Mohon tunggu...
Mohamad Baihaqi
Mohamad Baihaqi Mohon Tunggu... -

menulis itu berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Taman Siswa

30 Oktober 2015   19:17 Diperbarui: 30 Oktober 2015   19:41 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Taman siswa tidak hanya sebatas nama. Ia juga secara tidak langsung mengonsepsikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan dan membahagiakan. Akhir-akhir ini konsep tersebut, kita tahu, sudah dibakukan dan diformalkan dalam sebuah aturan yang kaku.

Kurikulum yang menuntut guru secara formal menyusun RPP, Silabus, Program Semester, Program Tahunan. Tapi di sisi lain hal tersebut telah menjebak cara berpikir guru dalam menjalankan pembelajaran. Guru menjadi pendidik yang mengonsepsikan pendidikan sebagai aktivitas formal. Guru dalam proses belajar mengajar dalam kelas selalu dibingkai dengan pemahaman yang formalistik. Kadang di sana pendidikan terkesan mengerikan dan siswa merasa ketakutan.

Tak jarang guru pada akhirnya mengambil jalan pintas mengejar target untuk menyelesaikan RPP dan Silabus. Meski dengan langkah itu, seorang guru mengabaikan proses dalam kelas. Model atau kurikulum pendidikan akhirnya memengaruhi  guru dan siswa yang menganggap sekolah sebagai tempat formal. Bukan sebagai taman, suatu tempat yang rindang nan menyenangkan.

Frasa “Taman Siswa” mula-mula diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara yang mendirikan lembaga pendidikan bernama Taman Siswa pada tahun 1922. “Taman” berkonotasi sebagai tempat menyenangkan. Sementara “siswa” adalah murid yang berproses dan berkembang dalam sebuah lembaga yang disebut sebagai sekolah.

Konsepsi “Taman Siswa” sebagai gagasan dari seorang Ki Hajar Dewantara yang dikembangkan oleh Suwardi setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India/Benggala). Ada sebuah konsep yang ditanamkan sebagai nilai dalam sekolah “Taman Siswa” pada waktu itu. Di mana sekolah sebagai tempat siswaa berproses harus menciptakan suasana yang menyenangkan.

Dengan konsep tersebut guru ditutntut untuk membawa siswa ke dalam kondisi yang nyaman dan menyenangkan. Konsep semacam ini ditekankan pada guru dalam mendidik harus mengorientasikan pembelajaran ke arah yang menyenangkan. Pembelajaran semacam itu juga tidak hanya ditekankan pada prinsip model pembelajaran atau kurikulum, melainkan suatu metode pembelajaran di dalam kelas.

Konotasi sekolah sebagai taman siswa harus mampu melambari tenaga pendidikan untuk memperkokoh pondasi dan cara berpikir terhadap sekolah tempatnya mengajar. Meski dalam impelementasinya, siswa tak mudah ditelaah. Keinginan dan karakteristik siswa akan ditemui bervariasi. Karena itu, kita tahu, filosofi sekolah sebagai taman bagi siswa sampai saat ini masih dipertahankan. Meski di lapangan, guru tidak mudah mempraktikkan metode tersebut pada siswa.

Tapi sekolah memang harus diredefinisi sebagai taman, sehingga yang menjadi pusat segala perilaku adalah kesadaran. Bukan malah sebagai penjara yang identitik dengan hukuman dan tekanan. Lantas bagaimana merekonstruksi konsep “Taman Siswa” tersebut dalam lembaga pendidikan kita saat ini?

Kelas yang Membahagiakan

Pendidikan Taman Siswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam dengan memperhatikan alam semesta, Kebudayaan diwujudkan dalam teori Trikon, Kemerdekaanyang memperhatikan potensi dan minat maing-masing individu dan kelompok, Kebangsaan akan berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku, dan Kemanusiaan yang menjunjung harkat dan martabat setiap orang.

Filosofi pendidikan “Taman Siswa” memang masih dipertahankan oleh sistem pendidikan saat ini, hanya saja di tingkat realisasinya kadang tak semudah idealisasi konsepsi filosofisnya. Bagi Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang kita kenal sebagai Ki Hajar memperkenalkan, dalam sistem tersebut orientasi pendidikan terletak pada anak didik atau yang diistilahkan sebagai Student Centered.

Pelaksanaan pendidikan dalam sistem tersebut lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik. Meski minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh siswa tak menjadi orientasi utama. Pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya. Konsep tersebut sampai saat ini sebenarnya masih dirasakan. Meski ruh yang membingkai konsep atau sistem “Taman siswa” kadang keluar dari konotasinya sebagai taman bagi siswa.

Sebab itu, usaha utnuk menghadirkan taman dalam benak siswa harus disertai dengan aturan yang tak selalu mengekang dan memaksakan. Misalnya, orientasi setiap tugas yang diberikan guru harus disertai dengan rasa ingin tahu dan dilandasi oleh keinginan bersama. Jika siswa pada akhirnya enggan melaksanakan tugas yang diberikan guru, maka tenaga pendidik tak mesti meresponnya dengan langkah yang mengerikan.

Metode di atas akan membawa siswa berada pada sebuah “Taman” yang tentu saja menyenangkan. Selain itu, guru harus berlaku sebagai seorang kawan yang mampu membaca kondisi dan emosi siswa sebelum ia memutuskan menggunakan beragam metode yang telah disiapkan sebagai instrumen dalam proses pembelajaran.

Perbedaan siswa mempunyai satu titik yang bisa mempertemukan keinginan dan karakteristik siswa sebagaimana sifat dasar seorang manusia. Sebut misalnya rasa ingin tahu, ingin selalu bahagia, dan selalu merasa dihargai. Sifat dasar tersebut setidaknya mampu menguatkan pendidik dalam menciptakan situasi dan kondisi yang mengarah pada sifat dasar tersebut.

Siswa mempunyai respon yang beragam, dan bisa saja merospon seorang tenaga pengajar dengan sikap “nakal”. Namun sikap semacam itu menjadi lumrah bilamana guru mampu menempatkan diri di tengah siswa dan hadir sebagai wadah yang merangkul tanpa pandang bulu. Untuk itu, metode pengajaran harus vatiatif dan bersifat kondisional, tergantung pada kondisi jiwa peserta didik pada kondisi (jam-jam) tertentu. Selain itu guru yang kreatif dan menyenangkan juga setidaknya mampu menghindari kebosanan siswa pada materi dan suasana kelas.

Posisi guru memang di satu titik sangat dilematis dan rumit. Namun dalam posisi tersebut, seorang guru mampu mengukur dirinya sampai mana kita mampu menempatkan diri dalam mengatasi beragam persoalan siswa dalam kelas yang terdiri dari beragam latar belakang. Dengan prasayarat itu, setidaknya guru tidak lagi menilai siswa melulu sebagai seorang yang nakal dan sulit diarahkan. Melainkan sebagai subjek yang sedang berproses menuju manusia yang berpengetahuan dan berbudi pekerti luhur.

Sebab itulah, redefinisi sekolah sebagai “Taman Siswa” dalam konsep dasar akan mengonstruksi sekolah sebagai tempat yang menyenangkan. Guru harus serta merta membangun konsep pendidikan hari ini sebagai sesuatu yang tak kaku dan mudah tereduksi oleh setimbun RPP, Silabus dan semacamnya. Karena problem pembelajaran selama ini terletak pada bagaimana guru memahami siswa. Dengan demikian, siswa hadir sebagai subjek utama yang setiap pagi datang ke “taman” yang di dalamnya terdapat nyala bohlam, harum bunga, dan rumput-rumput hijau menentramkan.

 

Oleh: Mohamad Baihaqi Alkawy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun