Mohon tunggu...
Putra Prasetya
Putra Prasetya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menyuarakan yang harus disuarakan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keadilan yang "Kuasa"

13 Juni 2022   21:56 Diperbarui: 14 Juni 2022   23:43 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Wahai keadilan apa kabar? Apalah kau baik-baik saja, sekarang sedang sibuk apa? Begitu sibuk kah sampai-sampai aku tidak pernah melihatmu berkunjung dikehidupanku, dimana kau berada saat keluargaku tidak dapat bantuan. Dimanakah kau berada saat aku kesulitan untuk bersekolah, dimana engkau berada saat aku kehujanan dikelas dengan atap yang menganga, 

kucari kau ditepi pantai hingga kolong dipan, tapi tidak juga menemukanmu. Ataukah kau sedang sibuk mengurusi orang-orang kota, berkutat dengan kemewahan mereka, Ataukah kau memang tidak pernah ada. Sebatas fiksi di layar kaca"  begitulah mantra yang tertulis pada buku "Album 11 : 11" karya Fiersa Besari

Indonesia merupakan negara yang menggunakan Pancasila sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan ideologi yang berisi 5 prinsip yang salang meliputi. Salah satu diantaranya berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia" yang merupakan sila kelima. "Negara Hukum" 

merupakan perwujudan bangsa Indonesia sebagai implementasi sila ke-5 ini. Sebagai "Negara Hukum" yang artinya segala sesuatu harus berlandaskan huku atau aturan perundang-undangan. Hukum tersebut tentunya harus memiliki keadilan yang berpihak kepada kebenarran, sama rata dan seimbang tanpa adanya titik berat pada satu sisi maupun kelompok terntentu. Di depan hukum, Kedudukan semua orang itu sama, hal ini disebut dengan equality before the law

Namun, pada kenyataannya asas keadilan yang diterapkan pada sistem hukum di Indonesia ini belumlah sempurna. Masih adanya unsur diskriminasi ataupun keistimewaan golongan tertentu bukan menjadi hal asing lagi dalam proses penegakan hukum di negeri ini. 

Keadilan rasanya dapat dibeli oleh orang yang memiliki  uang dan kekuasaan , yang kahirnya kana mendapatkan hukum yang tidak setimpal denga napa yang ia perbuat. Hal itu berbanding terbalik dengan para rakyat kecil yang seringkali mendapat ketidakadilan bahkan mendapat lebih banyak kesengsaraan apabila berhadapan dengan hukum.

Jika kita melihat beberapa penegakan hukum untuk kalangan masyarakat biasa dengan penegakan hukum dikalangan Pejabat atau orang yang memiliki kekuasaan lebih, pasti kita akan melihat "ketidakadilan" ini. Mari kita bandingkan contohnya

Kasus yang dapat kita jadikan rujukan sebagai contoh ketidak adilan hukum di Indonesia yaitu kasus yang menimpa bapak Paidi yang merupakan warga kampung Penawar Rejo, unit 1 Kabupaten tulang Bawang , mendapat tuduhan tindak pemerkosaan oleh keponakannya sendiri. Pria berusia 50 tahun ini mendapat hukuman Sembilan tahun penjara serta denda 100 juta rupiah. 

Ada yang menilai ini tidak adil dalam menerapkan supremasi hukum. Banyak kejanggalan yang terjadi, dimulai dari tuduhan ini dilempar ketika korban mengalami kesurupan atau dalam keadaan yang tidak sadar, saksi yangy dihadirkan tidak ada di lokasi kejadian. 

Kemudian lucunya keluarga korban bahkan ingin mencabut tuduhannya dan telah menandatangani surat perjanjian damai, kemudian mereka juga mengaku bahwa kalau ini cuma fitnah. Namun hakim tetap melanjutkan proses dipengadilan.

Mahasiswa dan masyarakat yang geram telah menyuarakan suara mereka dengan turun dijalan demi keadilan untuk pak Paidi. Keramaian di media sosial juga turut meramaikan dukungan rakyat Indonesia untuk pak Paidi. Namun hal itu tidak dilihat maupun didengar oleh hakim.

" Mungkin hakim memiliki mata dan telinga namun tidak dengan hati nurani. Mengapa masyarakat smapai turun kejalan membentangkan sepanduk bertuliskan "bebaskan pak Paidi", mengapa banyak yang speak up di media sosial, karena mereka tidak mendapat keadilan di pengadilan" ujar Rian Fahardhi, seorang creator pada akun media sosialnya. Apakah ini yang disebut dengan keadilan?

Kasus kedua, masih ingat dengan randy Bagus?, bekas polisi yangu merupakan tersangka dari kasus aborsi seorang mahasiswi , almarhum Novia Widyasari yang memilih mengakhiri nyawanya sendiri di atas makam ayah tercintanya, akibat mengalami depresi karena diminta untuk

menggugurkan kandungannya oleh kekasihnya. Randy Bagus terbukti bersalah, namun hukumannya malah diringankan. Dalam putusan sidang, hakim menyatakan Randy terbukti melakukan tidnak pidana pasal 348 ayat (1) KUHP 

tentang Aborsi dengan pidana paling lama 5 tahun penjara. Sebelumnya memang telah dituntut oleh jaksa 3,5 tahun   penjara. Tapi hasil sidang vonis di pengadilan Mojokerto menyatakan bahwa Randy hanya di vonis dengan 2 tahun penjara. 

namun hasil itu tidak dapat diterima oleh kuasa hukum Randy Bagus. Mereka merasa keberatan dengan vonis yang diberikan dan menyatakan bahwa kliennya tidak bersalah dan akan mengajukan banding. Pihak Randy meminta keringanan karena kliennya bertindak sopan selama pengadilan dan tidak memiliki catatan tindak pidana  sebelumnya.

Dari dua kasus diatas dapat dilihat bahwa hukum negeri ini tumpul kebawah namun tajam keatas. Hanya karena bertindak sopan bisa meringankan hukuman bagi orang yang berkuasa. Beda cerita kalau rakyat kecil yang dipidana. Dapat kita simpulkan bahwa keadilan hukum di Indonesia belum merata. 

Oleh karena itu, perlakuan sama di muka hukum perlu adanya jaminan. Karena jika tidak, negara ini akan semakin lemah akan hukum, dan warganya menjadi tidak teratur, rakyat kecil semakin menderita, dan para pejabat semakin berkuasa bebas mencuri uang negara

"siapa yang akan membela rakyat kecil yang biasa hidup melarat, mending belain pejabat yang punya kekayaan berlipat-lipat " begitulah kira-kira suara yang dapat didengar melihat proses penegakan hukum di negeri ini .

Tentunya, bukan hanya pemerintah yang harus berperan aktif dalam melakukan upaya menegakkan keadilan dan proses hukum, namun masyarakat juga harus berpatisipasi aktif dan bekerja sama dengan pemerintah. Ada 3 standar yang harus dijadikan landasan dalam kerja sama antar pemerintah dan masyarakat, 

yaitu equal opportunity, equal distribution, dan equal liberty. Equal opportunity merupakan standar ekualitas yang menekankan bahwa pemerintah dapat membangun skala prioritas yang dibangun dengan nalar yang baik 

dan mengajak masyarakat untuk merumuskan skala prioritas tersebut. Yang kedua adalah equal distribution yang merupakan suatu jaminan bahwa program yang ditawarkan oleh pemerintah mampu menjangkau ke semua masyarakat dan diberlakukan secara adil. Dan yang terakhir adalah equal liberty, yaitu prinsip bahwa pemerintah dan rakyat mempunyai kedudukan yang sama dalam memperoleh kemerdekaannya masing-masing.

Dengan menerapkan hal tersebut dan dengan adanya kesadaran pada diri masing-masing, maka upaya yang dilakukan sangat membantu dalam upaya menegakkan keadilan di Indonesia. Walaupun pemerintah memiliki peran yang dominan dalam proses hukum, namun tetap saja harus melihat batasan yang ada, dan masyarakat juga memiliki kebebasan atau liberalisme dalam memberikan kritikan kepada pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun