Mohon tunggu...
Dio Nanda Pratama Hidayat
Dio Nanda Pratama Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/ Politeknik Keuangan Negara STAN

DIV Manajemen Keuangan Negara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Pahlawan" atau "Pemadam Kebakaran"? Analisis Respon Pemerintah Dalam Menyelamatkan Masyarakat Dari Kebijakan PPN 12%

3 Februari 2025   15:45 Diperbarui: 3 Februari 2025   20:26 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pendahuluan

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% merupakan kebijakan yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Perubahan ini dilakukan secara bertahap, dimulai dengan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022. Saat itu, meskipun ada reaksi dari berbagai pihak, termasuk pelaku usaha yang merasa terbebani, respons publik masih relatif dapat dikendalikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pemahaman masyarakat terhadap kondisi keuangan negara yang terdampak pandemi serta masih banyaknya kebijakan bantuan sosial dan subsidi yang diberikan pemerintah. Namun, situasi berubah drastis ketika rencana kenaikan PPN menjadi 12% yang akan berlaku per 1 Januari 2025 semakin mendekati realisasi.

Gelombang penolakan terhadap kebijakan ini merebak di berbagai media massa dan media sosial, dengan banyak masyarakat yang mengungkapkan kekhawatiran bahwa kenaikan tarif ini akan semakin memperberat kondisi ekonomi mereka. Berbagai penelitian pun mengindikasikan bahwa kebijakan ini berpotensi membawa dampak negatif terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Menurut penulis, fenomena ini tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi semata, tetapi juga berkaitan dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Isu-isu politik, mulai dari dinamika pemilu hingga viralnya pernyataan "PERINGATAN DARURAT," semakin memperkuat efek bola salju (snowball effect) yang berkontribusi terhadap trust issue masyarakat terhadap pemerintahan yang baru. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam merespons kritik serta menyesuaikan kebijakan sebagai bentuk kompromi terhadap tuntutan publik.

Dinamika Kebijakan PPN 12% dan Respons Publik

Dalam struktur penerimaan negara, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memegang peranan yang sangat signifikan. Selama tiga tahun terakhir (2022--2024), kontribusi PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap total penerimaan dalam negeri mencapai rata-rata 27,76%, menjadikannya sumber pendapatan terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh) yang menyumbang rata-rata 39,38%. Secara teori, pajak memiliki empat fungsi utama, yaitu fungsi anggaran (budgetair), pengaturan (regulerend), stabilisasi, dan distribusi pendapatan. Dalam konteks PPN, fungsinya lebih ditekankan pada tiga aspek utama: pertama, sebagai sumber pendanaan utama untuk membiayai program pemerintah; kedua, sebagai instrumen regulasi yang mengatur perilaku bisnis dan konsumsi masyarakat; dan ketiga, sebagai alat untuk menstabilkan serta mengendalikan kondisi perekonomian. Oleh karena itu, PPN merupakan instrumen fiskal yang vital bagi negara. Namun, karena sifatnya yang dikenakan langsung pada konsumsi masyarakat, perubahan tarif PPN harus dilakukan dengan cermat agar tidak menciptakan dampak berantai (multiplier effect) yang dapat merugikan daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pemerintah menghadapi dilema dalam menentukan sumber pembiayaan negara, yang pada dasarnya berasal dari dua opsi utama: pendapatan dari pajak atau pembiayaan melalui utang. Setiap pilihan memiliki konsekuensi tersendiri. Jika pemerintah memilih untuk meningkatkan pajak, beban akan meningkat bagi masyarakat dan pelaku usaha, yang berpotensi menekan konsumsi dan investasi. Namun, jika pemerintah lebih mengandalkan utang, maka beban bunga dan kewajiban pembayaran kembali akan membengkak, yang pada akhirnya juga membebani keuangan negara dalam jangka panjang. Dalam kasus kebijakan PPN 12%, pemerintah harus menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal dan kondisi ekonomi nasional. Menentukan tarif PPN yang optimal menjadi tantangan tersendiri---jika tarif terlalu tinggi, masyarakat dan pelaku usaha cenderung menghindari pembayaran pajak atau mengurangi konsumsi, sedangkan jika tarif terlalu rendah, pemerintah tidak akan memiliki cukup dana untuk membiayai program pembangunan dan kesejahteraan sosial dengan maksimal. Oleh karena itu, kebijakan fiskal harus dirancang secara hati-hati agar tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara, tetapi juga memperhitungkan dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% telah memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, terutama pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat luas. Salah satu kekhawatiran utama adalah dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik di Indonesia. Kenaikan tarif ini dipandang akan menambah beban ekonomi kelompok rentan, memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan, serta semakin menggerus kesejahteraan rakyat. Selain itu, lonjakan harga barang dan jasa akibat kenaikan PPN juga dikhawatirkan akan meningkatkan ongkos produksi bagi pelaku usaha, terutama sektor yang bergantung pada bahan baku impor atau memiliki rantai produksi panjang. Efek domino ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi karena daya beli yang melemah dapat mengurangi konsumsi, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari perspektif ekonomi mikro, kenaikan tarif PPN berimplikasi langsung terhadap peningkatan harga barang dan jasa. Berdasarkan hukum permintaan, kenaikan harga barang akan menurunkan permintaan konsumen, yang pada akhirnya dapat menghambat aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Selain itu, biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan PPN juga dapat memicu inflasi yang sulit dikendalikan, terutama jika produsen harus menaikkan harga untuk menutupi beban pajak yang lebih besar. Para pelaku usaha khawatir bahwa inflasi yang tinggi dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan menekan profitabilitas bisnis mereka. Sementara itu, bagi konsumen, kenaikan harga barang akan berdampak pada penurunan daya beli yang signifikan, memperburuk kondisi kelompok ekonomi menengah ke bawah yang selama ini sudah berjuang menghadapi tekanan ekonomi. Jika inflasi tidak dikelola dengan baik, maka bukan hanya konsumsi yang menurun, tetapi juga kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang akan semakin tergerus.

Adaptasi Kebijakan: Apakah Efektif atau Sekadar Kompromi?


Menanggapi kritik dan reaksi keras dari masyarakat serta dunia usaha, pemerintah akhirnya mengambil langkah penyesuaian terhadap kebijakan PPN 12%. Pada malam 31 Desember 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui unggahan Instagram mengumumkan bahwa "PPN TIDAK NAIK", yang kemudian diperjelas oleh Direktorat Jenderal Pajak RI dalam unggahan selanjutnya mengenai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Esensi dari peraturan ini adalah bahwa meskipun tarif PPN tetap naik menjadi 12%, dasar pengenaan pajak (DPP) disesuaikan menjadi 11/12 dari harga jual, sehingga nilai PPN terutang tetap sama seperti sebelumnya. Dengan mekanisme ini, barang dan jasa non-mewah tetap dikenakan PPN secara efektif seperti pada tarif 11%, sementara tarif PPN 12% yang sesungguhnya hanya berlaku untuk barang mewah yang baru akan diberlakukan mulai 1 Februari 2025. Keputusan ini menunjukkan adanya respons cepat pemerintah dalam meredam polemik, sekaligus mempertahankan stabilitas ekonomi dengan cara yang tidak terlalu membebani masyarakat luas.

Dari segi dampak, penyesuaian ini berhasil menghindari lonjakan harga barang dan jasa secara umum, sehingga daya beli masyarakat tidak terdampak secara langsung. Berdasarkan pengamatan awal di pasar, harga-harga tidak mengalami kenaikan signifikan, dan kondisi nilai tukar serta pasar uang masih stabil. Namun, efek nyata dari kebijakan ini baru akan terlihat dalam beberapa bulan ke depan, terutama dalam sektor barang mewah yang akan dikenakan tarif penuh sebesar 12%. Jika melihat dari sudut pandang masyarakat umum, kebijakan ini lebih tepat disebut sebagai langkah mempertahankan status quo daripada upaya nyata dalam meringankan beban ekonomi. Nilai PPN terutang untuk mayoritas barang dan jasa tetap sama seperti sebelumnya, sehingga tidak memberikan perubahan substansial dalam pengeluaran masyarakat. Meskipun pemerintah terkesan "menyelamatkan" masyarakat dari kenaikan pajak, pada kenyataannya kebijakan ini lebih kepada penyesuaian teknis yang menjaga keseimbangan penerimaan negara tanpa menimbulkan gejolak ekonomi yang lebih luas.

Kebijakan pengecualian barang mewah dari penyesuaian dasar pengenaan pajak (DPP) menjadi salah satu elemen penting dalam skema PPN 12%. Langkah ini sejalan dengan prinsip keadilan pajak yang mengedepankan asas proporsionalitas, di mana kelompok ekonomi atas dikenakan beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat umum. Dengan tetap menerapkan tarif PPN 12% secara penuh pada barang mewah, pemerintah berupaya menunjukkan keberpihakan pada masyarakat luas sekaligus menjawab kritik bahwa sistem perpajakan sering kali membebani semua kalangan secara merata. Kebijakan ini juga dapat dipandang sebagai strategi pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak tanpa menimbulkan efek negatif yang besar terhadap daya beli masyarakat menengah ke bawah. Namun, di sisi lain, kebijakan ini memunculkan pertanyaan: apakah langkah ini murni demi keadilan pajak, atau ada dimensi lain seperti menjaga eksklusivitas segmen barang mewah agar tetap menjadi simbol status yang lebih mahal dan eksklusif?

Selain penyesuaian tarif PPN, pemerintah juga mengumumkan subsidi energi listrik selama dua bulan pertama di tahun 2025 sebagai bentuk stimulus ekonomi. Secara teori ekonomi mikro, subsidi memiliki efek yang berlawanan dengan pajak, di mana pajak meningkatkan harga barang dan mengurangi daya beli, sementara subsidi menurunkan harga dan meningkatkan konsumsi. Dengan demikian, pemberian subsidi listrik dapat dipandang sebagai upaya kompensasi terhadap dampak kenaikan PPN, terutama bagi kelompok masyarakat yang paling terdampak. Menariknya, pendekatan ini berbeda dari kebijakan sebelumnya saat tarif PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022, di mana pemerintah lebih dulu memperbanyak belanja subsidi dan bantuan sosial sebelum menaikkan pajak. Kali ini, strategi yang diterapkan justru sebaliknya: kenaikan PPN diumumkan lebih dulu, kemudian subsidi diberikan sebagai respons terhadap potensi reaksi negatif masyarakat. Langkah ini dinilai cukup efektif dalam meredam gejolak publik, karena masyarakat diberikan stimulus langsung berupa diskon listrik sebesar 50% dengan kuota tertentu, yang secara psikologis dapat mengurangi rasa keberatan terhadap kebijakan pajak yang baru.

Namun, dari perspektif fiskal, kebijakan ini bukan tanpa risiko. Pemberian subsidi yang terus meningkat dapat membebani anggaran negara dalam jangka panjang dan memperlebar defisit fiskal. Jika belanja subsidi tidak diimbangi dengan penerimaan yang cukup, pemerintah akan menghadapi dilema besar dalam mencari sumber pembiayaan tambahan. Ada dua kemungkinan langkah yang dapat diambil: pertama, pemerintah bisa meningkatkan utang luar negeri untuk menutupi defisit, yang akan menambah beban pembayaran bunga di masa mendatang. Kedua, pemerintah dapat secara bertahap menghapus penyesuaian DPP dan mulai menerapkan tarif PPN 12% secara penuh untuk semua barang dan jasa setelah protes publik mereda. Jika skenario kedua terjadi, maka kebijakan saat ini bisa dianggap sebagai strategi sementara untuk mengurangi resistensi masyarakat sebelum akhirnya diberlakukan secara penuh. Oleh karena itu, efektivitas kebijakan ini tidak hanya bergantung pada bagaimana masyarakat menerimanya saat ini, tetapi juga pada bagaimana pemerintah mengelola dampak fiskalnya dalam beberapa tahun ke depan.

Refleksi: Respons Pemerintah, Good Governance, dan Partisipasi Publik

Kebijakan pajak yang diterapkan pemerintah, khususnya terkait kenaikan tarif PPN menjadi 12%, menyoroti pentingnya asas transparansi dan partisipasi dalam perumusan kebijakan fiskal. Dalam kasus ini, pemerintah telah menunjukkan upaya untuk lebih terbuka dengan menyosialisasikan kebijakan melalui berbagai platform, termasuk media sosial seperti Instagram, serta media massa lainnya. Selain itu, penyesuaian mekanisme perhitungan dasar pengenaan pajak (DPP) yang memungkinkan nilai PPN terutang tetap sama juga menunjukkan bahwa pemerintah mendengarkan dan merespons aspirasi masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan ini adalah hasil dari partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Namun, masih terdapat tantangan dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pajak, terutama bagi kelompok yang merasa bahwa pemerintah belum cukup transparan atau hanya bereaksi setelah munculnya kritik besar. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus memperkuat komunikasi publik agar masyarakat tidak hanya sekadar menerima kebijakan, tetapi juga memahami latar belakang dan manfaatnya secara menyeluruh.

Jika dibandingkan dengan negara lain, strategi kebijakan silang antara pajak dan subsidi yang diterapkan Indonesia sudah memiliki dasar yang cukup kuat dalam teori ekonomi. Banyak negara menerapkan skema serupa untuk menyeimbangkan dampak kebijakan fiskal, di mana kenaikan pajak sering kali diimbangi dengan subsidi atau insentif tertentu agar tidak menghambat daya beli masyarakat. Namun, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola implementasinya. Misalnya, di beberapa negara dengan sistem perpajakan yang lebih maju, keputusan terkait pajak melibatkan konsultasi publik yang lebih luas sebelum kebijakan diterapkan, sehingga tingkat penerimaan masyarakat lebih tinggi. Ke depan, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif dalam mendesain kebijakan pajak, dengan meningkatkan keterlibatan publik sejak tahap awal perencanaan, bukan hanya merespons setelah munculnya reaksi negatif.

Dampak jangka panjang dari kebijakan ini juga patut menjadi perhatian, terutama terkait kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan pajak. Pemerintah perlu belajar dari dinamika yang terjadi agar ke depan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan fiskal, baik dalam aspek penentuan tarif, mekanisme pemungutan, maupun cara sosialisasinya agar lebih efektif dan tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga bisa menjadi preseden baru dalam cara pemerintah menangani perubahan pajak di masa mendatang. Jika dalam enam hingga dua belas bulan ke depan kebijakan ini terbukti tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan, maka sebaiknya tidak ada lagi revisi atau kenaikan tarif lebih lanjut yang dapat menambah ketidakpastian ekonomi. Namun, jika dampaknya justru memperburuk kondisi ekonomi atau menimbulkan kesenjangan sosial yang lebih besar, pemerintah perlu mempertimbangkan opsi revisi kebijakan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis data yang akurat. Oleh karena itu, evaluasi berkelanjutan dan keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan harus tetap menjadi prioritas agar kebijakan fiskal yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan dan kondisi ekonomi nasional.

Penutup

Evaluasi terhadap respons pemerintah dalam kebijakan kenaikan tarif PPN 12% ini masih memerlukan waktu untuk mendapatkan hasil yang pasti. Dampak dari perubahan ini baru akan terasa dalam beberapa bulan mendatang, dan kondisi ekonomi serta daya beli masyarakat akan menjadi indikator utama efektivitas kebijakan tersebut. Oleh karena itu, kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut sambil terus menjalankan kewajiban masyarakat dengan baik. Jika kebijakan ini terbukti efektif dalam menjaga kestabilan ekonomi tanpa membebani masyarakat secara berlebihan, maka langkah selanjutnya adalah mendorong pemerintah untuk mempertahankan kebijakan tersebut, atau bahkan menghindari kenaikan lebih lanjut. Untuk itu, masyarakat, akademisi, dan peneliti memiliki peran penting dalam memberikan bukti-bukti konkrit yang dapat meyakinkan pemerintah bahwa kebijakan ini sudah berada di jalur yang benar.

Namun, terlepas dari dampak jangka pendek kebijakan ini, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam perumusan kebijakan fiskal di masa depan. Pemerintah harus lebih terbuka dalam melibatkan publik dalam proses pengambilan keputusan pajak, dengan memanfaatkan berbagai platform untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang dampak kebijakan tersebut. Selain itu, langkah-langkah selanjutnya untuk menyeimbangkan penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat harus mempertimbangkan keberlanjutan fiskal dan daya beli masyarakat. Sebuah pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis data akan membantu menciptakan kebijakan yang tidak hanya mendukung kesejahteraan rakyat tetapi juga menjaga kestabilan ekonomi negara secara keseluruhan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun