Mohon tunggu...
Aboe Bakr Mangun
Aboe Bakr Mangun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni UIN Alauddin Makassar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jejak Langkah II

24 Juni 2012   06:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:36 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TAHUN AJARAN BARU

(1994 – 1995)

Hari ini, hari pertamaku masuk sekolah. Aku ditemani ibuku mendaftar, dalam sejuta harapan anaknya dapat berbakti kepada bangsa dan negara. Setidak – tidaknya, berbakti untuk masyarakat yang ada disekelilingnya. Ketika aku lulus dari Sekolah Dasar dan dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.

Aku menemukan suasana baru ketika kumulai menapaki halaman sekolah. Aku merasakan suasana yang berbeda dari biasanya. Tempat dimana aku dapat berpakaian bebas dan dapat mengekspresikan diriku sebagai manusia bebas. Aku merasakan bahwa, kemerdekaanku dirampas, dipenjara dengan pakaian yang wajib dipakai bagi anak seusiaku dihalaman sekolah. Aku benar – benar tersiksa. Ini kualami selama sekian tahun.

Lenganku digenggam ibuku dengan kuat. Agar aku tidak bisa lari. Lari dari halaman sekolah ini, lari dari intaian mata liar dari anak – anak sebayaku.

“Kau harus mengikuti pelajaran dengan baik!!!” kata ibuku.

Aku hanya menunduk, pasrah dalam ketakutan dan keterasingan. Dalam situasi hati yang tidak bersahabat, seakan aku berada didalam hutan belantara, sedang mata harimau mengintai dari berbagai sudut.

Ingin rasanya aku menjerit sekuat tenaga. Tapi ibuku meyakinkanku bahwa: inilah anakku, pintu gerbang dimana kau akan mengenal peradaban. Dimana kau akan memahami kehidupan belantara ini yang kaya, segala bentuk, sifat dan watak akan kau temukan untuk menjadi referensimu dalam menata hidupmu sendiri. Kau harus kuat dan yakin bahwa kau mampu menata dunia. Disini anakku, kau akan memahami dan belajar cara melawan lantaran kau tersudutkan, terzalimi. Disini pula, kau akan menemukan ketidak adilan jika memang itu kan kau jumpai. Sejuta watak akan kau jumpai disini anakku. Tapi, itu kabar gembira bagiku. Sebab dengan begitu kau akan melawan dan memberontak, setidaknya dengan kata.

Hari pertama diruang kelas aku diajari menghitung, matematika menjadi santapan pertamaku bersama kawanku yang lain. Kami diajari cara menggunakan jari tangan dan kaki sebagai alat hitung. Tidak ada kalkulator. Ini adalah ilmu pasti, bukan perkiraan atau ramalan. Ini juga gambaran, betapa hasil-hasil teknologi yang canggih sebagai buah pemikiran dari manusia-manusia yang tercerahkan belum menyentuh tanah kebanggaanku. Belum menunjukkan keseriusan kalangan atas untuk berbagi, setidaknya meminjamkan hasil-hasil teknologi itu untuk membantu kami dalam menjawab tantangan. Ini masalah kecil dalam ruangan kelas, namun kami gagal memperoleh kemudahan layaknya anak-anak kota yang didik secara modern, yang telah tercelup kedalam modernitas. Aku dan temanku sendiri, menggigil diruang tradisonal yang menyakitkan. Inilah rillnya kehidupan bagiku.

Sesungguhnya, aku tidak sadari bahwa disinalah aku mulai bertarung, melawan demi sebuah kebebasan, demi sebuah kata : “ Merdeka”. Sebuah kata yang diidamkan bagi semua manusia sebagai kunci menuju kebebasan yang hakiki. Dan aku baru menyadari, setelah sekian tahun aku menjalani proses itu.

Hariku kulewati dengan dialektik, perlawanan yang tak berujung. Situasi dimana aku harus selalu melawan dan melawan, setidaknya melawan dengan gumam dalam hati yang terlanjur tergenggam dengan petuah. Aku harus selalu belajar, aku harus patuh pada guruku, guruku yang mencintaiku (jika memang rasa itu ada) dan guruku sebagian yang lainnya yang telah tertanam ketidak adilan dalam dirinya. Aku harus mendengarkan petuah – petuah yang tak berdasar dan tak memiliki ujung pangkal.

Aku memang terpenjara dalam kata petuah itu. Aku harus patuh dan taat agar aku menyandang murid teladan. Aku harus membungkus dan menaruhnya diatas pundakku, tapi aku tidak boleh pasrah. Sebab jalan panjang yang penuh liku menantiku dijagad raya ini.


BERSAMBUNG....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun