Ibu kandung saya penjual batik di pasar pelosok desa. Saya masih sangat kecil dan belum memahami kehidupan hakiki, tidak tahu menahu perbatikan. Yang teringat, saya memiliki banyak baju batik yang didominasi warna coklat. Beberapa kali menengok jualan ibu ke pasar yang sepi, dan lambat laun tutup. Masa itu baru booming pabrik tekstil dan perusahaan pakaian jadi skala besar, harga kain lebih murah dari batik tulis dan cap. Masyarakat pun beralih membeli kain dan pakaian jadi.
Saya yang masih kecil menarik kesimpulan, corak dan warna batik membosankan. Tiap ada acara pernikahan, para tamu menggunakan batik warna coklat. Batik yang saya punya juga hanya dipakai saat diajak pergi ke pernikahan atau silaturahmi. Setelah baju batik kekecilan, saya tidak mau menggunakan batik lagi hingga dewasa.
Keadaan berubah semenjak batik diklaim dan diproduksi negara lain. Masyarakat Indonesia bereaksi dan mulai melirik batik kembali, hingga pada tahun 2009 batik masuk Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia oleh Unesco. Batik pun kembali "hidup" dengan beragam model, motif, dan warna, keluar dari pakem corak batik yang monoton. Batik kemudian tidak hanya dipakai saat pernikahan, upacara, maupun kematian. Namun juga bisa dikenakan tiap hari di semua acara.
Nama Batik Tulis Jahe Selawe diambil dari dua kata, jahe dan selawe. Jahe yang memiliki nama latin Zingiber Officinale Rosc ternyata diambil dari bahasa Sansekerta Singebera yang berarti tanduk, mirip dengan tanduk rusa. Sedangkan selawe berasal dari bahasa Jawa yang artinya dua puluh lima, dan memiliki makna Seneng-senenge lanang lan wedok; sebuah fase kematangan seseorang.
Batik tulis ini dikerjakan manual dengan tangan-tangan manusia tanpa bantuan mesin. Sebagai batik yang lahir di Yogyakarta, Batik Tulis Jahe Selawe tetap mempertahankan pemakaian warna dasar batik Yogyakarta yaitu Sogan Mataram. Sogan diambil dari pohon Soga yang menghasilkan warna coklat dan bermakna penuh rendah diri. Warna kuning kunyit merupakan simbol ketenangan jiwa, dan biru dongker simbol keikhlasan dan rasa setia. Tiga warna inilah yang menjadi warna utama Batik Jahe Selawe.
Canting dan kompor yang digunakan membatik tetap mempertahankan ketradisionalannya; dimana sekarang sudah marak penggunaan canting dan kompor elektrik untuk membatik. Demikian pula dengan proses pewarnaan menggunakan bahan alami. Selain batik tulis, Batik Adiningrat juga memproduksi batik cap. Membuat batik cap juga tidak bisa dibilang mudah, harus teliti jangan sampai salah ngecap dan motif batik tidak tersambung.
Mbak Dewi juga memperlihatkan bagaimana membedakan batik cap dengan batik printing. Perhatikan motif batik, batik cap tidak memiliki presisi tinggi dan sempurna, pasti ada geser, tumpuk, atau miring sedikit cap motif satu dengan cap sebelahnya. Sedangkan batik printing, satu kain batik motifnya presisi sama. Jika dilihat dari proses pembuatan, batik cap menggunakan malam panas seperti pembuatan batik tulis, sedangkan batik printing menggunakan malam dingin, dan pembuatannya seperti sablon.
Jika tidak menggunakan malam, tidak bisa dikatakan batik karena pembuatan batik harus menggunakan malam. Kain yang tidak menggunakan malam hanya disebut kain motif batik.
Kain Batik Adiningrat dihargai mulai Rp. 300.000 menandaskan kualitas, bahan baku, dan tingkat kesulitan pembuatan batik. Semakin bagus dan rumit, harga semakin melambung. Selain Jahe Selawe, Batik Adiningrat juga membuat Batik ABW (Alur Black & White) dan batik Buana Tedja.
Keramahan pelayanan Batik Adiningrat berlanjut dengan tersedianya rest area dan makanan kecil untuk rombongan yang ingin melihat dan berbelanja di showroom, asalkan konfirmasi terlebih dahulu beberapa hari sebelumnya. Untuk pelanggan loyal akan mendapatkan layanan istimewa dengan garansi produk 7 hari dengan syarat pembelian jenama Batik Adiningrat minimal dua juta rupiah.
Batik Adiningrat telah membuka mata saya, motif batik Yogyakarta bisa dikembangkan dengan kreativitas. Tidak hanya motif pakem yang hanya bisa digunakan pada acara khusus, Batik Adiningrat juga dapat digunakan pada berbagai acara. Saya mulai bisa membedakan mana batik tulis, printing, batik cap, maupun kain bermotif batik; namun belum bisa memeskipun sampai detik ini belum bisa membedakan ciri khas suatu batik, setidaknya Ini baru motif, belum lagi dengan kain sutra yang tidak bisa hanya dilihat dengan kasat mata. Sekarang batik tidak lagi bercorak kunobedakan jenis-jenis kain, terutama batik sutera. Semoga pengetahuan batik saya bertambah seiring berjalannya waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H