Mohon tunggu...
Dio Nanda Pratama Hidayat
Dio Nanda Pratama Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/ Politeknik Keuangan Negara STAN

DIV Manajemen Keuangan Negara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fixed Rate vs Floating Rate sebagai Dasar Perhitungan Sanksi Administrasi Perpajakan, Manakah yang Lebih Baik?

12 Januari 2024   16:36 Diperbarui: 12 Januari 2024   16:41 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Halo, calon ekonom muda!

Perkenalkan nama saya Dio Nanda Pratama Hidayat, saya adalah seorang mahasiswa Program Studi D4 Manajemen Keuangan Negara di PKN STAN. Pada artikel pertama saya ini, saya akan membawakan sebuah topik dari salah satu mata kuliah yang sedang saya ampu yaitu Perpajakan Dasar.

Sebelum kita mulai membahas topik di judul lebih lanjut, kalian harus tahu dulu nih apa maksud dari istilah "fixed rate" dan "floating rate", emang apa perbedaannya?

Awalnya, berdasarkan ketentuan dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, penghitungan sanksi administratif dalam klaster perpajakan menggunakan tarif bunga tetap sebesar 2%. Artinya, apabila kita melanggar salah satu ketentuan dalam pasal-pasal tertentu dalam lingkup dunia perpajakan, sanksi yang akan dikenakan terus meningkat sebesar tingkat bunga seiring dengan lama berjalannya waktu pelanggaran ditetapkan.

Namun, sejak ditetapkannya UU Cipta Kerja pada tahun 2020 silam, sistem tersebut diubah menjadi "floating rate" yaitu mengacu pada tingkat suku bunga Bank Indonesia. Dengan ditetapkannya sistem ini, tarif pengenaan sanksi akan terus berubah setiap bulannya. Bukan hanya itu saja, akan ada "uplift factor" yang akan membedakan tingkat tiap sanksi. Pada akhirnya, meskipun dasar pengenaan tiap sanksi akan tetap sama-sama didasarkan pada suku bunga acuan, akan ada perbedaan tarif antara tingkat pelanggaran yang ringan, sedang hingga berat. Jadi, semakin berat pelanggaran yang dilakukan, tarif sanksi pun akan semakin besar.

Berikut saya lampirkan tabel dasar penghitungan tarif tiap jenis sanksi administratif.

Untuk selalu update terkait tarif sanksi administrasi perpajakan yang ditetapkan dengan KMK setiap bulannya, sobat sekalian dapat mengunjungi website official Badan Kebijakan Fiskal di link berikut: https://fiskal.kemenkeu.go.id/informasi-publik/kmk-tarif-bunga.

Tapi penasaran gak sih, kenapa sistem tarif ini mengalami perubahan. Seberapa besar manfaat yang akan dirasakan sehingga pemerintah pun setuju untuk mengesahkan kebijakan tersebut. Menurut Khozen dan Setyowati (2022), jika dibandingkan dengan tarif tetap 2% yang berlaku sebelumnya, tarif yang fleksibel ini jauh lebih menguntungkan bagi Wajib Pajak. Dan sistem tarif sanksi "floating rate" ini pun sudah diterapkan di negara-negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat. Seperti dua negara tersebut, Indonesia pun juga menerapkan self-assesment system untuk sebagian besar jenis pajak. Sehingga, penetapan sanksi administrasi ini pun bertujuan untuk mendorong tingkat kedisplinan Wajib Pajak dalam menjalankan kewajibannya.

Tetapi sesuai dengan prinsip pemungutan pajak yaitu convenience dan efficiency, jangan sampai sanksi ini menjadi lebih memberatkan dibanding beban pajaknya. Oleh karena itu, dipilihlah suku bunga acuan ini sebagai dasar perhitungan sanksi. Dilansir dari sebuah artikel hukumonline.com, Bawono Krisaji, pengamat pajak, mengungkapkan ada tiga alasan kenapa sistem floating rate ini lebih baik daripada tarif bunga tetap. Pertama, pengenaan sanksi akan lebih adil karena mengacu pada prinsip proporsionalitas sehingga dianggap akan mendorong kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela. Kedua, seperti yang sudah disebutkan di atas, sistem ini sudah mencerminkan international best practices karena telah diterapkan oleh negara-negara maju di dunia.

Ketiga, perlu juga dipahami bahwa sanksi tersebut akan selalu menyesuaikan tingkat suku bunga. Suku bunga acuan merupakan salah satu instrumen kebijakan moneter yang ditentukan oleh Bank Indonesia, yang mana akan selalu berubah berdasarkan kondisi perekonomian. Sehingga saat perekonomian naik, suku bunga acuan dan pengenaan sanksi akan tinggi. Begitu juga sebaliknya, saat sedang lesu, suku bunga acuan akan diturunkan dan sanksi yang dikenakan akan lebih rendah. Konsep yang fleksibel ini tidak akan menjadi beban tambahan bagi wajib pajak karena sistem ini memperhatikan konsep time value of money. Akhirnya, Wajib Pajak akan lebih memprioritaskan pelunasan wajib bayar-nya ketimbang peluanasan utang kepada pihak ketiga sehingga penerimaan pajak pun menjadi lebih optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun