Lagi dan lagi saya harus menyatakan, dia; ibuku adalah pahlawanku. Umurnya yang kian hari sudah senja adalah saksi semenjana kalau cucur keringatnya tiap hari meleleh demi permata jiwanya. Walau dia wanita, yang seharusnya kulit dan badannya menjadi lembut, tetapi karena “kerja keras” menjadi penggarap kebun, perawakan tangannya sudah berotot seperti laki-laki.
Maka dari itu, kalau saya ditanya, adakah sosok manusia yang engkau cintai selain dirimu, lebih dari dirimu? Maka tak tangung-tanggung untuk kujawab, dialah ibuku. Ibu yang sudah kuanggap tuntas dirinya, memilih untuk menjadi single parent selamanya, demi anak-anaknya semata.
Bukan sebuah keberkahan yang harus menjadi kata syukur, karena ayahku meninggal, lalu ibuku “tersugesti” untuk menamatkan semua anak-anaknya di perguruan tinggi (bahkan tekadnya adalah semua anaknya harus kuliah diperguruan tinggi negeri). Semua niat baik itu sungguh menjadi makbul. Ibuku beralasan, semua anak-anaknya harus menempuh sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi, agar anak-anaknya jangan mengikuti tindakan ayahnya yang terlalu gampang mengakhiri hidup hanya karena persoalan sepeleh.
Memang alasan itu terkesan tidak masuk akal. Tetapi bagi saya, ibuku adalah pembelajar ulung dari masa lalu. Ia harus menggenggam dunia demi anak-anaknya, demi kebesaran jiwa anak-anaknya. Agar kelak menjadi anak yang bisa mandiri, saling-mengasihi, dan bertanggung jawab untuk keluarga. Demikianlah pesan yang selalu diulang-ulang untuk anaknya, sehingga walau ibuku tidak sempat menamatkan Sekolah Dasar, pun di dalam diri, denyut nadi, jantung dan darahnya mengalir kearifan seorang Filsuf yang selalu mencipta asa untuk anak-anaknya.
Hari Ibu
Dari sepenggal kisah yang saya ceritakan di atas, akhirnya saya berkesimpulan kuat, untuk diri saya, untuk pembaca, kita semua. Semua hari, detik, menit, jam, bulan, dan tahun dalam segala hela nafas, itu semua menjadi milik ibu. Bahwa semua waktu adalah masa untuk membalas jasa-jasanya, kendati balasan itu pastinya tidak akan sebanding dengan apa yang pernah dilakukannya kepada kita.
Ibu adalah pahlawan perkasa, tangguh, sehingga ia bisa melahirkan kita dari masa-masa sulitnya, karena dengan pengorbanannya walau kadung maut menjadi ancamannya, akhirnya kita bisa mengecap “cahaya kehidupan” di dunia. Lagi-lagi karena sikap kepahlawanan dia yang memantaskan ‘generasi” harapan di masa-masa selanjutnya.
Segala kepedihan dan kepiluan yang telah dirasakan oleh ibu seorang. Dan segala senyum manisnya. Di sanalah membunca “ruah rasa”, menyemai yang bernama cinta dan kasih sayang.
Ajal boleh menjemput siapapun, tidak tanggung-tanggung, tetapi lakukanlah yang terbaik untuk ibu kita selagi ia masih hidup. Tak ada waktu untuk mengatakan sudah terlambat, sebab waktu berbakti dan mengabdi kepada seorang ibu selalu terbuka selagi matahari tidak pernah terbenam di tengah langit. Wahai dikau, Ibu…! Doa sapu jagat akan selalu menyertaimu. Selamat hari ibu.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H