Mohon tunggu...
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Damang Averroes Al-Khawarizmi Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya penulis biasa yang membiasakan diri belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Untuk Abdul Munir Sara, Samad Memelas ke Anas Bukan Misteri (Sebuah Tanggapan)

15 Januari 2014   02:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam kenal Abdul Munir Sara yang konon katanya dari NTT. Selamat, anda telah berhasil mengaduk-aduk hati pembaca agar simpatik kepada Anas, semoga anda menulis dengan hati yang "suci" tidak hitam. Tetapi melihat dari posisi anda saja, ketika ditanya oleh para kompasianer, nampaknya anda tidak memiliki posisi, apakah loyalis Anas, pengagumnya atau bukan, selalu dijawab anda seorang yang belajar menulis. Itu menunjukan dari pekerjaan anda yang memulai belajar, jangan-jangan sebagai pemula yang mulai "belajar" anda sudah tersesat, karena menunjukan diri anda saja berada dipihak mana juga tidak jelas. Lebih tepatnya anda ini bermuka dua.

[caption id="attachment_290144" align="aligncenter" width="640" caption="Gamabar: merdeka.com, Anas Urbaningrum dan Loyalis PPI sedang konfrensi pers sebelum memenuhi panggilan KPK"][/caption]

Setidaknya anda lebih patut dihargai sebagai penulis, terima kasih banyak karena rela menjawab komentar teman-teman kompasianer, kalau mau dibandingkan dengan Sri Mulyono anda ini lebih bertanggung jawab dari pada loyalis PPI itu yang sangat pecundang bagi saya. Kalau sekiranya Mas Munir ketemu dengan Mas Mulyono tolong sampaikan kalau mau datang menulis di Kompasiana apalagi menulis isu skala nasional, menjadi perhatian negeri ini, tolong ditanggapi komentar yang "kontra" atas tulisannya, termasuk tolong ditanggapi artikel saya yang menyangga tulisannya kemarin yang menyetir bahwa KPK melakukan kebohongan publik.

Mas Munir yang saya hormati semoga anda sudah pernah membaca buku-buku politik, dan semoga pula anda singgah di lapak loyalis Anas, Mas Mulyono, di sana mas Mul mengakui kalau ternyata KPK adalah produk politik. Sayapun sebagai sarjana hukum sulit memungkiri kalau memang terpilihnya jabatan ketua KPK ditentukan oleh lobi-lobi politik pula. Sehingga dipastikan ada panggung belakang dan panggung depan. Di panggung belakang itulah sering terjadi lobi politik yang mas Munir namakan misteri, di panggung depan ya pasti siapa nantinya yang dipilih oleh DPR. Jadi, kalau mas Munir tahu apa yang dimaksud politik dramaturgi berarti  peritiwa Samad pernah memelas ke Anas bukanlah misteri bagi orang yang mengerti benar dengan ilmu politik.

Sungguh amat disayangkan pernyataan Mas  Munir, Gede Pasek, Sri Mulyono ketika Anas sudah ditahan, lalu sekarang mengungkit-ungkit jasa-jasa Mas Anas sehingga terpilih Pak Abraham sebagai ketua KPK. Bayangkan saja, dari kampung yang kecil, anda tidak perhitungkan, beliau tidak pernah dikenal di ibu kota Negara, tetapi dia memiliki niat dan hati yang bersih dan tulus, ingin sekali menegakkan hukum, memberntas korupsi di tanah air, namun karena jalur politik dia harus mundur menjalankan niatnya itu. Pak Abraham tidak demikian, dia berani menelusuri labirin gelap susahnya menjadi penentu dalam pemberantasan korupsi, melakukan lobi politik, demi mendapatkan panggungnya untuk benar-benar memberantas korupsi.

Mas Munir, perlu kita ketahui bersama, karakter yang susah dilepaskan dari orang Timur adalah yang namanya balas budi, baik di era kolonial hingga zaman sekarang. Di kampung saya, Makassar, terdapat sejarah, al-kisah Raja Bone Arung Palakka terpaksa menyerang kerajaan Galesong di tanah Jawa yang mana saudara sepupunya sendiri, karena Arung Palakka sudah terlanjur merasa berutang budi dengan Spelman yang sudah membantunya mempertahankan daerah kekuasaannya dari ancaman raja Sultan Hasanuddin.

Saya tidak bisa menggeneralisasi, apakah suku jawa, suku bugis, Mas Munir (mungkin suku Asmat atau suku Dani karena di profilnya tertuliskan dari NTT), diakui dalam kesetiakawan kita pasti berat menanggung utang budi. Andaikan saya sebagai Abraham dengan adanya balas budi Anas, dipastikan saya tidak dapat menjebloskan Anas ke tahanan, karena saya masih kental pula dengan kebiasaan menanggung "utang balas budi". Namun di situlah istimewanya Pak  Abraham demi hati nurani, demi penegakan hukum, demi jutaan rakyat Indonesia dia rela menanggalkan tradisi "utang budi" yang membiarkan kita semua bisa tersesat, dan kebenaran hanya milik para politisi. Bagi saya tersangkanya AU itu biasa-biasa saja untuk AS, kalau selalu menyangkutpautkan dengan "utang balas budi". Bagaimana dengan Andi Mallarangeng yang nyata-nyata dari kampung yang sama berjuang di tanah perantauan (pada idi), toh AM juga ditahan oleh KPK

Sulit Mas Munir memungkiri kalau anda bukan orang dekat atau loyalis Anas, semua keterangan anda yang didapatkan dari tanggal kejadian pertemuan AS dengan AU, tempat, waktu, hingga meneguk kopi dan merek Mobilnya AS waktu itu anda bisa tahu semua. Bahkan anda yakin kejadian itu masih ada rekam CCTV-nya. Kecuali anda ini  Mak Lampir ya boleh-boleh saja tahu semuanya, mungkin langsung melihat dari "cermin air" anda, apa yang AS dan AU sedang perbincangkan. Ataukah yang lebih rasional, mungkin Mas Munir sudah memasang CCTV di rumah AU, sehingga dengan runut dan lengkap semua data-data itu anda muda dapatkan. Sungguh terlalu Mas Munir menyangkal, anda bukan loyalis Anas, bangunan tulisan anda di sana sudah terbaca, siapa sesungguhnya anda.

Dikalimat yang lain Mas Munir,  berdalil bahwa karena PD terbelah dalam dua faksi, faksi Cikeas, dan faksi Durian sawit, emang nama durian sawit sudah dikenal itu dari dulu?. Kembalilah membaca dan memperbaiki analisi politik anda. Bahwa  di kongres PD ketika Anas terpilih sebagai ketua umum PD, disitulah mulai terbentuk faksionalisasi, yakni ada faksi Anas, dan faksi Mallarangeng yang konon katanya direstui SBY namun tidak terpilih. Persoalan internal faksi kalian (PD) yang jelas itu bukan urusan KPK.

Kalau Pak Abraham memilih jalur yang anda sebutkan yakni "AS memilih Cikeas dan seabrek kekuasaan" dari mana data ini anda bisa yakinkan kepada saya, dan terlebih lagi kepada publik. Kekuasaan apa yang sekarang didapatkan oleh AS dari Cikeas ketika sudah menetapan AU sebagai tahanan KPK. Tolong dibuktikan dalil anda ini, kalau punya rekaman CCTV AS dan SBY misalnya dijanji akan menjabat menteri atau jaksa agung, boleh saja anda berdalil demikian, apalagi ini sudah akhir pemerintahan SBY, kekuasaan apa lagi yang mau dibagi. Dimana konsistennya Mas Munir, menganjurkan kompasianer yang berkomentar ditulisan anda, harus belajar ilmu hukum, sementara anda saja selalu membangun asumsi AS menetapakn AU sebagai tersangka karena janji kekuasaan dari SBY. Naïf, dan sangat naïf tuduhan anda

Jika Mas Munir menganjurkan agar AS memperlakukan AU secara adil dihadapan hukum, itu sudah adil Mas. Sebelum AU diperingati dia akan dijemput paksa, AU sudah dikirimkan surat panggilan, bukan langsung dijemput paksa. Kalau anda menganjurkan saya harus berdalil hukum saya akan kutipkan Pasal 51 ayat 1 Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan "Untuk rnempersiapkan pembelaan: a). tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai." Kalau mau mengetahui apa maksud dari proyek lain-lain tersebut, harus dilakukan pemeriksaan, lantas bagaimana mungkin AU menuntut haknya, sementara untuk diperiksa pada selasa 7 Januari kemarian dia mangkir.  Mestinya AU dan kawan-kawannya, berterima kasih yang tuluslah (jangan berterima kasih kepada AS dan para penyidik atas nama-nama yang disebutkan karena dia mantan kader HMI lalu "seolah-olah" ingin menciptakan chaos sesama kader nantinya) kepada AS karena AU sudah diperlakukan dengan adil. Namun ironisnya, AU dan kawan-kawan masih membangun asumsi-asumsi politik di luar sana, temasuk menyerang KPK, terkait adanya pertemuan BW dengan Deny Indrayana di Cikeas.

Akhirnya, yang beringas dan kejam itu bukanlah Pak Abraham Samad, yang beringas itu adalah prosedur hukum yang menuntut kepada tersangka harus patuh pada kewenangan yang telah diberikan kepada KPK berdasarkan KUHAP dan UU KPK. Kalau toh terbukti AU nantinya bersalah di pengadilan, bukan pula hukum yang kejam apalagi culas, tetapi itulah pertanggungjawaban hak-hak rakyat kepada AU, dari uangnya yang telah "dirampok" oleh pejabat yang sudah diberikannya amanah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun