Mohon tunggu...
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Damang Averroes Al-Khawarizmi Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya penulis biasa yang membiasakan diri belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puang Muin, Guru SD Aku yang Terhebat

27 Juli 2016   10:49 Diperbarui: 27 Juli 2016   10:58 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah terbenak kembali di pikiran anda, sejak kapan bisa membaca abjad dengan lancar? Sejak kapankah Anda pula bisa merangkai huruf-huruf itu hingga dapat melafalkannya dalam kata? kemudian kata perkata sehingga terangkai kalimat, anda dapat melafalkannya juga dengan fasih.

Untuk kasus ini, saya punya pengalaman tersendiri dengan guru kelas  satu saya di sekolah dasar dulu. Namanya guruku, Abdul Muin.

Terus terang, ibu saya memasukkan di sekolah dasar umur masih tergolong belia, beda dengan anak kebanyakan saat ini yang dipatok harus berumur 6-7 tahun baru memenuhi syarat masuk sekolah dasar, itupun syaratnya harus selesai dengan pendidikan usia dini (TK). Saya masuk sekolah dasar, umur baru menapaki 5 tahun, juga tidak pernah mengikuti pendidikan taman kanak-kanak.

Konon ibu saya memasukkan secepatnya ke sekolah dasar dengan alasan, katanya saya adalah anak yang susah diatur, sedikit-sedikit menangis padahal tidak ada penyebabnya. Itu sih menurut ibu saya, tapi setelah saya kemudian menjelang remaja, saya akhirnya mengungkapkan penyebabnya selalu menangis waktu itu, bahwa waktu kecil dulu seringkali didatangi oleh dua wanita yang berpakaian “kebaya” kadang ingin mengambil saya. Dan ternyata apa yang saya lihat (dua wanita itu), satupun dari keluarga saya tidak pernah melihatnya.

Itu pengalaman kecil saya, kadang kalau mengingatnya begitu suram dan mengerikan. Masuk ke sekolah dasar, usia makin bertambah, akhirnya dua hantu wanita yang sering menganggu hidup saya, saya lupa entah sejak kapan tidak pernah lagi datang menggangguku.

Masuk sekolah dasar, ternyata permintaan ibuku kepada guru SD waktu itu, sebelumnya guru yang menerimaku bukanlah Abdul Muin, tetapi namanya Rahmawati (bu Rahma). Nama saya tidak di daftar dalam absesnsi kelas, karena disekolahkan katanya hanya percobaan dulu.

Dan sungguh betapa bodohnya saya, sejak pertama kalinya masuk di kelas, hanya duduk, tidak pernah melaksanakan perintah guruku (Ibu Rahma). Teman sebangku saya yang bernama Mujetahid, sudah dengan giatnya menulis kembali barisan-barisan kalimat yang ditulis oleh guruku di papan tulis. Saya hanya menatapnya melongo, diam, tidak melakukan apa-apa.

Patut kuhargai pula perjuangan guruku ini, Bu Rahma, sebab dalam keadaan saya tidak pernah mau menulis kembali apa yang sudah ditulisnya di papan tulis, dia datang menegur saya, “nak kenapa tidak menulis” lagi-lagi saya Cuma diam. Akhirnya guruku yang menulis sendiri di buku catatan saya, lucunya kemudian dari hasil tulisannya itu, dia berikan nilai untuk saya “100” (seratus). Pulang ke rumah ditanya oleh ibu saya, apa yang kau bikin di sekolah dan berapa nilaimu? Kujawab “saya mendapat nilai “100” mak-ku”

He—he….he..he… dan ternyata ibuku melihat buku catatanku, ia menimpalku, hala…h ini bukan tulisanmu, ini gurumu yang menulis, bukan juga nilaimu ini.

Satu hal yang kuingat juga dari guruku yang satu ini (Ibu Rahma), namaku yang saat ini “Damang” dia juga punya keterlibatan di dalamnya. Dirumah saya dipanggil Emmang, nama lengkap saya berdasarkan kemauan ibuku harusnya “Darman.” Waktu itu,  Ibu Rahma bertanya siapa namaku, kujawab “Darman.” Akan tetapi mungkin karena salah dengar, dikiranya saya menyebut nama “Daman” dan seingatku kemudian kutambahkan akhiran “g” menjelang kelulusan SD, sehingga menjadi “Damang.” Alasanku agar pelafalan ini memudahkan bagi orang bugis yang terbiasa mengakhiri semua kalimat, biasanya dengan “NG”.

Singkat kata, singkat cerita, belum selesai catur wulan pertama, datanglah guru baru, energik, suka berbahasa bugis, menggantikan Ibu Rahma mengajar di kelas satu, dialah Abdul Muin. Guru inilah guru yang terhebat bagi saya, sebab darinyalah kemudian saya bisa membaca, dibantu dengan kegigihan ibu saya mengajari di rumah mengajari membaca, pada akhirnya saya benar-benar bisa lancar membaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun