Mohon tunggu...
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Damang Averroes Al-Khawarizmi Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya penulis biasa yang membiasakan diri belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Belajar Dari Plagiarisme Anggito

3 Maret 2014   08:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393784954853135510

Pertama, mau tidak mau negara harus bertanggung jawab untuk membiasakan budaya membaca terhadap semua kalangan. Dari usia anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua. Karena logikanya, bagimana mungkin dapat melahirkan sebuah karya yang orisinil dalam bentuk tulisan, kalau tidak pernah mengurai dan menganalisi hasil bacaan. Atau sederhananya, apa yang bisa ditulis kalau memang tidak pernah membaca. Bukankah melalui hasil bacaanlah seorang tidak akan pernah kehabisan kata-kata untuk menulis?

Kedua, pendikan anti plagiarisme perlu digalakkan secara dini. Kalau sejatinya plagiator adalah penjahat intelektual yang berdosa besar. Disamping itu, sosilisasi anti plagiat melalui instrumen undang-undang hak kekayaan intelektual (Hak Cipta) harus sampai kesemua kalangan. Karena UU Hak Cipta sudah menegaskan, kalau tindakan penjiplakan merupakan tindak pidana, bahkan tergolong tindak pidana/ delik absolut (yang tidak perlu pengaduan, langsung bisa diproses sebagai sebuah kejahatan).

Ketiga, institusi pendidikan harus berjalan secara rutin mengajarkan ilmu tentang metode penulisan, karya ilmiah, hingga cara mengutip yang benar dari berbagi sumber rujukan. Program ini penting, karena dimungkinkan orang melakukan penjiplakan juga disebabkan ketidaktahuan cara mengutip sumber dari buku maupun artikel lainnya.

Pada poin ketiga ini, kalangan Guru dan Dosen pula tidak menjadi soal kalau pun harus dilibatkan dalam program latihan menulis, sebab banyak Guru dan Dosen memang memiliki kemampuan artikulatif-berbicara. Seorang Guru atau Dosen  bisa saja lolos dalam perekrutan jabatan tetapi hanya karena kemampuan menjawab tes yang disediakan (seperti; tes kompetensi dasar, bakat skolastik, dan  wawancara) namun bukan jaminan mereka memiliki kemampuan menulis. Kalau kita mau lebih progresif lagi, apa salahnya pemerintah menggalakkan program belajar menulis artikel, jurnal, buku, untuk kalangan Guru dan Dosen yang merasa tidak memiliki kemampuan menulis. Bukankah seorang Guru dan Dosen butuh "karya" untuk menunjang kenaikan pangkat akademiknya?

Cukup sudah kasus plagiat Anggito, kalau toh memang seorang intelektual; Siswa, Mahasiswa, Guru, dan Dosen butuh hasil karya atas nama sebuah gelar, maka tidak boleh menjadi malu untuk belajar menulis, dan harus mematuhi segala kaidah penulisan. Agar esok lusa, tidak ada lagi model kejahatan intelektual yang demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun