Mohon tunggu...
Idrus Bin Harun
Idrus Bin Harun Mohon Tunggu... lainnya -

Jama'ah Komunitas Kanot Bu.numpang di Bivak Emperom Banda Aceh\r\n\r\n\r\n\r\nhttp://www.idrusbinharun.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hujan Menelantarkanmu di Sudut Kota Paling Amis (Jakarta)

8 April 2011   07:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

untuk Dini H (Di sini hujan, sebutmu suatu ketika. Jangan bicara kenangan saat kotaku tergenang. Saat air merambat pelan-pelan memanjat betis, seperti masalalu yang tak pernah bosan hinggap di kepala) kita tak pernah bersama, meskipun hujan yang turun secara tiba-tiba tak berubah bentuknya. Tetap sebagai kepingan cair yang memukau. Berdirilah, aku tak dapat mengantarmu ke rumah. Aku hanya mampu menuntunmu dengan peta buta dan sajak tua. Itupun jika kau mampu merabanya. Bangkitlah, jika kenangan telah surut dan mengalir leluasa ke waduk ingatan. Kabarkan aku tentang senyummu yang baru. kirimkan aku pesan dalam tanda-tanda, meski sedikit rumit kuusaha baca. Melangkahlah, langit kotamu makin tua birunya, seperti rindu yang acapkali menikamku siang-siang. Lebih mematikan dari bosan menunggu hujan reda. Lebih membunuh dari perpisahan. Berikan tanganmu jika suatu waktu aku datang berkunjung. Menjenguk pusara kenangan kita yang sederhana. Lukiskan kembali memori yang tertimbun rasa salah yang menahun. Adakalanya salahsatu dari kita mesti menjauh sesaat dari hirukpikuk perasaan yang padat, dari persoalan-persoalan kecil yang dewasa ini menjadi rumit seketika. Bekalkan darah segar di jiwa kita yang terkontaminasi isi hati paling purba dari rasa manusia. Namun kita tak butuh filsafat tentang rasa, sebab, kita sudah mampu menerjemahkan tempias hujan kala berdiri di jendela. Menafsirkan bahasa angin di musim bencana. Melukiskan kota-kota sendiri dalam lanskap perasaan paling menawan tatkala hati sedang labil. Pulanglah dengan sesak dan hati rawan, atau boleh juga kau kembalikan puisiku yang semakin hari semakin pucat saja warnanya. Aku berusaha keras membangunkan mimpi di sini, namun, berulangkali roboh sendiri, sebab kita tak cukup kuat berbagi energi. Sementara, antara tangan dan hati kita saling melambai membentuk atmosfer yang memabukkan siapa saja yang tau kita sedang bermain-main dengan aroma luka. Tapi percayalah, hujan yang menelantarkanmu di sudut kota paling amis itu, akan membesarkan hati kita untuk selalu ingat akan kepercayaan-kepercayaan dan kenangan-kenangan lama yang tak pernah lupa untuk kita bangunkan suatu ketika. Jika kau dan aku berada dalam satu ruang terbuka, bersama. 10 november 2010.Banda Aceh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun