“cowok tidak boleh nangis, cowok itu harus kuat!"
Sudah tidak asing lagi kita mendengar perkataan tersebut. Munculnya perkataan-perkataan tersebut merupakan dampak dari rapuhnya maskulinitas seseoarang pria atau istilah yang kita sering dengar yaitu fragile masculinity. Sebenarnya apa sih fragile masculinity itu?
Fragile masculinity berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yaitu “fragile” dan “masculinity”. “Fragile” memiliki rapuh atau mudah rusak dan “masculinity” memiliki arti sejumlah atribut, perilaku, dan peran yang terkait dengan anak laki-laki dan pria dewasa. Fragile masculinity sendiri merupakan istilah yang muncul dikarenakan lingkungan masyarakat yang patriarkis dan tidak memenuhi norma-norma maskulinitas tradisional.
Laki-laki sejak kecil sudah ditanamkan dalam diri mereka bahwa mereka itu harus kuat, tangguh, dominan, tidak boleh menunjukkan emosi, dan stereotip maskulin pada umumnya. Jika mereka tidak memenuhi standar dari maskulinitas tersebut, mereka akan merasa bahwa kejantanan dan identitas mereka sebagai seorang laki-laki terancam.
Dilansir dari Psychology Today, Weiss (2024) mengatakan bahwa untuk mencoba menjadi bagian dari “kenormalan” tersebut dan memenuhi tuntutan masyarakat, laki-laki akan berusha untuk melindungi diri mereka sendiri dengan menjadi sangat waspada terhadap apa pun yang dapat membuat mereka terlihat feminin dan melakukan semua yang mereka bisa untuk tampil lebih jantan, mulai dari apa yang mereka kenakan, cara mereka memegang tubuh, cara mereka berbicara, dan cara mereka makan. Sampai terkadang dididik untuk menekan kualitas seperti kasih sayang, empati, pengasuhan, kelembutan, kerentanan, dan keintiman karena secara stereotip dianggap sebagai karakteristik feminin.
Hal tersebut sangat berbahaya bagi laki-laki, salah satunya adalah terhadap kesehatan mental. Mereka akan cenderung merasa cemas dan depresi yang dapat berujung pada risiko bunuh diri. Selain itu, dengan tidak maunya mereka untuk mengekspresikan kelemahan, seperti menangis maupun meminta tolong, akan berpengaruh pada kesehatan fisik mereka.
Tidak hanya itu, kecemasan dan insecurity yang ada dalam diri laki-laki juga mengakibatkan mereka menjadi defensif bahkan agresif terhadap orang sekitar. Mereka akan menyerang laki-laki lain yang tidak memenuhi norma yang berlaku agar mereka terlihat “normal” dan mendapat pengakuan dari masyarakat.
Fragile masculinity juga berdampak pada perempuan dikarenakan laki-laki memiliki prasangka buruk terhadap perempuan yang menjadikan mereka seorang seksis dan misoginis. Mereka akan merasa lebih superior dan menganggap perempuan sebagai ancaman bagi status mereka. Tidak hanya sekedar ujaran kebencian, mereka bahkan dapat melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik fisik maupun emosional.
Secara keseluruhan, maskulinitas rapuh atau fragile masculinity memiliki dampuk buruk yang cukup banyak, tidak hanya bagi pria itu sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, perlunya perubahan terhadap norma-norma kaku yang membuat laki-laki merasa cemas dan tidak aman menjadi ruang yang lebih inklusif agar mereka dapat mengekspresikan diri mereka secara sehat dan tanpa takut dihakimi untuk membawa dampak positif bagi diri mereka sendiri dan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H