[caption caption="Rose and Love /foto 2013 ©DellaAnnaPhotography-TheNetherlands"][/caption]
Masih juga kau berdiri di sana, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Dan aku, masih juga duduk di sini. Sudah berapa permen karet kukunyah untuk menghilangkan ngilu jemu, namun pikiranku untukmu mengalahkan urat-urat yang kaku dan rasa ngantuk yang mengganggu. Pikirku, kau yang berdiri di sana pastinya lebih penat dariku. Laparmu pastinya menyayat lambungmu lebih tajam dari laparku. Terbuat dari apakah dirimu, dagingkah atau besi?.
Sejenak kulihat kau mengintip jam tanganmu, "ah sudahlah, tamatkan saja cerita malam ini," harapku dalam hati. Hari ini kisah bukan dead line, esok moga Tuhan memberi satu hari lagi.
Tatapanmu tiba-tiba ke arahku, seakan-akan kau bisa membaca diriku dalam jeda. Sorot lampu mobil B&W itu begitu terang memecah kesepian, sampai serpih-serpih debu pun terkejut lari berterbangan. Aku terhenyak dan kau pun bangun dari kepenatan. Ketika lampu sorot padam aku pun kehilangan jejakmu. Pikirku, haruskah aku berlari ke tempatmu untuk melihat siapa dia?. Lagi-lagi otot kakiku membeku biru, sama seperti hatiku yang haru.
Kuhitung dengan angka yang sederhana, namun dirimu tetap menguap. B&W itu tetap elegan dengan kesetiaannya, dan tanda-tanda kehidupan seakan terhenti, semua senyap seiring suara malam. Setiap limabelas menit terdengar jeritan rel kereta api, roda kereta semana-mena memperkosanya dengan bangga.
-
"Berhenti dimana,?" sapaku berani. Jawabanmu pendek, "Zutphen!"
"O … sepertinya tak ada kereta jam ini, kita harus pakai bus,’’ sambungku, " mereka sedang sibuk memperbaiki rel-rel," lanjutmu.
Itulah kali pertama kukenal dirimu. Kulitmu putih bersih dengan bulu-bulu halus warna keemasan menyelimuti. Rambutmu berwarna coklat tiga warna, batu bata, kuning dan oranye. Hidungmu bukan milik kebanyakan perempuan Belanda, warna pupil matamu pun berasal dari utara – Polandia. Lentik bulu matamu asli dan bebas maskara. Lekuk bibirmu menyerupai kuncup bunga mawar. Hilir angin melalui jendela menerpa hidungku mengirim wangi aroma parfummu, lembut dan menggelitik pertanyaanku.
Satu jam limapuluh menit kita duduk berdampingan dalam bus jurusan Zutphen.
"Izolda," kau sebut namamu. "Raymond," balasku.