Â
Melalui siaran TV swasta, dalam acara ILC, pakar hukum tata negara Refly Harun seolah sesumbar bernuansa canda mempertanyakan kredibilitas perekrutan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan nada gusar ia menyentil proses seleksi anggota KPU tidak meritokratis, katanya sangat ditentukan dari ormas mana calon tersebut berasal.
Pun pada akhirnya saya menjadi percaya dengan kecemasan pakar hukum tata negara, jebolan andalas itu. Bagaimana tidak, saya turut pula menjadi bagian dari kecemasan dan kegelisahannya. Jangan-jangan pemilu 2019 nanti, memang akan menjadi pemilu paling kacau sepanjang sejarah.
Seorang pengamat, boleh jadi apa yang diungkapkannya masih perlu konfirmasi dan penelaahan berdasarkan basis data yang akurat. Namun bagi seorang partisipan, apa yang dikemukakannya, demikianlah adanya.
Begini ceritanya; berangkat dari niat yang tulus untuk semata-mata pengabdian, saya mengamini saran para kerabat dekat, saya harus menghibahkan jiwa dan raga ini dimana saya berdomisili. Seluruh artikel kepemiluan dan karya saya, termasuk yang pernah muat di harian tribun timur, saya kumpulkan untuk menjadi bahan pertimbangan dalam proses seleksi calon anggota KPU Kabupaten Sinjai.
Singkat kata, singkat cerita, empat tahapan yang harus dilalui, saya berhasil melewatinya dengan mulus. Mulai dari tes CAT, psikotes, tes kesehatan dan wawancara oleh timsel, hingga fit and proper test yang dimandatkan oleh KPU RI ke KPU Provinsi Sul-Sel. Dengan hakulyakin, saya mendambakan akan menjadi bagian dari lima kuota yang akan dipilih oleh KPU RI untuk penggantian komisioner periode 2018-2023. Dikatakan percaya diri, iya, sebab dari sepuluh nama-nama calon anggota KPU Kabupaten Sinjai yang tersisa, saya berada di cluster nilai CAT tertinggi, pasca dihempaskannya dua calon komisioner di atas saya oleh timsel.
Bahkan dalam pertimbangan secara personal, sebab tinggal saya yang satu-satunya berlatar belakang sarjana hukum, pasti KPU RI di bawah kendali Arief Budiman, akan memperhitungkan nama saya. Bukankah dalam setiap keanggotaan KPU, terdapat divisi hukum yang sejatinya compatibel kalau diisi dengan sarjana hukum pula.
Nyatanya tidak. Saya harus menerima kenyataan pahit, terhempas dari cita-cita dan harapan dari yang selama ini, ingin mengabdi di kampung sendiri. Tersebarlah kemudian isu yang berusaha mengganjal saya untuk dipertimbangkan oleh KPU RI melalui pembisik-pembisiknya. Saya dituding bukan kader Muhammadiyah, meskipun saya dengan sumpah atas nama Allah SWT, Taruna Melati satu dan Taruna Melati dua di Ikatan Remaja Muhammadiyah telah saya lalui masing-masing di tahun 2001 dan tahun 2002. Bahkan dengan sangat terbuka, silahkan memeriksa bagaimana bacaan shalat saya.
Cerita di atas setidak-tidaknya, sedikit memberi gambaran kepada kita semua, kalau perekrutan keanggotaan KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota memang tidak meritokratis sebagaimana yang dicemaskan oleh Refly Harun. Refly tidak sesumbar ternyata.
Bahkan demi pena dan apa yang saya tuliskan ini, saksikanlah betapa transaksionalnya perekrutan anggota KPU, bukan berdasarkan integritas, kapasitas dan kapabilitas. Tetapi sekali lagi, berdasarkan latar belakang dari ormas mana anda berasal. Dan bersediakah anda memanggul kepentingan terselubung dari para pembisik yang telah berhasil mengantarkan dalam jumlah kuota komisioner yang dibutuhkan.
Kredibilitas KPU
Apa kepentingan terselubung dari pembisik itu? Nyatanya, mereka adalah calon anggota legislatif yang potensial akan melakukan pemufakatan jahat di kemudian hari bersama-sama dengan penyelenggara. Saya tidak perlu menyebutkan apa kepentingan terselubung mereka. Tapi yang pasti, dengan model bargaining position demikian, runtuh sudah kemandirian KPU untuk menyelenggarakan pemilu berintegritas.
Pada titik itu, saya kemudian menjadi alergi dengan KPU. Bahkan menjadi alergi untuk menjadi peserta pemilih di tahun 2019 nanti. Jatuh harga diri, semangat dan tanggung jawab keilmuan saya, untuk selalu mensosialisasikan pentingnya menyalurkan hak pilih untuk kepentingan demokrasi substantif.
Bukan Refly Harun yang sesumbar dalam menyentil kredibilitas perekrutan anggota KPU. Tapi KPU RI beserta jajarannyalah yang sesumbar. Kuman mati di seberang laut tampak, namun gajah mati di pelupuk mata tidak tampak. Sungguh betapa bersih dan sucinya KPU mensosialisasikan "pilih yang bersih, jangan pilih mantan napi korupsi," namun di rumahnya sendiri ia memelihara tradisi kolusi, untuk tidak ekstrem, jangan saya mengatakan kalau itu juga korupsi. Dan kalau sudah begitu, bukankah itu namanya, maling teriak maling.
Dendam dan kebencian kita pelihara berlarut-larut, bahkan dengan cara mengangkangi konstitusi, undang-undang, dan hak asasi manusia, demi menghempaskan mantan napi dari gelanggang dan kontestasi politik. Namun secara tidak sadar, kitalah yang menjadi dader intellectual dari tumbuhnya benih-benih korupsi. Kurir berstatus calon anggota legislatif yang menjadi "penyambung lidah" dalam penentuan komisioner KPU, bukankah yang demikian sebagai cikal bakal tumbuhnya tradisi "memperdagangkan pengaruh" kelak di kemudian hari di parlemen.
Saya tidak mempersoalkan semangat anti korupsi yang mewarnai otak para komisioner KPU. Itu baik. Namun itu semua tidak berarti, jika dirinya belum selesai dengan urusan korupsi. Yang penting, adalah seberapa mampukah kita menjauhi korupsi, tidak memberi janji untuk sebuah kedudukan, tidak memperdagangkan pengaruh demi hausnya kita pada kekuasaan.
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, penting pula untuk kembali saya menekankan, bukan saya anti ormas, sebab saya pun berasal dari berbagai irisan ormas. Silahkan anda membawah gerbong ormas apapun, namun dahulukanlah integritas, kapasitas, dan kapabilitas. Jika memang terdapat dua pihak yang seimbang kecakapannya, tidak mengapa mendahulukan latar belakang ormasnya, sebab itulah selemah-lemahnya iman.
Mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Mohon kembalikan kredibilitas KPU beserta dengan jajarannya. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus bekerja ibaratnya tim pencari fakta, dengan menelusuri seputar keganjilan perekrutan komisiner KPU yang diduga manipulatif dan transaksional. Harapan itu kiranya masih ada, guna menghindari hancurnya kredibilitas KPU di titik nadir dan pemilu 2019 yang terancam tidak jurdil.*
Oleh:Â
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Alumni Magister Hukum UMI
& Owner negarahukum.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H