Mohon tunggu...
Sugiman W
Sugiman W Mohon Tunggu... Buruh - Saya

Menulis "sesuatu" di Jogja. Sudah jarang nulis di sini.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyibak Hamparan Sawah Desa Wisata Malangan

23 Maret 2017   09:32 Diperbarui: 24 Maret 2017   20:00 1588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamat datang di Desa Wisata Malangan.

Pagi itu saya datang ke Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di Jalan Malioboro 56 Yogyakarta dengan terburu-buru. Halaman kantor terlihat sepi dari aktivitas, karena hari Sabtu 11 Maret 2017 kantor Pemda DIY libur, hanya terlihat beberapa petugas Satpol PP di belakang kantor. Setelah tengok kanan-kiri, ternyata beberapa peserta Dolan Wisata Jelajah Malangan sudah datang. Mereka sedang duduk santai di kursi Malioboro, menikmati pagi yang cerah.

Selang 30 menit kemudian bus penjemput tiba mengantarkan peserta ke Desa Wisata Malangan, Sumberagung Moyudan, Sleman DIY di sisi barat kota Jogja. Saya agak heran kenapa bus sebesar itu hanya diisi 15 orang, kelak di lokasi saya baru tahu separuh peserta datang dengan kendaraan pribadi.

Membutuhkan waktu 37 menit untuk sampai ke Malangan. Bila dari Tugu Pal Putih, cukup lurus ke barat arah Godean – Wates. Sekitar 100 meter barat traffic light Moyudan, ada gapura di kiri jalan yang menandakan masuk Desa Wisata Malangan. Dari jalan besar, kami berjalan kaki menuju sekretariat Desa Wisata Malangan. Saya takjub dengan sambutan warga, khususnya Pokdarwis yang berseragam kaos hijau bertuliskan Desa Wisata Malangan dan surjan lurik.

Di halaman sekretariat sudah tersaji jajanan pasar yang menggugah selera, saya tergoda mengambil dua pisang rebus dan wedang secang. Meskipun rasa pisang tidak sesuai ekspektasi, tetap saya habiskan.

Kami mendapatkan udeng, kain segitiga bermotif batik yang biasa digunakan sebagai penutup dan ikat kepala laki-laki. Pak Wiji, koordinator desa wisata Malangan memberi tutorial bagaimana cara memakai udeng. Untuk kaum wanita saya kurang tahu penggunaannya, mungkin bisa diguanakan sebagai bando atau bandana.

Cara memakai udeng.
Cara memakai udeng.
Selang beberapa waktu, peserta Dolan Jelajah Wisata Malangan diajak berkeliling dusun dengan bersepeda. Saya antusias memilih sepeda yang terlihat bagus. Pilihan saya jatuh pada sepeda unta yang terlihat masih terawat baik. Saya kangen naik sepeda unta, karena itu saya ingin menikmatinya di Desa Wisata Malangan.

Tantangan buat saya yang terbiasa naik sepeda modern. Sepeda modern memiliki stang melintang, memudahkan pesepeda menjaga keseimbangan. Sepeda kuno stangnya mengarah ke pesepeda, jika tidak terbiasa menaikinya, sepeda mudah oleng saat dinaiki.

Ketika akan mengayuh menuju destinasi pertama, cucu saya tiba-tiba ingin membonceng, padahal dia sudah bersiap membonceng salah satu pokdarwis. Cucu saya memang belum bisa naik sepeda, dia baru bisa menuntun sepeda. Saya juga heran kenapa kali ini dia ikut serta, biasanya dia malas-malasan jika diajak wisata.

Memberi makan lele dumbo.
Memberi makan lele dumbo.
Saya kaget ketika mengayuh pedal, ternyata sepeda unta yang saya naiki menggunakan sistem free wheel atau lebih dikenal dengan torpedo. Saat sepeda berhenti, pedal yang dikayuh berlawanan arah jarum jam akan kembali ke tempat semula, dan roda tidak berputar berlawanan arah jarum jam (mundur). Ketika sepeda melaju sedangkan pedal tidak dikayuh, laju sepeda tetap sama. Sistem pengeremannya dengan mengayuh berlawanan jarum jam.

Berbeda dengan sepeda fixie yang menggunakan sistem doltrap. Kecepatan sepeda dan pengereman tergantung kayuhan. Bila dikayuh ke belakang (berlawanan arah jarum jam) sepeda berjalan mundur.

Saya kurang nyaman dengan sistem torpedo, apalagi ada cucu yang membonceng. Tapi bila bersepeda sendiri, saya yakin bisa menguasai sepeda unta sistem torpedo ini.

50 meter dari sekretariat kami diperlihatkan perikanan warga yang siap panen. Kami mungkin datang di saat kurang tepat, karena pemilik kolam baru akan memanen ikan lele dumbo esok hari. Selain lele dumbo di kolam semen, di sisinya terdapat kolam tanah (blumbang) berisi ikan mujahir.

Membatik.
Membatik.

Setelah melihat perikanan, kami diajak ke tempat pembuatan batik. Saya ganti naik sepeda kota (city bike) yang memiliki jok boncengan. Cucu saya kreatif, di sela-sela Pak Wiji menjelaskan perikanan Malangan, dia minta pada salah seorang Pokdarwis agar meminjamkan sepedanya. Mereka terharu dengan penuturan orang yang belum bisa naik sepeda, dan merelakannya kami naiki berdua.

Udara Dusun Malangan cukup sejuk meskipun tidak berada di dataran tinggi, tidak banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang. Pepohonan sepanjang jalan cukup rindang untuk sekedar menapis sengatan matahari.

Tujuan kedua adalah rumah seorang perajin batik, kami melihat seorang ibu sedang membatik dengan alat yang masih tradisional, mengingat sekarang sudah banyak pengguna canting listrik. Waktu kami terbatas dan harus melanjutkan perjalanan melihat persawahan dengan sistem mina padi.

Mina padi.
Mina padi.

Perjalanan kali ini agak jauh, sekitar 1 km ke selatan dari rumah perajin batik. Tak terasa hari sudah semakin siang, langit yang sedikit mendung membuat kami tidak merasa panas. Sepeda kota yang saya naiki memiliki 6 tingkat kecepatan roda belakang (6 Rear Derailleur), memudahkan saya ketika menemui jalan tidak beraspal (tanah biasa) dan naik (ke arah utara) ketika kembali ke sekretariat. Dengan memanfaatkan RD tersebut stamina tidak cepat terkuras, apalagi di belakang cucu yang membonceng.

Saya sempat berhenti sejenak di tepi jalan mengabadikan padi yang luas terhampar. Di antara batas sawah dan jalan, terlihat tanaman cabai rawit yang sengaja ditanam warga. Cabai rawit merupakan bahan utama sambal warung pecel lele dan pendamping gorengan, karena tanamannya mudah dipelihara dan harganya cukup murah.

Dusun Malangan terlihat bersih, jarang ditemukan sampah di tepi jalan, batas antara jalan dengan sawah pun tertata rapi dan enak dilihat. Tak terasa saya sudah tertinggal rombongan, sayapun memacu sepeda menyalip beberapa peserta Dolan Wisata, sehingga bisa berhenti lagi untuk memotret alam Malangan.

Tertinggal jauh dari peserta lain.
Tertinggal jauh dari peserta lain.

Di persimpangan jalan tanah dan aspal, salah seorang Pokdarwis yang berjaga di persimpangan mengarahkan kami menyusuri jalan di tengah sawah. Padahal rombongan di depan melewati jalan beraspal, hanya beberapa peserta mengikuti saran Pokdarwis tersebut.

Rute yang kami tempuh lebih jauh, di kiri kanan terlihat hamparan sawah yang mulai menguning. Lagi-lagi kami jadi rombongan terakhir karena menunggu rekan yang kepincut membuat video perjalanan. Saya tidak terlalu kecewa melewatkan penjelasan tentang mina padi. Bagi saya, bersepeda di antara sawah dan mengabadikannya lebih penting.

Mina padi adalah memelihara padi di sawah sambil memelihara ikan. Dengan begitu petani tidak direpotkan oleh hama tikus, pupuk yang mahal, atau ilalang yang tumbuh di sela padi. Cukup perhatikan irigasi agar padi dan ikan tetap hidup dan bisa dipanen. Jika anda tertarik dengan sistem mina padi, silahkan belajar di desa wisata Malangan ini.

Peserta dan Pokdarwis balap sepeda.
Peserta dan Pokdarwis balap sepeda.

Rombongan pertama mulai meninggalkan mina padi, kamipun mengikuti mereka meninggalkan lokasi. Sepertinya rombongan depan suka balap sepeda tanpa menikmati pemandangan sekitar. Itu terserah mereka sih, saya lebih suka menikmati hidup.

Kali ini kami melewati jalan antar desa yang lumayan ramai. Meskipun relatif sepi tapi beberapa kendaraan bermotor memacu dengan cepat. Saya kurang leluasa mengendarai sepeda, takut diserempet motor. Salah seorang kompasianer yang sudah berada di depan tiba-tiba mampir ke rumah penduduk, saya kurang tahu apa yang dia cari. Tapi saya juga ikut berhenti beberapa meter kemudian, tergoda memotret peserta yang bersepeda di belakang.

Dua peserta turut berhenti di samping kami, salah seorang dari mereka berseloroh, “Rakuat aku.”

Percikan api dari tempaan keris.
Percikan api dari tempaan keris.

Wajahnya pucat, sepertinya dia sakit. Beruntung masih ada Pokdarwis yang mengendarai motor menghampiri kami berempat.     Dia pun membonceng motor menuju lokasi ketiga, pembuatan keris pusaka. Kami bertiga lalu mengikuti mereka, ternyata tempatnya hanya 100 meter dari tempat kami berhenti.

Di tempat pembuatan keris, peserta tersebut mengaku kelelahan kehabisan tenaga, dan ingin muntah. Dia merasa salah menggunakan sepeda sehingga tenaganya terkuras sebelum perjalanan berakhir. Saya pikir dia kurang siap jika Dolan Wisata Jelajah Malangan akan menguras tenaga dengan sepeda, dia juga sehari-hari tidak terbiasa naik sepeda, meskipun yang dinaikinya sepeda gunung. Sebenarnya saya juga tidak tahu di Malangan akan menjelajahi dusun dengan sepeda karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya, bersyukur saya tidak ngedrop.

Cukup lama rombongan Dolan Wisata berada di sini, cuaca mulai panas karena sinar matahari mulai menembus awan hingga ke bumi. Saya mengambil sebotol air minum yang telah disediakan agar terhindar dari dehidrasi.

Menggerenda bambu.
Menggerenda bambu.

Saya hanya mengikuti rangkaian pembuatan keris ketika keris ditempa dalam bara api kemudian dipukul agar padat dan pipih, selebihnya saya istirahat di teras rumah untuk memulihkan tenaga. Rombongan Dolan Wisata beruntung dapat melihat pembuatan keris, karena blogger “tim 9” yang datang sebelum kami tidak bisa melihatnya karena memang tidak sedang membuat keris.

Usai shalat Dhuhur di masjid depan rumah empu pembuat keris, rombongan kembali ke sekretariat untuk makan siang. Saya masih kuat mengayuh sepeda, meskipun disalip beberapa peserta yang ngebut karena sudah lapar.

Berakhir sudah penjelajahan saya dengan sepeda di Desa Wisata Malangan, karena setelah makan siang lokasi terakhir Dolan Wisata ditempuh dengan berjalan kaki. Tempat tersebut adalah pabrik kerajinan bambu Tunggak Semi yang sudah berumur 70 tahun.

Hasil kerajinan bambu yang mampir di showroom.
Hasil kerajinan bambu yang mampir di showroom.
Tunggak Semi mempekerjakan puluhan tenaga kerja serta borongan untuk warga Malangan. Warga yang bisa membuat kerajinan di rumah sendiri, dengan desain dari Tunggak Semi. Dalam perjalanan menjelajahi Malangan tadi, kami menyempatkan diri mampir ke rumah warga pembuat kerajinan tersebut, setelah jadi disetor ke Tunggak Semi.

Awan hitam terlihat di langit timur, cuaca makin panas pertanda akan turun hujan. Sebelum berpisah, rombongan berfoto bersama sebagai bukti pernah ke Malangan.

Foto bersama peserta dan panitia.
Foto bersama peserta dan panitia.
Ingin bertualang di Desa Wisata Malangan, silahkan pantau Instagram mereka di https://instagram.com/desawisata_malangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun