''Jadi kamu gak liburan ke Aruba dong!''
''Ya gak lah, duitnya gak cukup.''
Demikian cerita seorang teman yang baru saja keluar dari sebuah supermarket. Mulanya saya terheran-heran melihat dia sedang berjalan keluar dari supermarket, sementara yang saya ketahui teman ini lagi liburan ke Aruba selama tiga minggu.Â
Kisah ini sebenarnya sudah tidak aneh lagi, sudah lama saya mendengar dari beberapa tulisan pada blog travel tentang isu ''adanya liburan palsu.''
Ketika itu saya hanya membaca saja literasi ini sebagai bahan informasi, dan saya anggap inilah liburan zaman now.Â
Penasaran ingin menemukan kisah nyata apakah seseorang berani melakukan ''liburan palsu'', akhirnya saya dihadapakan pada kisah nyata yang dialami oleh seseorang yang saya kenal.Â
Teman ini malah dengan bangga mengumbar acara liburan yang mengasyikkan di Aruba ini pada instagramnya.Â
Isu yang pernah digelar pada sebuah blog travel ternyata memang benar adanya. Banyak faktor mengapa manusia saat ini melakukan hal ini. Salah satu faktor yang menurut saya dilakukan oleh orang-orang yang melakukan ''liburan palsu'' ini adalah:
Tetap mengikuti tren liburan, demi mengobati rasa putus asa karena faktor-faktor internal, seperti finansial, jadwal pekerjaan yang tidak memungkinan yang bersangkutan pergi melakukan liburan musiman,
Tetap mau eksis pada lingkungan pertemanan pada jejaring sosial media, dengan berusaha kuat memperlihatkan kesanggupan pada lingkungan bahwa masih sanggup melakukan perjalanan ke tempat liburan yang terkenal,
Dan lain-lain faktor yang menurut yang bersangkutan sangat membantu mengangkat nama keluarga.