Oleh : NurjanahÂ
A.PENDAHULUAN
Komunikasi politik, media, dan opini publik memiliki hubungan yang erat dalam membentuk dinamika kehidupan politik suatu negara, persepsi masyarakat terhadap isu-isu politik. Komunikasi politik merujuk pada proses penyampaian pesan-pesan politik dari pemerintah, partai politik, atau tokoh politik lainnya kepada publik. Dalam proses ini, media massa berperan sebagai saluran utama yang menyebarkan informasi.
Perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap media secara drastis.
Munculnya media sosial dan platform digital lainnya telah memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjadi produsen konten. Media sosial telah menjadi salah satu sarana komunikasi yang paling popular di dunia. Menurut data dari We Are Social pada tahun 2023, terdapat 4,88 miliar pegguna media sosial di dunia. Penelitian terbaru dari universitas Indonesia menunjukkan bahwa 80% masyarakat perkotaan mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi mereka.(Kompasiana.com)
Di era digital saat ini, media massa memegang peran yang sangat penting dalam membentuk opini publik, terutama dalam ranah komunikasi politik. Informasi mengenai berbagai isu politik, kebijakan pemerintah, atau peristiwa sosial disebarkan melalui berbagai platform media, seperti televisi, radio, surat kabar, dan media sosial. Lewat media, pesan-pesan politik politik disampaikan kepada masyarakat, yang kemudian membentuk opini mereka.
Media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai pesan, tetapi juga memiliki kekuatan untuk memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap isu-isu politik yang berkembang. Oleh karena itu, media bisa dianggap sebagai "sutradara" dalam proses pembentukan opini publik, yang memiliki dampak besar terhadap arah politik dan keputusan masyarakat.
B.PEMBAHASAN
Di era digital ini, media memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk opini publik, khususnya dalam konteks politik. Media massa, baik yang bersifat tradisional seperti televisi, surat kabar, dan radio, maupun media sosial, memainkan peran penting dalam mengarahkan bagaimana masyarakat melihat dan merespons peristiwa-peristiwa politik dalam komunikasi politik. Dalam komunikasi politik, media tidak hanya bertindak sebagai saluran informasi, tetapi juga sebagai "sutradara" yang membentuk narasi dan opini publik
Media massa mempengaruhi persepsi publik terhadap isu-isu yang sedang berkembang, tergantung pada cara media melaporkannya. Dengan cara ini, media dapat membentuk pandangan masyarakat, baik itu positif maupun negatif. Misalnya, liputan media melaporkan kebijakan pemerintah yang menyediakan kartu sembako dengan harga terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Liputan positif semacam ini dapat memberikan harapan bagi masyarakat bahwa pemerintah bekerja untuk kepentingan rakyat. Dalam hal ini, media memiliki kekuatan untuk memilih, menyajikan, dan membingkai informasi yang dapat memengaruhi bagaimana masyarakat memandang.
 Berita dan informasi yang disampaikan oleh media massa sering kali menjadi acuan bagi masyarakat dalam membentuk opini tentang berbagai isu. Sebagai contoh, laporan media mengenai kebijakan pemerintah dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap efektivitas pemerintahan tersebut. Data dari penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 60% populasi cenderung mempercayai informasi yang disajikan oleh media massa, yang menegaskan pentingnya peran media dalam membentuk opini publik.
Media memiliki kemampuan untuk memilih berita yang akan disampaikan kepada publik dan bagaimana berita tersebut disajikan. Proses ini dikenal dengan istilah framing atau pembingkaian berita, di mana media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menentukan fokus, narasi, dan perspektif yang akan diterima oleh audiens. Menurut Robert Entman, Framing adalah proses seleksi dan penonjolan elemen tertentu dalam pesan komunikasi yang dapat membentuk persepsi penerima pesan (Entman, 1993). Misalnya, dalam pemilihan umum, media dapat memfokuskan pemberitaan pada aspek tertentu dari kehidupan seorang calon presiden, seperti pengalaman kerja atau kehidupan pribadi mereka. Fokus pemberitaan ini dapat memengaruhi bagaimana masyarakat melihat calon tersebut dan kebijakan yang mereka tawarkan. Pemilihan cerita yang ditonjolkan oleh media berperan penting dalam membentuk pandangan publik terhadap kandidat politik. Akan tetapi, media massa tidak selalu memberikan infromasi yang objektif. Dalam beberapa kasus, media bisa dimanfaatkan untuk membentuk opini publik sesuai dengan kepentingan tertentu. Framing adalah contoh ketika berita disajikan dari sudut pandang tertentu untuk memengaruhi cara pandang audiens. Terkadang, ada kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan media untuk mempengaruhi persepsi masyarakat demi keuntungan politik atau komersial.
 Selain framing, media juga memainkan peran dalam agenda setting, yang mengacu pada kemampuan media untuk menentukan isu-isu mana yang perlu dibahas oleh publik. Media dapat memilih untuk mengutamakan isu-isu tertentu yang dianggap penting, yang kemudian memberikan tekanan kepada politisi untuk merespons isu tersebut. Agenda setting ini sangat penting dalam konteks pemilu karena isu-isu yang dipilih oleh media dapat memengaruhi fokus kampanye dan cara kandidat menghadapi masalah yang ada di masyarakat. Media massa, terutama media yang besar, memiliki kekuatan untuk mengarahkan fokus debat politik, yang pada akhirnya dapat membentuk opini publik terhadap isu yang dibahas.
Sebagai sutradara opini publik, media memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan memandu pandangan masyarakat tentang peristiwa politik tertentu. Dalam konteks ini, media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengatur narasi yang dibangun dalam ruang publik. Media memilih cerita dan topik yang akan disorot, serta bagaimana cara mereka mengatur informasi tersebut untuk disajikan kepada audiens. Keputusan ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap opini publik. Di Indonesia, contoh nyata dari peran media sebagai sutradara opini public terlihat jelas dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Dalam pilpres ini, terdapat 3 calon presiden yang bersaing, yaitu Ganjar Pranowo dari PDI-P, Prabowo Subianto dari Gerindra dan Anies Baswedan dari Nasdem. Media memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk citra ketiga calon ini di mata publik. Berbagai media massa, baik yang nasional maupun lokal, memberi informasi yang lebih menyoroti kelebihan-kelebihan masing-masing calon, sementara kadang mengabaikan atau hanya memberikan sedikit perhatian pada kelemahan yang mereka punya.
 Namun, tidak semua media bersikap netral atau seimbang dalam pemberitaannya. Beberapa media yang mendukung satu calon sering kali lebih menyoroti aspek positif dari calon tersebut, sementara memberikan sorotan yang lebih kritis atau negative terhadap calon lawan. Hal ini mengarah pada fenomena polarisasi politik, di mana masyarakat terpecah menjadi dua kelompok besar dengan pandangan yang sangat berbeda, yang dipengaruhi oleh media yang mereka konsumsi.
Pengaruh Media Dalam Pilpres 2024
Di Indonesia, media tradisional seperti televise, radio, dan surat kabar telah lama menjadi sumber utama informasi politik. Namun, selama beberpa tahun terakhir, media sosial muncul sebagai kekuatan baru dalam komunikasi politik. Terutama dalam fase kampanye. Platform-platform seperti Twitter, Instagram, TikTok, dan Facebook memungkinkan para calon pemimpin untuk berinteraksi langsung dengan pemilih, tanpa adanya perantara dari media tradisional. Dalam konteks Pilpres 2024, calon presiden memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan visi dan misi mereka, serta berinteraksi dengan pemilih, khususnya kalangan generasi muda.
Media sosial tidak hanya menyediakan ruang untuk komunikasi politik yang lebih interaktif, tetapi juga memungkinkan pemilih memberikan respons secara langsung terhadap pesan-pesan politik. Meski menawarkan kecepatan dan akses yang lebih luas, hal ini juga membawa tantangan tersendiri, terutama terkait dengan kualitas informasi yang beredar. Dalam praktiknya, media sosial sering kali digunakan untuk menyebarkan informasi yang kurang akurat, atau bahkan berita hoaks. Misalnya, selama Pilpres 2024, berita palsu tentang calon presiden tertentu sering kali viral di media sosial, yang dapat memengaruhi keputusan pemilih serta menimbulkan polarisasi politik yang tajam. Ini menunjukkan bahwa meskipun media berfungsi sebagai alat komunikasi yang cepat, ada bahaya tersembunyi di balik potensi penyebaran informasi yang keliru atau bias.
Pengaruh media dalam membentuk opini publik juga tak terlepas dari cara mereka membingkai berita atau isu tertentu. Framing adalah proses di mana media memilih untuk menonjolkan aspek-aspek tertentu dari sebuah peristiwa dan mengabaikan yang lainnya, sehingga membentuk pandangan publik mengenai isu tersebut. Dalam konteks Pilpres 2024, misalnya, media bisa saja lebih menyoroti keberhasilan ekonomi seorang calon presiden, sambil mengabaikan kelemahan atau kontroversi yang ada. Sebaliknya, media yang mendukung calon lawan mungkin lebih menekankan kesalahan atau kekurangan yang dimiliki calon tersebut dengan sudut pandang yang kritis.
Metode framing yang diterapkan media sangat memengaruhi bagaimana pemilih menilai calon presiden. Jika media sering kali menonjolkan sisi positif dari seorang calon, pemilih cenderung melihatnya sebagai sosok yang lebih kompeten dan layak untuk memimpin. Sebaliknya, jika media secara konsisten memfokuskan pemberitaan pada kelemahan calon lain, hal ini dapat merusak citra calon tersebut di mata publik. Pada Pilpres 2024, kita dapat menyaksikan bagaimana media berperan dalam membentuk persepsi tentang para calon melalui pemberitaan yang fokus pada aspek-aspek tertentu, baik pencapaian maupun kontroversi yang melibatkan mereka.
Meskipun media memiliki peranan yang signifikan dalam membentuk opini publik, pemilih tak sepenuhnya dipengaruhi oleh informasi yang disampaikan melalui saluran tersebut. Berbagai faktor lain, seperti identitas sosial, latar belakang ekonomi, dan pengalaman pribadi, juga turut memengaruhi keputusan politik individu. Contohnya, pemilih yang berasal dari kelompok sosial tertentu atau memiliki latar belakang ekonomi serupa dengan calon tertentu cenderung lebih mudah terhubung dengan visi dan misi calon tersebut, meskipun media mungkin fokus pada aspek lain.
Di sisi lain, media juga memiliki kemampuan untuk menciptakan dialog politik yang lebih terbuka dan sehat. Dengan menyediakan platform bagi beragam perspektif politik, media dapat memperkaya pemahaman publik mengenai isu-isu yang ada. Dalam konteks Pilpres 2024, kita menyaksikan bagaimana debat publik dan diskusi politik di media sosial memberikan ruang bagi pemilih untuk menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam proses demokrasi. Kampanye positif yang dijalankan melalui media sosial dapat mendorong pemilih untuk lebih aktif dan kritis dalam menilai calon-calon yang ada.
media berfungsi sebagai pengarah opini publik dalam konteks komunikasi politik. Mereka memiliki kekuatan untuk membentuk cara penyampaian dan penerimaan informasi politik oleh masyarakat. Dalam Pilpres 2024, peran media tidak hanya sebatas menyampaikan berita, tetapi juga membingkai dan memengaruhi persepsi pemilih. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center mengungkapkan bahwa 63% orang dewasa di Indonesia mengandalkan media sosial sebagai sumber berita politik (Pew Research, 2023). Temuan ini menunjukkan betapa pentingnya peran media sosial dalam membentuk opini publik. Di tengah kemajuan teknologi, influencer politik, narasi kampanye, dan berita viral mampu menyebar dengan cepat dan berpotensi memengaruhi pandangan masyarakat. Oleh karena itu, media sosial menjadi bagian integral dari ekosistem media, memainkan peran penting dalam mendistribusikan informasi yang dapat memengaruhi opini publik dengan luas dan cepat. serta penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam mencerna informasi dari media dan menyadari adanya potensi bias dalam pemberitaan. Dengan demikian, publik dapat membuat keputusan politik yang lebih cerdas dan demokratis.
C.KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa media memiliki peranan yang krusial dalam membentuk opini publik, terutama dalam konteks komunikasi politik. Sebagai "sutradara" opini publik, media memiliki kekuatan untuk mengarahkan perhatian masyarakat pada isu-isu tertentu, serta menentukan cara penyampaian dan penerimaan informasi oleh publik. Dalam dunia politik, media tidak hanya berfungsi sebagai saluran informasi, tetapi juga sebagai agen pembentuk persepsi yang dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap calon pemimpin, kebijakan, atau peristiwa politik lainnya.
Namun, pengaruh media terhadap opini publik tidak selalu bersifat positif. Terkadang, media dapat dimanipulasi oleh kepentingan politik atau ekonomi yang berupaya membentuk narasi yang menguntungkan pihak tertentu. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki keterampilan literasi media yang baik, sehingga mereka dapat membedakan antara informasi yang objektif dan yang terdistorsi. Sikap kritis terhadap sumber informasi dan kemampuan untuk mengenali bias dalam pemberitaan adalah langkah penting untuk memastikan bahwa opini publik yang terbentuk bersumber dari fakta, bukan dari manipulasi.
Secara keseluruhan, komunikasi politik yang berlangsung melalui media harus dipahami sebagai proses yang kompleks dan saling bergantung antara media, politisi, dan masyarakat. Keberhasilan komunikasi politik sangat bergantung pada kemampuan media dalam menyajikan informasi yang seimbang dan adil, serta bagaimana masyarakat memanfaatkan informasi tersebut untuk membuat keputusan cerdas dalam keterlibatan politik. Dengan demikian, media berperan sebagai elemen vital dalam menjaga demokrasi dan memastikan bahwa opini publik tercermin dengan akurat serta terhindar dari pengaruh yang merugikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H