-
Lamunanku pecah, sorot lampu B&W mengalahkan cerah lampu jalanan. Suara mesin menderu-deru memecahkan kehitaman malam. Tanpa aku peduli B&W melaju cepat berpindah gigi satu ketiga, lengkingnya meraung-raung memamerkan keangkuhan dan kemenangan.
Kini, ya ku lihat kau lagi di sana. Berdiri melambaikan tangan pada B&W warna hitam.
Kututup sebagian wajahku dengan tas laptopku, bersembunyi dan berharap kau tidak kembali curiga cari tahu di seberang sana. Aku gelisah, kepalaku sakit dan detam hatiku bertalu-talu.
Tergesa-gesa kulihat kau berjalan balik arah stasiun. Dalam jeda aku berdoa untukmu moga kau sampai dengan selamat di stasiun. Jangan kawatir, aku ada dalam radius di belakangmu. Sesekali ku dengar bincangmu dengan telepon genggam, entah dengan siapa?.
Kau berlari kecil dan akupun berlari kecil. Kau menyeberang akupun demikian. Enam pasang mata anak muda mendelik aneh ke arahku. Bahasa tanganku menjelaskan "alles Ok!."
Tiba-tiba kau menghilang dan hatiku pun lega ketika kau muncul kembali dari balik pintu bertuliskan "openbare toilet." Langkahmu kini tenang menuju peron 5. Aku tetap dalam jeda. Ketika matamu tiba-tiba menangkapku di belakangmu, aku berpura-pura sibuk dengan apps ku. Kutangkap hembus angin dingin ke arahku, kulirik kau menghampiriku. Lagi-lagi aroma parfummu menjebak ingatanku.
"Hei Ray, lembur lagi," sapamu. Senyumku lebar selebar kedua tanganku yang ingin sekali memelukmu. Kau dan aku duduk berdampingan, kubiarkan kau memilih tempat dekat jendela. Lampu-lampu jalanan dan lalu lintas seakan-akan menghipnotis dan memainkan harpa kisah malam. Ingin sekali aku menggenggam tanganmu, ingin sekali. Namun ruas tulang jemariku kelu membeku. Ingin aku menarikmu membuka frontal topik pembicaraan, agar jelas. Ingin aku bertanya apa yang kau buat di gelap ruang B&W warna hitam? Ingin sekali aku menelanjangi dirimu agar kulihat berapa besar balok baja di pundakmu. Sesekali pandang matamu beradu dengan mataku, kutangkap di sana riak-riak yang sama dengan mataku, pertanyaan!. Namun, mengapa akhirnya kita membisu!.
-
Kuusap kepala Boyke anjingku. O, kasihan kau. Berapa lama kau harus tahan buang air besar dan kecil, sementara aku mengembara bolak balik stasiun hanya karena Izolda. Rasa bersalahku demikian besar pada Boyke. Bisa kubayangkan kalau aku sendiri harus menahan sakit perut karena tak ada toilet. Kutumpahkan perhatianku untuk anjingku, maafkan tuanmu ini.
-