Pria itu membawa Umi Maryam untuk duduk di kursi yang telah tersedia. "Abi, apakah--apakah putri kita akan baik-baik saja?"
Abi Hamka tak kuasa melihat kondisi istrinya, oh Allah melihat Umi Maryam yang terus bercucuran air mata membuat Abi Hamka ikut meneteskan air mata. Tidak, ia harus terlihat tegar dan baik-baik saja di depan istrinya. Abi Hamka mengelas kasar jejak air matanya. Di detik yang sama ia membawa Umi Maryam ke dalam dekapannya.
"Hamasah, Umi. In syaa Allah putri kita baik-baik saja. Dia 'kan wanita yang kuat, masa iya seperti itu saja ia tidak bisa melaluinya." Apa pun ia katakan demi bisa menenangkan Umi Maryam.
"Serahkan semuanya kepada Allah ... ya." Lirihnya yang diakhir kalimat sedikit menggantung. Abi Hamka menepuk-nepuk pelan lengan Umi Maryam. Oh Allah, jika bisa ia ingin menggantikan posisi putrinya. Biar ia saja yang merasakan rasa sakit itu, jangan pada Dewi. Melihatnya terbaring tak berdaya dengan selang infus yang melekat pada punggung telapak tangannya membuat hati Abi Hamka tersayat-sayat ribuan silet.
"Umi takut jika--"
Abi Hamka memangkas cepat perkataan istrinya, ia tak ingin kalimat yang baru saja akan diutarakan sampai terujar. la membungkam pelan mulut Umi Maryam, semenit kemudian pria itu menggelengkan kepala. Isyarat bahwa ia tak ingin mendengarkan kalimat tersebut.
"Apakah Umi ragu akan kuasa Allah?" Di detik yang sama Abi Hamka menjatuhkan telapak tangannya. Wanita paruh baya itu membisu, seakan-akan kamus yang ada pada otaknya telah hirap. Bibirnya kelu dan mendadak lidahnya kaku.
"Berdoalah dan memohon pertolongan kepada Allah, apakah Umi lupa jika ketika kamu lelah dan seakan ingin menyerah, ketahuilah Umi ... sesungguhnya pertolongan Allah hanya berjarak antara kening dan sajadah." Telak. Yang baru saja dikatakan suaminya memang ada benarnya. Seharusnya ia tak perlu risau dan khawatir. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, Allah yang memberi sakit pasti Allah pula yang akan memberikan obatnya. Jika ia seperti ini terus itu sama saja dengan dirinya telah meragukan kuasa Allah azza wa jalla.
Tak berselang lama, dari balik pintu ruangan UGD terlihat seorang pria paruh baya dengan jas putih serta beberapa asisten di belakangnya keluar.
"Keluarga pasien dengan nama Dewi?" Suara bariton yang berasal dari dokter itu memecah keheningan.
Wanita paruh baya itu beranjak dari duduknya dan menghampiri dokter tersebut. Mereka hanya terhalang jarak beberapa sentimeter saja. "Iya, Dokter. Saya uminya, bagaimana keadaan putri saya, Dok? Apakah baik-baik saja? Apakah sakitnya serius, Dok?" pertanyaan yang penuh harap dari sang rahim kehidupan berubah dengan hujan pertanyaan. Dokter itu ditodong dengan beribu pertanyaan.