Banyak kasus hanya direspon dengan teguran ringan, tanpa tindakan lanjutan, dan bahkan ditutup-tutupi hanya untuk menjaga citra baik nama sekolah. Akibatnya pelaku tentu tidak merasa jera dan korban tidak merasa terlindungi. Salah satu contohnya yaitu ada orang tua yang anaknya menjadi korban bullying mengatakan “Pihak sekolah mengatakan sudah memanggil pelaku, tetapi tidak melanjutkan secara tegas”.
Peran Pendamping Anak dalam Mencegah Bullying pada Aktivitas Sehari-Hari
Pendampingan anak, baik oleh orang tua ataupun fasilitator adalah sebuah langkah penting untuk mencegah normalisasi bullying yang sudah mengakar di Indonesia. Hal ini karena ketika anak-anak bermain atau belajar dengan pendamping, mereka akan merasa lebih aman dan terhindar dari perilaku-perilaku yang negatif. Namun, maksud peran pendamping disini tidak hanya sebatas mendampingi anak-anak pada aktivitas bermain dan belajar, mereka juga harus dapat memberikan contoh sikap empati, perilaku baik, dan menghargai orang lain. Dengan melihat, mendengar, dan meniru tindakan positif dari pendamping, mereka akan belajar bagaimana bersikap baik kepada teman-temannya. Hal ini berkaitan dengan pengamatan kami melihat anak-anak di Mushola Shirojul Huda yang merasa lebih nyaman bermain dan belajar bersama ketika ada kami sebagai pendamping mereka. Bahkan salah satu dari mereka mengungkapkan, “Ayuk Amel baik, suka menemani dan membantu aku”. Artinya mereka menganggap pendamping yang hadir tersebut tidak hanya sebagai pengajar mereka, tetapi juga tempat aman yang mereka sukai.
Seorang pendamping memiliki sebuah peran penting dalam mengarahkan perilaku anak. Ketika kita sebagai pendamping melihat anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda perilaku negative, maka harus segera kita lerai dan berikan arahan dan masukan yang baik. Dalam sesi belajar kaligrafi misalnya, kami melihat anak-anak terlihat saling mendukung ketika ada pendamping yang mengarahkan mereka untuk saling kerja sama dan toleransi satu sama lain. Dengan hal-hal seperti itu, maka pendamping dapat mengajarkan anak-anak untuk lebih mengenal dan menghindari tindakan-tindakan yang mengarah pada bullying.
Membangun Lingkungan Bermain yang Aman dan Nyaman bagi Anak-Anak Tanpa Bullying
Lingkungan yang aman adalah sebuah kunci untuk mencegah terjadinya bullying. Di lingkungan sekitar Mushola Shirojul Huda, anak-anak mengatakan mereka sering bermain di sekitar batu besar yang mereka foto dalam sesi photovoice. Salah satu dari mereka berkata, “Batu ini tempat kami bermain bersama-sama”. Tempat bermain ini, ketika ada pendamping yang ikut membersamai atau mengawasi maka akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak untuk berinteraksi tanpa takut akan terjadinya tindakan yang mengganggu mereka.
Hal itu karena, selain menyediakan tempat bermain, kita juga harus memastikan bahwa lingkungan tersebut dapat mendukung perkembangan sosial anak yang positif. Selanjutnya, dalam pengamatan kami, Mushola Shirojul Huda ini itu bukan hanya sebuah tempat ibadah untuk anak-anak sekitar, tetapi juga sebagai ruang belajar dan bermain yang mempererat hubungan sosial mereka. Seorang anak mengungkapkan, “Di sini tempat kami belajar menggambar kaligrafi”. Aktivitas semacam ini dapat memperkuat ikatan emosional dan mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antar mereka. Dengan adanya pendamping yang membimbing dan mengawasi, lingkungan bermain dan belajar juga menjadi lebih kondusif.
Tetapi perlu kita ingat, bahwa menciptakan lingkungan yang aman tidak hanya bisa bergantung pada satu lingkungan atau seseorang pendamping saja. Masyarakat sekitar juga harus mendukung terciptanya lingkungan ini. Orang-orang dewasa harus aktif untuk memberikan contoh perilaku baik dan tidak menormalisasi kekerasan dalam bentuk apapun di lingkungannya. Karena, jika anak-anak merasa dihargai, diterima, dan diajarkan hal baik, mereka akan lebih mudah mengembangkan rasa empati dan menghormati orang lain. Dengan demikian, lingkungan yang aman dan nyaman dapat membantu membentuk generasi yang bebas dari bullying.
Referensi:
Hidayati, N. (2012). Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi. Jurnal Insan, 14(1), 41-48.
Nasir, A. (2018). Konseling Behavioral: Solusi Alternatif Mengatasi Bullying Anak di Sekolah. Journal of Guidance and Counseling, 2(2), 6-82.
Pradana, C. D. E. (2024). Pengertian Tindakan Bullying, Penyebab, Efek, Pencegahan dan Solusi. Jurnal Syntax Admiration, 5(3), 884-898.
Surya, D. F. F., & Ismaniar. (2023). Upaya Mengatasi Maraknya Tindakan Bullying Pada Anak Usia Dini. Jambura Journal of Community Empowerment, 4(1), 61-72.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H