Meskipun telah diberlakukannya Pasal 4 Peraturan Walikota Semarang Nomor 27 Tahun 2019 yang mengatur tentang larangan penggunaan styrofoam dalam kemasan makanan, praktik ini masih banyak dijumpai di sejumlah lokasi, termasuk di depan SDN Bulusan. Beberapa pedagang makanan, seperti yang menjual takoyaki dan pancong, masih menggunakan styrofoam sebagai kemasan utama untuk produk mereka.
Kondisi Terkini di SDN Bulusan
Di depan SDN Bulusan, para penjual makanan menawarkan berbagai jenis kuliner yang menarik perhatian siswa dan masyarakat sekitar. Di antara makanan yang dijajakan, takoyaki dan pancong menjadi pilihan favorit. Namun, pengemasan makanan ini masih mengandalkan styrofoam, yang telah dikenal sebagai bahan yang sulit terurai dan berpotensi merusak lingkungan
Dampak Penggunaan Styrofoam
Penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan memiliki dampak lingkungan yang serius. Styrofoam tidak dapat terurai secara alami dan akan tetap berada di lingkungan selama ratusan tahun. Akibatnya, limbah ini dapat mencemari tanah dan air, mengganggu ekosistem, dan berdampak pada kesehatan manusia.
Dari sisi kesehatan, studi menunjukkan bahwa styrofoam dapat melepaskan zat kimia berbahaya, seperti styrene, terutama ketika terpapar panas. Mengingat banyaknya anak-anak yang mengonsumsi makanan yang dikemas dalam styrofoam, potensi paparan terhadap bahan berbahaya ini menjadi perhatian serius bagi kesehatan mereka.
Peraturan yang Ada
Peraturan Walikota Semarang Nomor 27 Tahun 2019 mencakup ketentuan untuk mengurangi penggunaan bahan kemasan sekali pakai, termasuk styrofoam. Pasal 4 dari peraturan ini secara tegas melarang penggunaan styrofoam dalam kemasan makanan dan minuman yang dijual di seluruh wilayah Kota Semarang. Meskipun ada upaya dari pemerintah untuk mengurangi penggunaan styrofoam, implementasi kebijakan ini tampaknya masih kurang efektif, terutama di area sekitar sekolah seperti SDN Bulusan.
Upaya yang Diperlukan
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah dapat diambil: