Puang muin, juga adalah guruku yang besar rasa iba dan kasih sayangnya. Suatu waktu di saat penerimaan rapor akhir catur wulan pertama, ibuku tidak membekali saya dengan makanan ke sekolah, padahal ibuku tahu kalau kebiasaan di sekolah setiap peneriman rapor dirangkai dengan acara makan-makan. Ibuku beralibi: tidak usah dibekali makanan, toh sekolahnya hanya coba-coba. Waktu itu, saya menatap-natap saja teman-temanku yang sedang mencicipi makanannya. Dan tak tunggu waktu, tidak berlama-lama, songkolo yang digenggam kecil oleh Puang Muin, juga diberikan kepadaku. Pasca kejadian ini, Puang Muin berpesan kepada ibuku: “bikinkanlah makanan juga untuk anakta, tidak enak kalau dia cuma melihat-lihat temanya yang makan.” Ibuku pun akhirnya membekaliku dengan makanan, pada penerimaan rapor di catur wulan kedua, walau saya lagi-lagi tidak menerima rapor.
Kuungkapkan kejujuran ini sebagai pengalaman pribadiku, tak kurasa kemudian leleh air mataku tidak terasa meniti membasah. Guruku, Puang Muin, kini sudah menjalani usia pensiun. Guruku yang sangat besar penghargaan kepada anak didiknya yang sudah pintar membaca, sehingga kadang ia berteriak: …. Iyaaaa…. Maccccani… (iya sudah pintar). Teriaknya girang sebagai tanda kesuksesannya dalam mengajar, ia merayakan kesuksesannya.
Tahun ini, Puang Muin akan menunaikan Ibadah Haji, namanya sudah teregister sebagai Calon Jamaah Haji periode 2016. Cukup lama dia menunggu untuk menunaikan ibadah haji, uangnya baru mencukupi, sebab dulunya ia menjadi pengajar SD kawakan, juga menyekolahkan semua “buah hatinya” ke pendidikan tinggi.
Semoga engkau menjadi haji mabrur, wahai guruku. Karena engkaulah aku bisa membaca, karena engkau kini kubisa melahap beberapa buku, dan karena engkaulah aku juga bisa mencatatkan namaku sebagai penulis di beberapa kolom harian lokal, media cetak. Benarlah, jasamu tiada tara.