Mohon tunggu...
Mohamad Baihaqi
Mohamad Baihaqi Mohon Tunggu... -

menulis itu berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Generasi Berencana, Generasi Sejahtera

2 November 2015   13:47 Diperbarui: 2 November 2015   13:57 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari lalu, tepatnya pada tanggal 01 November, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerjasama dengan Kompasiana menggelar acara nangkring bertema “Pendewasaan Usia Perkawinan” yang bertempat di Hotel Puri Indah Mataram. Acara tersebut berlangsung meriah diiringi dengan irama musik dan tarian tradisional. Beberapa peserta dengan antusias mengajukan pertanyaan seputar gejala pernikahan dini yang tengah marak terjadi di Indonesia, termasuk salah satunya di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Di NTB sendiri remaja yang menikah di usia dini berjumlah cukup tinggi, kabupaten yang menempati posisi tertinggi adalah Lombok Barat sebesar 5,52%. Tak dapat disangkal, persoalan pernikahan dini merupakan gejala yang muncul akibat beragam problem di tengah masyarakat.

Sedangkan Indonesia saat ini menempati urutan ke-37 di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak yang menikah di usia dini. Sedangkan di ASEAN Indonesia menempati posisi tertinggi setelah Kamboja. Apa gerangan yang menyebabkan generasi muda terjerembap mengakhiri masa muda yang penuh gelora perjuangan dan sejuta mimpi?

Tentu saja banyak problem yang mendasari—salah satunya seperti yang dissebutkan oleh narasumber adalah persoalan ekonomi. Lebih kompleks lagi disebabkan pengaruh budaya daerah setempat. Selain itu, salah satu indikator terjadinya pernikahan dini disebabkan oleh pengaruh tekhnologi komunikasi semacam ponsel, media sosial yang pada awalnya hadir untuk memudahkan aktivitas sehari-hari, malah yang terjadi sebaliknya. Remaja di bawah umur 15- 24 tahun menggunakan tekhnologi komunikasi tidak pada tempatnya. Pada akhirnya, pemuda lah yang dimanfaatkan.

Hal terssebut menjalar sebagai gaya hidup. Imbasnya remaja pengguna internet, menurut hasil riset Global Youth Welbeing Index di tahun 2014 berjumlah 50%, sedangkan 50 % lagi tak kerja, dan 40% mendetira HIV AIDS. Dari persoalan tersebut, kaum muda seakan memangkas gelora muda dalam dirinya sendiri pada saat memutuskan untuk berrumah tangga. Namun keluarga yang terbangun dari usia dini adalah keluarga yang rapuh, rumah tangga seperti rumah pasir. Untuk itu keharmonisan dalam rumah tangga patut diukur dari kematangan usia seseorang.

Maka muncul sebuah program pemerintah semenjak tahun 2009 yang disebut “Generasi Berencana” diakronimkan menjadi “Genre”. Dalam program ini pemerintah mencoba “turun gunung” membina keluarga remaja dengan beragam sosialasi dan realisasi nyata dalam rumah tangga, sebagai instansi terkecil pendidikan generasi muda.

Pendidikan dalam keluarga mampu membentuk sebuah generasi dalam aktivitasnya sehari-hari, begitu juga setiap generasi akan tumbuh dalam kebudayaan yang terdiri dari kebudayaan setempat. Di tiap daerah, generasi muda dididik dan diperkenalkan sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki.Dari sana remaja dituntut memiliki sebuah misi yang harus diperjuangkan. Karena remaja merupakan tongkat estafet, generasi penerus yang tak hanya dikeloni dan diciptakan, melainkan “menciptakan” dirinya dengan mengoptimalkan peran jiwa dan raga.

Jiwa dan raga dibangun dengan kesadaran yang terencana. Dengan itu generasi muda akan terus mengoptimalkan kekuatan dirinya untuk berupaya mengejar apa yang diangankan dan dicita-citakan. Bilamana motivasi tersebut sirna dalam pikiran generasi muda, maka tentu saja ia mudah terjerembap ke jurang yang bisa membahayakan masa depan generasi muda salah satunya menikah di usia dini.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh DR. Abidinsyah Siregar, salah seorang narasumber dalam acara tersebut. Ia menjelaskan beberapa alasan yang menyebabkan remaja memilih nikah di usia dini, salah satunya yang paling wahid adalah rasa penasaran yang tinggi, khususnya pria. Tentu saja rasa penasaran adalah hal yang manusiawi dan lumrah, apalagi itu seorang pemuda. Namun saat rasa penasaran mengarah ke hal-hal yang negatif, maka pemuda pun mudah masuk dalam persoalan pelik.

Menuju Generasi Produktif

Di usia 15-40 tahun adalah usia produktif seseorang. Pada usia itu, remaja tengah memiliki kreativitas yang tinggi. Tapi bilamana energi kretif tersebut tak dimanfaatkan maka yang terjadi adalah laku konsumtif. Sebuah gaya hidup membeli tanpa mampu menciptakan.

Sebagaimana paparan seorang duta BKKBN NTB, Ria Hikma, menjelaskan dengan sederhana bagaimana kondisi pemuda saat ini tengah dilanda penyakit konsumtif. Ia mencontohkan, tak sedikit generasi muda menggunkan ponsel dengan jumlah berlipat. Lewat ponsel tersbut, pemuda mengakses media sosial seperti facebook dan twitter.

Dalam praktiknya, pemuda kerap menggunakan tekhnologi bukan pada tempatnya. Sebagaimana hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun 2013 mencatat secara global pengguna internet mencapai 699 juta orang di dunia.

Sedangkan pengguna facebook per hari asal Indonesia mencapai angka 33 juta orang. Pengguna yang mengakses jejaring sosial ini via mobile setiap harinya mencapai angka 28 juta. Pelanggan aktif bulanan via situs web mencapai 65 juta. Pengguna yang secara aktif membuka facebook via mobile tercatat sebanyak 55 juta orang. Sedangkan pengguna aktif bulanan melebihi total keseluruhan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2012.

Artinya generasi virtual tumbuh di Indonesia kurang lebih sebanyak 63 juta orang. Pada akhirnya generasi muda menjadi generasi konsumtif yang kering produktivitas. Derasnya arus informasi masuk sebagaimana hasil survei di atas penggunaanya didominasi oleh remaja. Tekhnologi dengan beragam fasilitasnya hadir seperti candu yang membawa generasi muda berpikir instan.

Tantangan dan permasalahan nyata generasi muda tak terlepas dari tawaran-tawaran menarik yang tersedia di dunia virtual, tapi tak digunakan secara positif. Dari itulah, gerakan generasi berencana muncul untuk membentuk sebuah generasi yang memiliki produktivitas yang tinggi sehingga tak mudah memilih untuk menikah di usia dini.

Dengan strategi semacam itu generasi muda tak hanya sebagai pengguna aktif, melainkan juga sebagai produsen yang setiap saat terus berkarya menciptakan dan membangun dirinya dengan hal-hal yang positif.

Saat generasi muda mampu menghasilkan sesuatu pada dirinya dan masyarakat, maka dengan itu pemuda hendak menuju sebuah generasi yang sejahtera. Sebab pemuda akan tahu bahwa pernikahan dini malah menjerumuskan seseorang ke jurang derita yang tak bertepi.

Oleh: Mohamad Baihaqi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun