Mohon tunggu...
Cuzzy Fitriyani
Cuzzy Fitriyani Mohon Tunggu... lainnya -

wanita sangat biasa ^_^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Seorang Pelacur

28 Oktober 2014   07:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:29 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nirma berdiri sambil sedikit menggigil di gang yang cukup gelap. Malam yang tak berbulan, menakutkan, diam dan tak bergerak, hanya sesekali berisik oleh pekikan beberapa wanita. Di kejauhan, ada lampu berkelap-kelip bersumber dari mobil-mobil yang tengah bergerak, dan siluet orang-orang yang terlambat pulang ke rumah atau pun orang-orang yang berkeliaran tanpa tujuan di keheningan kota, muncul dan menghilang.

Kaki telanjang yang dingin, menyeret satu sama lainnya. Namun, upaya mencari kehangatan sia-sia, dingin itu sudah merayap merasuki tubuhnya. Perutnya sakit karena kelaparan dan matanya seolah kabur. Napas tak beraturan, jantungnya berdebar keras. Dia tampak seperti seorang gadis berusia sekitar 15 atau 16 th, beberapa tanda-tanda naif kewanitaan terlihat jelas di tubuhnya. Dia dihukum karena kejahatan, kabur dari rumah dan sekarang? Seorang gadis itu tengah berjuang untuk bertahan hidup dalam dingin dan kelaparan.

Berdiri dijalan sendirian, ingatannya terhuyung-huyung kembali ke tempat di mana ia dilahirkan, di mana ibunya selalu ada untuknya. Kelaparan ini terlalu asing, berbeda ketika dia berada di rumah bersama ibunya, di bawah atap yang hangat, dan ia memiliki tempat tidur, meskipun tidak mewah, namun dia bisa mengklaim sebagai miliknya. Perutnya tak pernah kosong, karena ibunya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Nirma, ya gadis itu bernama Nirma.

Nirma tidak pernah tahu ayahnya. Ketika ia masih kecil, ia sering bertanya pada ibunya tentang ayahnya, dan ibunya hanya akan menyulap beberapa cerita atau kadang-kadang pura-pura tidak mendengar sama sekali. Tapi itu tidak cukup untuk memenuhi jawaban pikiran Nirma. Dia penasaran. Ketika ia melihat teman-temannya yang lain bersama ayah mereka, ia sering meluru menuju ibunya dan bertanya lagi, tapi semua sia-sia. Sebaliknya, ibunya menceritakan kisah-kisah lain yang lucu dan membuatnya segera melupakan pertanyaannya tadi.

Suatu hari ketika Nirma hendak pergi ke sekolah pada hari pertama. "Ibu", katanya sambil terisak, "Aku tidak ingin pergi, aku tidak ingin ibu meninggalkan Aku."

Ibunya memeluknya dan berbisik lembut di telinganya, "Jangan menangis malaikat kecilku, Ibu tidak akan meninggalkanmu. Ibu akan di sini menunggumu. Di sekolah, kamu akan bertemu banyak teman, kamu dapat bermain dengan mereka. "

Setiap hari ibunya menyisir rambutnya hingga rapi, mengikatnya menjadi seperti ekor kuda, mencuci muka, tangan dan kakinya, menyiapkan makanan dan menyiapkan semua buku sekolahnya. Setiap hari ibunya mengantar Nirma ke sekolah dan menjemputnya pulang. Sungguh, kasihnya begitu besar.

Waktu berlalu, dan Nirma tumbuh menjadi anak yang cantik. Ada kebahagiaan murni dalam hidupnya, tidak pernah dia merasakan malam dingin yang menusuk, karena ada kehangatan sinar matahari abadi dalam hidupnya. Sampai suatu hari ia jatuh sakit, dia mengalami demam yang cukup parah dan ia hampir tidak bisa makan dan berjalan. Kedinginan yang ia tidak pernah rasakan sebelumnya, membuat tubuhnya mati rasa, sangat mirip dengan dingin yang ia rasakan sekarang. Ibunya dengan sabar merawatnya siang dan malam, menghibur setiap saat, sampai Nirma sepenuhnya pulih.

Di gang gelap di mana ia berdiri menggigil, air mata nostalgia menggenangi kedua matanya, mengingat kehangatan kepedulian sang ibu padanya. Secara naluriah ia meraih tangan ibunya, tapi fakta bahwa ibunya sudah meninggal menghantuinya lagi dan dia meringis perih memikirkan hal itu. Dia kedinginan dan kelaparan, tapi tidak ada lagi tangan yang menenangkan dan menghiburnya lagi. Hatinya berdarah. Sekuat apapun mencoba, ia tidak bisa mengejar memori yang pergi, napas panik tidak mampu untuk menenangkan hati yang ketakutan. Dia telah kehilangan ibunya, dan sekarang dia menyadari betapa tak berdaya ibunya, dia menyadari pengorbanan seorang ibu untuk menjaga bayinya, malaikatnya.

Nirma pun tumbuh makin besar, dan hal-hal yang tidak biasa mulai ia sadari. Tak pernah ada kerabat atau tetangga yang mengunjungi rumahnya. Ibunya lebih memilih untuk tetap menyembunyikan. Nirma hanya memiliki sedikit teman. Ketika dia berada di sekolah atau diluar sekolah, dia merasa seolah-olah orang lain melihat dia seperti mengejek. Ibunyj pun tidak pernah mendapat undangan dari tetangga mereka ketika mereka sedang merayakan acara apapun. Nirma pun hanya akan menonton perayaan dari kejauhan, kerinduan untuk berada di sana, merayakan dengan orang lain, tertawa dan bersorak-sorai, dan itulah yang dia bayangkan. Namun, tak pernah terwujud.
"Ibu, mengapa mereka tidak pernah mengundang kita dalam acara pernikahan? "Nirma bertanya pada ibunya.

"Anakku, jangan khawatir. Mungkin mereka hanya iri padamu dan tidak ingin dekat, karena kamu jauh lebih cantik dari mereka,"ibunya mencoba untuk menghiburnya.

Dia masih bersikeras.
"Tapi aku ingin pergi ke sana!"

"Ketika kamu sudah besar nanti, maka kamu akan menikah juga dengan pria tampan, dan kita tidak perlu mengundang mereka juga!" Ibunya menjawab.

Meskipun dia masih tidak mendapatkan jawaban, kata-kata ibunya membuatnya sedikit berpikir tentang pernikahan. Dia membayangkan seorang pemuda tampan yang akan menjadi suaminya. Dia bermimpi tentang kehidupan yang akan dia miliki dengan suaminya. Yah, meskipun ia benar-benar tidak mengerti apa artinya menikah. Dia memberitahu impiannya kepada ibunya, dan selalu disambut ramah senyuman dari sang ibu. Ketulusan yang tercermin di mata ibunya sudah cukup untuk melupakan kekhawatiran kecilnya.

Hari-hari terlewat dengan cepat, dan Nirma baru saja mulai mengalami tanda-tanda di tubuhnya. Tanda-tanda dia mulai menginjak masa remaja, menstruasi.

Suatu hari ia tiba di rumah agak telat tak seperti biasanya, langsung pergi ke ibunya, memeluknya dan menangis cukup lama dalam pelukan sang ibu. Ada rasa sakit yang sangat, dapat terlihat di matanya, dan bibirnya menggigil dalam rasa sakit yang tak dapat terungkapkan. Ibunya mencoba menghibur, tapi dia tidak mau mendengarkan. Ibunya tidak mengerti mengapa dia menangis dan tidak bisa menemukan kata-kata yang bisa menghibur anak gadisnya.

Setelah agak lama, isak tangisnya mulai mereda, menjadi napas panjang yang kadang diselingi senggukan. Nirma berpaling kepada ibunya dan meraih tangannya. "Ibu", katanya, "Teman-teman di sekolah mengatakan bahwa Ibu adalah seorang pelacur. Katakan bahwa mereka berbohong, Bu!" Air mata menggenang di matanya saat ia berjuang untuk menyelesaikan kalimatnya.

Ibunya mendengarkan perkataan putrinya dengan mata teduh. Lalu, memohon pada putrinya agar tenang. Ada guratan pucat di wajahnya dan genangan bening di matanya yang siap meluncur, tetapi tidak ada jawaban yang dapat ia berikan kepada putrinya. Bagaimana dia bisa menjelaskan hal ini kepada putrinya? Apakah putrinya memiliki cukup keberanian untuk menghadapi kebenaran, atau apakah dia sendiri punya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran itu? Apakah bisa putrinya memahami kenyataan pahit tentang dunia? Apakah malaikat kecilnya yang berharga siap untuk menerima semua ini? Dia tidak tahu.

Kesunyian ibunya merupakan pukulan maut bagi harapan Nirma. Dia berharap bahwa ibunya akan menolak semua yang teman-temannya katakan dan semua segera berlalu sebagai mimpi buruk. Tapi tidak! Ibunya berdiri di depannya dalam diam. Nirma ingin sekali berteriak untuk menentang. Diamnya sang ibu seolah menghancurkan segala impian, menenggelamkan harapan. Dia merasa lebih sakit, mati rasa, tatapan kosong yang mengambil alih indranya. Dia muak dengan ibunya, karena ia telah menjadi penyebab jantungnya berdegup tak beraturan.

Tak ada harapan. Kematian solusinya. Ketika tidak ada alasan yang tersisa untuk bahagia, maka sisi gelap manusia terungkap. Bencana karena pikiran gelap dan kebencian pada orang. Dan dalam kegelapan, kebencian manusia sering diarahkan ke satu orang atau yang dianggapnya sebagai penyebab kesengsaraan yang terjadi. Benih kebencian terhadap ibunya tumbuh dalam pikiran mudanya. Hati yang dulu mencintai wajah sang ibu telah berubah menjadi sesuatu yang pahit. Sekarang ia bisa mengerti mengapa orang-orang sekitar tidak pernah bertandang kerumahnya, dan mengapa tak seorang pun pernah mengundang mereka dalam acara apapun. Dia bisa membayangkan dirinya di masyarakat, dicap sebagai sesuatu yang penuh dosa, yang tidak punya hak untuk berada di antara mereka. Seseorang yang tidak memiliki ayah, dia adalah anak dari seorang yang menjual tubuhnya.

Fakta bahwa ibunya adalah seorang pelacur merupakan pukulan keras untuk Nirma. Dia tidak pergi ke luar bersama teman-temannya lagi, dia memutuskan untuk berhenti sekolah dan tak ada lagi wajah ceria pada wajahnya yang selama ini memenuhi rumahnya. Dia menjadi pendiam. Kebencian terhadap ibunya makin mengakar kuat. Ibunya tidak lagi ia cintai, ibunya adalah seseorang yang sangat ingin ia singkirkan dalam hidupnya.

Setiap hari ia melihat ibunya dengan laki-laki yang berbeda di rumah mereka, sesuatu yang tidak ia perhatikan sebelumnya, dan setiap hari pula ia berharap ibunya cepat mati. Dia melihat memar di wajah ibunya, tanda-tanda yang tersisa pada sang ibu akibat oleh para kanibal dosa, sesuatu yang ibunya tanggung dalam diam-diam. Tapi bukannya simpati, memar diwajah itu hanya menambah lebih kebencian terhadap ibunya.

Setiap hari Nirma tinggal di rumahnya, semakin lama semakin neraka tampak padanya. Dia menyaksikan perbudakan, air mata dan rayuan dari ibunya. Dia ingin melarikan diri, karena ia diajarkan untuk menjadi pemberontak oleh ibunya. Dia memberontak, karena ia diajarkan untuk berjuang oleh ibunya. Ya, dalam hatinya hanya ada ibunya yang dia anggap sebagai penyebab segalanya. Namun, ia terus berpegang pada benang harapan ketika dunia memudar darinya. Mungkinkah?

Seperti biasa, Nirma berada di kamarnya, menyaksikan perbudakan manusia, mendengar pukulan dan suara teriakan dari orang yang sangat ia kenal. Ya, teriakan orang yang sebenarnya sangat ia cintai.

"Tidak", pikirnya, "ini harus diakhiri! Aku tidak akan membiarkan ibuku mati di neraka. Aku tidak akan lagi menanggung kegilaan dari kebiadaban ini ... Aku harus kabur dari sini. "

Dia pergi ke dapur diam-diam, mengambil pisau dan menyembunyikan dibalik pakaian yang ia kenakan. Lalu dia pergi ke ruang di mana ibunya meronta dengan binatang itu.

Di luar ruangan, dia berhenti sejenak, seolah-olah dalam dilema. Ah sudahlah!! Sepertinya ia berdoa kepada Tuhan untuk pengampunan untuk apa yang akan dia lakukan. Tapi kesedihan yang mendalam dan kebencian menguasai nalarnya. Tidak ada kekuatan dan tidak ada alasan dapat mencegahnya.

Dia membuka pintu, ia melihat ibunya, di tempat yang paling sengsara. Dia melihat predator itu, menatap matanya dengan penuh dendam. Dendam yang mendidih di dalam dirinya mengubahnya menjadi batu yang keras. Dia tidak bergeming sedikit pun, tetap menatap dengan seksama pada orang akan dia serang. Marah karena diganggu, predator itu bergegas melangkah menghampiri Nirma. Dengan tangan yang penuh amarah, mengepal dan siap untuk mendorong Nirma keluar dari ruangan. Tapi sebelum ia bisa menyentuh Nirma, pisau itu menghujam dadanya, menguras kehidupannya.

Pria itu berusaha menjerit, dan tetap masih bertahan setelah beberapa waktu, sampai akhirnya nafasnya berhenti.

Nirma menatap wajah mayat didepannya, nyanyian kemenangan ia lantunkan dalam dada.

Saat ia mulai menikmati kemenangannya, jeritan ketakutan dari ibunya berdering keras di telinganya. Dia berbalik menghadap ibunya. Seorang wanita yang penuh memar di tubuhnya akibat siksaan seumur hidup, jiwa yang lemah karena ditolak keberadaannya.

Teriakan ibunya itu seperti pengkhianat terhadap kemenangannya. "Ibu yang membuatku melakukan ini!" Ia berteriak pada ibunya, dan pasang surut keinginan naik ke dalam dirinya yang menuntut kebebasan ya belum bisa ia redakan.
Dia mengambil pisau yang masih berdarah, berjalan perlahan menuju ibunya. Ada air mata di matanya, sesak membungkam dadanya. Ibunya meringis ketakutan, tapi Nirma diam-diam menaruh pisau ke samping dan memandang ke arah mata ibunya.

"Aku cinta Ibu", katanya, suaranya bergetar. "Tapi aku lebih cinta impianku. Ibu, maafkan aku! "

Sebelum ibunya bisa menyadari apa maksud perkataanya, mata pisau telah menusuk hati ibunya.

Nirma berdiri di lorong gelap, angin dingin memukul tubuhnya. Tapi itu tidak seberapa, dibandingkan dengan rasa sakit pada jantungnya yang abadi, rasa sakit dari memori tentang ibunya, rasa sakit yang terus mengawasinya. Dia melarikan diri dari ibunya. Dan di tanah tandus yang asing ini, dia sendirian.

Di gang gelap, ia berdiri, hampir sekarat karena kelaparan, ia ingat ibunya. Tidak nampak ada air mata di matanya, tapi jiwa rusaknya direndam dalam air mata. Dia telah melarikan diri, tapi dia tidak pernah berpikir mengantisipasi perjuangan, susahnya perjuangan untuk bertahan hidup. Tempat yang tidak diketahui ini, di mana ia bermimpi tentang kebebasannya, tetapi tidak ada makanan. Seolah ia ditinggalkan sendirian untuk berperang, dan di sanalah dia, di gang dingin, memegang hidupnya, bahkan ketika dia tahu bahwa dia kehilangan pertempuran itu.

Dia sekarang mengerti posisi ibunya, perdagangan yang ibunya lakukan untuk bertahan hidup, pengorbanan untuk menjaga putrinya.

Saat harapannya mulai memudar, Nirma melihat cahaya mobil dari kejauhan menuju ke arahnya. Mobil makin mendekat, Nirma melambaikan tangannya, menandakan pada pengemudi untuk berhenti. Mobil berdecit dan berhenti, Nirma mendekati sopir, menatapnya dan senyuman palsu melintasi bibirnya.

"Berapa untuk semalam?" Tanya pengemudi itu agak ragu.

"Lima ratus." Nirma menjawab singkat, dan setelah berpikir sejenak, ia menambahkan, "Dan makan malam."

Pria itu tersenyum mendengar perkataan polos itu dan membuka pintu mobil untuk Nirma. Dia masuk ke dalam mobil, dan mobil melaju ke arah tempat yang ia tidak tahu, dan ia tidak peduli.

"Namamu siapa?" Tanya pria itu.

Nirma menatap pria itu, menarik napas dalam, dan menyandarkan kepalanya di kursi. Setelah beberapa saat, dia menjawab, "Aku seorang pelacur."

Pria itu tidak bertanya lebih lanjut. Tangannya sudah mulai kurang ajar.

Nirma tak ingat apa-apa. Ia hanya berpikir tentang makanan yang dapat mengenyangkan perutnya dan tempat tidur hangat yang akan melindunginya dari dingin malam ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun